Sorry, we couldn't find any article matching ''
Jangan Memuji Anak!
“Duh, pinter banget nih anak mama makanannya dihabisin”
“Wah, udah bisa ikat sepatu sendiri, hebatnya..”
Mommies tau nggak kalau ternyata, memuji anak itu sebenarnya adalah hal yang harus kita tahan? Satu kalimat pujian, efeknya panjang ternyata. Di satu sisi, pujian bisa membangkitkan semangat anak, tapi di sisi lain memberikan pengaruh buruk. Lah, masa memuji nggak boleh? Baca dulu keseluruhan artikel ini, ya. Jangan langsung protes :D
Beberapa waktu lalu, di sekolah anak saya diadakan Parents Workshop yang disampaikan oleh Direktur Pendidikan sekolah anak saya, Ibu Delfie. Materinya tentang memuji anak.
Ada 5 hal yang perlu dicatat saat kita terlalu sering memuji anak:
Siapa yang sering memuji anak, padahal maksudnya menyindir? “Duh, pinter amat nih mainannya berserakan di mana-mana”. Apakah anak akan mengerti maksud kita? Rasanya tidak, ya. Yang ada dia malah memahami bahwa tindakannya tepat.
Selain itu sering juga kita memuji anak lain dan berujung membandingkannya dengan anak kita. “Wah, kakak hebat banget makan sayurnya banyak..”, kalimat ini dikeluarkan dengan harapan Si Adik merasa tersindir dan ikut makan sayur.
Semakin sering anak dipuji, maka ia akan melakukan segala hal untuk pujian, bukan karena tanggungjawab atau memang ia harus melakukan hal tersebut. Belajar karena ingin dipuji, pintar karena ingin dipuji, makan karena ingin dipuji, dan seterusnya.
Sebenarnya sih enteng ya, toh hanya pujian saja, nggak keluar ongkos istilahnya, untuk mengeluarkan pujian. Tapi hal ini kemudian akan mengurangi keyakinan anak saat ia ingin melakukan sesuatu. Anak selalu butuh diyakinkan lewat pujian atas apapun yang ia lakukan.
Mommies pernah merasakan sangat bahagia nggak saat suami memuji hasil masakan? Suami saya tipe yang jarang memuji, suatu hari ia hanya bilang gini atas penampilan saya, “Wah kok nggak kaya ibu-ibu deh, pake baju itu”. Wih, saya senang banget! Haha, saya menganggapnya pujian :D
Bayangkan kalau pasangan setiap hari memuji penampilan, masakan, dan seterusnya, mungkin rasannya akan hambar saja, ya? Karena mau masak apapun pasti dibilang enak, dibilang hebat, dibilang keren.
Hal inilah yang dirasakan anak ketika kita sering melontarkan pujian untuknya. Anak merasa kita adalah evaluator bagi mereka, kita harus selalu mengeluarkan penilaian atas apa yang mereka lakukan. Sehingga pujian pun menjadi kebiasaan.
Maksudnya? Anak kita akan tumbuh jadi anak yang pamrih, di mana ia melakukan sesuatu karena tau ia bakal mendapat sesuatu, bukan karena ia ingin. Mirip dengan reward ya? Pujian juga merupakan salah satu bentuk reward, kan?
Belum lagi jika kita mengiming-imingi anak, “Kalau kamu dapat nilai matematika 100, nanti mama beliin hadiah”. Di otak anak, “Oh, matematika itu nyebelin ya? Pantesan kalau aku pinter matematika aku dapat hadiah”.
Saat anak sudah bisa mengancingkan kemeja sendiri, otomatis kita akan memujinya hebat. Padahal di sekolah atau temannya sudah bisa mengancingkan kemeja dan mengikat sepatu sendiri. Hal ini membuat anak merasa bingung, yang hebat itu bagaimana? Apakah mengancingkan baju saja sudah hebat? Karena ia tau ada anak yang lebih bisa dari dia.
Terus, masa nggak boleh muji anak sendiri, sih? Boleh kok, hanya caranya saja yang harus diperhatikan. Simak di halaman berikutnya, ya.
*Gambar dari sini
Alih-alih melontarkan berjuta kalimat manis penuh pujian, coba deh lakukan ini:
Saat anak bisa mengikat tali sepatu sendiri, “Eh, anak ibu sudah bisa ikat tali sepatu sendiri, ya..”. tanpa perlu banyak kata, anak tau bahwa kita bangga. Ucapan yang keluar dari hati, akan lebih bermakna dibandingkan dengan kalimat puja puji yang keluar dari mulut saja.
Misalnya, anak menunjukkan gambar hasil karya yang ia buat di sekolah. Sebelum melontarkan pujian, ajukan berbagai pertanyaan mengenai hal yang ia tunjukkan misalnya, “Wah, gambar rumahnya besar, ya. Ini rumah siapa?” dan seterusnya.
Dengan mengajukan pertanyaan, kita akan lebih menjalin percakapan dengan anak dibandingkan saat kita hanya mengucapkan pujian. Selain itu, anak akan lebih merasa dihargai karena berarti kita benar-benar mengamati hasil karyanya. Setuju?
Berkaitan dengan poin di atas, kita fokus pada proses, bukan pada hasil gambar tersebut. Sama halnya dengan misalnya anak memilih pakaian sendiri, daripada mengatakan "Anak Ibu cantik banget sih", sebaiknya "Wah, baju yang kamu pilih, cocok deh!". Atau saat anak mendapatkan nilai 100, misalnya. Katakan "Kamu sudah rajin belajar sih, ya, jadi dapat 100 deh!". Dengan pemilihan kalimat seperti ini, anak belajar bahwa ada proses yang harus lalui untuk mencapai sesuatu.
Buat saya, anak menghabiskan makan atau mengikat tali sepatu adalah suatu keharusan dalam hidup. Ya nggak sih? Lalu kapan saat yang tepat untuk memuji?
Kata-kata yang paling menohok saat seminar itu adalah, orangtua seringnya hanya berkomunikasi dengan anak di 2 hal: saat anak melakukan kenakalan atau kehebatan. Jadi komunikasi yang terjalin dengan anak seringnya, memarahi atau memuji. Selain dua hal itu, seringkali, nihil.
Kemudian Ibu Delfie menyarankan pujilah anak saat dia tak melakukan apa-apa. Misalnya, “Duh, ibu bahagia punya anak kamu”, padahal si anak lagi duduk diam sambil main boneka. Kenapa hal ini justru disarankan? Karena dari sini, si anak akan bertanya kenapa, lalu kita bisa menerangkan hal yang sejujurnya kenapa kita bahagia punya anak seperti dia. Bukan karena makanan yang ia habiskan, piala yang ia bawa pulang, atau kemampuannya mengancingkan kemeja.
Ya, tunjukkan pada anak bahwa kita mencintai dia, apa adanya :)
PAGES:
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS