Sorry, we couldn't find any article matching ''
Fight Back, Kiddo!
Belakangan marak lagi, ya, kekerasan terhadap anak--anak, baik dilakukan oleh teman sepantaran, atau orang dewasa. Yang nggak kalah mengejutkan, pada beberapa kasus anak vs anak, ternyata bully sudah dilakukan selama bertahun-tahun, lho! Nggak usah tanya, deh, di mana orang dewasa saat itu terjadi. Wong ini dilakukan setiap hari! Saya justru mempertanyakan kalau memang sudah selama itu, kenapa korban nggak speak up, nggak mengadu ke orangtua atau guru, nggak fight back! *gemes sendiri, kan, jadinya*.
Saya tumbuh dengan didikan "Kalau kamu dipukul, pukul balik" oleh bapak saya. Tentunya dengan catatan bukan saya yang membuat ulah duluan, ya. Kenyataannya saya jarang sampai harus mempraktikkan ini, sampai sekitar kelas 4-5 SD di mana anak laki-laki mulai annoying usilnya. Setelah menjahili anak perempuan, biasanya mereka akan lari kabur ke halaman sekolah. Tahu bahwa kami nggak akan mengejar karena kalah kencang. Well, setidaknya saya, yang nggak suka lari :D. Tapi tunggu saja, saat mereka lengah, saya diam-diam mendekat dan tabok keras-keras punggungnya. Walau sakit, biasanya mereka nggak berani balas karena tahu kalau memang salah duluan ..haha.
Dengan didikan itu, terbentuk bahwa saya punya hak untuk diperlakukan dengan benar. Saya berhak berbicara dan berpendapat. Yang membuat saya berani membantah cara ajar matematika guru kelas 6 vs ajaran bapak saya. Setelah itu tiap Pak Guru mengajar, saya akan ditanya apa punya cara lain :D.
Tapi jangan dikira saya nggak pernah di-bully. Kelas 3 saat baru kembali dari Belgia saya kerap diteriaki kompeni dan "Pulang sana ke belanda!" dan beberapa kali saya dijegal supaya jatuh di pintu kelas. Berbeda dengan di Belgia di mana murid dihimbau untuk mengadu pada guru kalau ada perselisihan (dan guru menangani dengan serius), saat saya lapor guru di Indonesia, saya mendapatkan,"Apa sih?! Sana-sana! Urus sendiri! Tukang ngadu!" dan guru kembali haha-hihi bergosip di kantor. "WTH?!" was my thought. Tapi saya anaknya cepat belajar, jadi saya belajar main hakim sendiri karena percuma mengadu pada otoritas. Sounds familiar? :)
Sepanjang SMP saya di-bully, di-silenced. Tiap saya buka mulut geng pem-buly akan mulai ribut asal bicara supaya suara saya tenggelam. Hanya karena si ketua pembuli tidak terima nilai Bahasa Inggris saya lebih bagus. Padahal ada yang lain yang lebih bagus, lho! Entah kenapa saya yang jadi target. I survived this, tapi tanpa orangtua saya tahu karena saya cerita, pun, reaksi mereka paling "Cuekin ajalah". Ya, sudah saya cuekin, deh, sampai akhirnya lulus SMP dan tetap nilai saya lebih bagus ..hehehe.
*Gambar dari sini
Sekarang saat saya jadi Mama anak kelas 5 dan 3, didikan yang sama saya terapkan. Dengan sedikit revisi:
Entah awalnya anak-anak paham atau tidak, tapi saat kelas 1 SD di Semarang Darris sekelas dengan pem-bully yang perilakunya sudah seperti itu dari TK (tanya kenapa?). Hampir setiap hari ada cerita dinakali ini dan itu oleh si X. Sempat saya tanya, "Yang dinakali kamu sendiri apa ada teman lain juga?". Karena Darris jawab ada teman lain juga (dan cenderung nakal ke semua teman memang), saya lebih tenang karena itu berarti Darris bukan target tunggal. Ibaratnya, diusilin itu lampu kuning, sementara target tunggal apalagi dari sekelompok pem-bully, itu lampu merah pakai sirene keras-keras. Saya akan siap-siap memindahkan sekolah bila itu terjadi.
Beberapa kali diusili Darris masih diam. Tahu-tahu suatu hari saya dapat telepon dari sekolah katanya Darris memukulkan tempat minum ke kepala temannya sampai berdarah. Bu Guru tahu, bukan Darris yang mencari gara-gara, tapi beliau juga panik harus bersikap bagaimana pada orangtua murid satunya karena dialah pemicunya. Saat saya kroscek dengan cerita Darris, ternyata anak ini bukan yang biasanya mengganggu Darris. Cuma saat itu memang usilnya sedang keterlaluan jadi Darris reflek mengayunkan kresek berisi tempat minumnya. Baru kali ini dia bereaksi sejak TK.
Saya tetap tekankan bahwa tindakan itu bukan berarti benar, tapi kadang memang harus dilakukan. Saya juga wajibkan dia minta maaf pada temannya itu dan kami bersiap mengganti biaya pengobatan bila diminta.
Setelah kejadian itu anak-anak, sih, main bareng lagi. Dan ternyata si X juga berhenti mengganggu Darris. Mungkin karena akhirnya tahu bahwa Darris tidak cuma bisa diam kalau diganggu, tapi bisa fight back. Ketimbang benjol juga mending stop ganggu :D.
Ajarkan berjuang dan fight back.
*Gambar dari sini
Tenang, deh, hidup saya...err NOT! Karena saat kelas 2 gantian Dellynn tertekan di kelas. Katanya nggak diajak main dan dikatai. Saya tanya balik, apa yang dituduhkan temannya benar atau tidak? Kalau nggak benar, ya, bantah. Katakan sebenarnya bagaimana. Ini saya terapkan juga untuk kasus saya atau ayahnya salah tuduh atau salah memarahi. Maklum anak empat suka siwer siapa yang lagi usil, siapa yang kena semprot :D. Saya bilang kamu berhak protes kalau memang bukan kamu yang salah. Jelaskan supaya mama/ayah tahu persoalannya jadi nggak salah menegur.
Pada kasus Dellynn, ada kekhawatiran saya bahwa ini terpicu sikap Dellynn sendiri. Jadi saya suruh Dellynn introspeksi juga, bahwa kalau sikapnya tidak baik, nggak jadi teman yang asyik, ya, akan ditinggal teman yang lain.
Pengalaman-pengalaman inilah yang membuat saya tidak cocok dengan cara parenting yang marak belakangan ini, yang serba mengajari baik tapi tanpa bekal apa yang harus dilakukan dalam kondisi seperti ini. Kalau tidak pernah diajarkan, anak akan berpegang bahwa memukul itu tidak baik, nakal, nanti ayah-ibu tidak sayang, dan seterusnya. Akibatnya anak akan diam walau mengalami kekerasan. Karena kalau membalas nanti dia dicap nakal juga. Apalagi bila anak bukan tipe yang bisa mengadu pada orangtua atau malah pernah mengadu tapi orangtua tidak percaya.
Kita semua tahu bahwa di dunia ini tidak ada hitam putih, adanya abu-abu. Orang baik bisa jadi jahat, dan sebaliknya, tergantung sudut pandang. Ajarkan (dan contohkan) anak akhlaq yang baik, sopan santun, dan interpersonal skills. Tapi jangan lupa mereka juga harus bisa berjuang, harus belajar berjuang. Rumah penuh cinta itu bagus, tapi siapkan anak ke dunia yang terkadang tidak penuh cinta ini :).
PAGES:
Share Article
COMMENTS