Sorry, we couldn't find any article matching ''
Para Ayah; Dulu Dan Sekarang
Saya masih ingat kalau dulu ayah saya, sore sebelum matahari terbenam, ia sudah sampai rumah. Jadi saya cukup dekat dengan ayah saya. Sering main bersama, mengulang pelajaran sama Papa, dan seterusnya.
Sementara bapaknya Langit? Wah, kadang selama hari kerja, Langit nggak ketemu bapaknya karena ia pulang setelah Langit tidur dan masih tidur kala Langit berangkat sekolah. Beda zaman dan beda bidang kerja juga sih :)
Nah, kalau beberapa waktu lalu saya sempat menulis tentang perbedaan ibu zaman dulu dan zaman sekarang, di sini kita bahas mengenai para ayah yuk!
Ayah lebih terlibat!
Dalam proses persalinan: 9 dari 10 ayah menemani di dalam ruang bersalin, sementara zaman dulu para ayah baru boleh menemani di dalam ruang bersalin setelah era 70-an.
Setelah bayi lahir: 6 dari 10 ayah mengambil cuti, sementara sebelum tahun 1983 para ayah tidak diperbolehkan cuti setelah bayi lahir.
Perawatan anak: 3,4% stay at home dad, sementara sampai tahun 2001 hanya ada 1% stay at home dad.
Peran di pekerjaan rumah tangga!
Ayah melakukan pekerjaan rumah tangga rata-rata 10 jam dalam seminggu, sementara di era 60-an hanya setengahnya.
9 dari 10 ayah bersedia membuang sampah.
7 dari 10 ayah membenarkan rumahnya sendiri.
6 dari 10 belanja bulanan.
Dan, 5 dari 10 ayah memasak untuk keluarga!
Dalam pengasuhan?
Ayah bermain dengan anak 3 sampai 6 jam di hari kerja. Hal ini naik 3 kali lipat daripada era 70-an.
9 dari 10 ayah bermain dengan anaknya.
7 dari 10 ayah jago mengganti diaper anak.
6 dari 10 ayah yang ‘ngelonin’ anaknya dan ikut mengantar saat anak ke dokter.
Kalau dari tulisan di atas, rasanya ayah zaman sekarang lebih terlibat dengan anak-anaknya, ya? Padahal mereka mengalami beberapa kesulitan lho! Lihat di halaman selanjutnya deh!
*Gambar dari sini
Di pekerjaan..
Jam kerja para ayah saat ini dirata-rata sama dengan jam kerja para ayah di era 70-an.
1 dari 2 ayah mengakui bahwa mereka kesulitan mengatur jadwal bekerja.
1 dari 3 ayah bilang mereka sulit mendahulukan keluarga dibanding pekerjaan.
1 dari 2 ayah mengaku sering merasa harus memilih antara pekerjaan dan keluarga.
3 dari 4 ayah merasa bahwa mereka tak melakukan peran sebagai ayah dengan baik, tidak seperti generasi sebelumnya.
Kalau membaca hasil di atas, benar juga ya rasanya tulisan di editor's letter kemarin, bahwa ayah butuh effort lebih untuk bonding dengan keluarga. Dan kita, sebagai istri, kerap memandang posisi para ayah lebih enak. Ya, saya sering menganggap demikian lho! Menurut saya, jadi ayah enak sekali, bisa tidur nyenyak saat anak sakit, bisa pulang telat tanpa memikirkan anak besok sekolah, bisa nongkrong sama teman-teman tanpa mikir "Nanti istri gue ngambek nggak ya?", dan seterusnya. Padahal yang ada di dalam hati dan pikiran mereka, siapa yang tau, ya?
Hal ini rupanya diamini oleh 59% ayah, seperti saya baca di artikel ini. Kalau ibu bekerja sudah terbiasa menghadapi isu keseimbangan antara karir dan keluarga, nampaknya hal ini belakangan juga berkembang di dunia para ayah. Tapi kalau kita, para ibu, tentu bisa lebih 'berteriak' dengan kondisi ini, ya, dibandingkan para ayah. Sementara mereka, kan memang dituntut untuk menjadi pencari nafkah dalam keluarga, jadi sepertinya biasa saja kalau ayah lebih sibuk daripada ibu dan kerap menjadi 'warga kelas dua' dalam perihal pengasuhan anak. Padahal sekali lagi, dalam hati dan pikiran mereka ternyata terjadi pergolakan juga untuk bisa menyeimbangkan kehidupan antara kerja dan keluarga.
Riset di atas dilakukan oleh NYC Dads Group kepada 700 ayah di New York. Kalau di Indonesia, kira-kira bagaimana hasilnya ya? Apa ada Daddies (dan Mommies, tentunya) yang merasa hasil penelitian di atas benar adanya?
Share dong!
PAGES:
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS