Kurang Disiplin, ASI Bisa Tersumbat

Breastfeeding

dilaputri・13 Jun 2014

detail-thumb

BreastfeedingBerawal dari pola menyusui Julia (6m) yang tiba-tiba menjadi banyak tingkah, salah satunya  senang menarik puting dengan mulutnya sampai lepas ketika menyusu. Sekitar dua minggu setelahnya, saya merasakan sesuatu mengeras di dalam payudara kanan saya. Lama-lama bagian yang mengeras itu pun mulai sakit.

Karena pernah baca soal engorgement dan mastitis, saya mengantisipasinya dengan mulai mengompres payudara dan sering mengosongkan payudara setelah menyusui. Namun, setelah tiga hari, bukannya berkurang, intensitasnya malah meningkat dan semakin sakit. Akhirnya, Senin, 26 Mei 2014, saya memutuskan untuk mengunjungi klinik laktasi. Tadinya, dengan pertimbangan jarak, saya berencana mendatangi konselor laktasi di RS Hermina Bekasi Barat, namun karena hari Senin tidak ada jadwal, saya merapat ke RS Saint Carolus, Salemba.

Di Carolus, saya bertemu dengan konselor laktasi sekaligus dokter senior, yaitu dr Jeanne Purnawati. Awalnya sempat agak "dimarahi" karena saya datang ke klinik laktasi tanpa membawa bayi saya. Katanya kalau konsultasi laktasi sebaiknya bayinya juga dibawa, karena menyusui itu paket, bukan ibunya saja atau bayinya saja. I was like, okay...

Setelah ditanyai dengan sangat detil dan dengan sangat hati-hati, belum saya sempat bilang mengenai pola menyusu Julia yang baru, dr Jeanne sudah duluan menganalisa kalau menurutnya biang keroknya yang pertama adalah pemberian ASIP lewat dot selama saya bekerja. Menurutnya, pemberian ASIP lewat dot salah satunya bisa membuat bayi jadi cenderung suka 'main-main' dengan puting ibu - dari lepas copot, tarik, sampai menggigit. Katanya, ini dapat menyebabkan puting retak/pecah yang dapat memberi jalan untuk kuman masuk dan menyumbat kelenjar susu yang berujung pada ASI yang tidak dapat keluar dengan maksimal (plugged milk ducts). Jadi, untuk sukses menyusui sampai dua tahun nanti, sebaiknya penggunaan dot harus dihentikan. Strike one!

Jujur, untuk yang satu ini cukup berat, karena cuma cara ini yang dianggap tidak repot oleh kedua nenek Julia. Ya, memang sejauh ini, ada atau tidak ada asisten, Julia hanya saya percayakan pada nenek-neneknya secara bergantian, dan alasan ini juga yang membuat saya menolerir penggunaan dot dengan modal yakin kalau Julia tidak akan bingung puting. But I still got to pay the consequence.

Selain pemberian ASIP via dot, menurut dr Jeanne, pola memerah saya juga menjadi penyebabnya, yaitu intensitas memerah saya yang masih kurang dan metode memerah menggunakan pompa ASI. Selama di kantor, biasanya saya memang sering kali memerah dengan interval 4-6 jam. Saya sebenarnya tahu sih, kalau sebaiknya payudara memang harus dikosongkan setiap 3 jam sekali, tapi dengan alasan jika lebih lama hasil perahan jadi lebih banyak membuat saya sering kali menunda untuk pumping. Hehe, and I was wrong. Strike two!

Padahal kalau menurut dr Sylvia Haryeny, konselor laktasi RS Hermina Bekasi Barat yang saya temui di kunjungan kedua, kita harus mengubah mindset saat hendak memerah. Katanya, ingat, kalau mau memerah tujuannya jangan untuk dapat hasil yang banyak, tapi lebih untuk rutin mengosongkan payudara. Jadi, kita tidak akan terlalu terbebani dengan hasil. Betul juga sih ya. Baiklah..

Tidak berhenti pada interval memerah, metode penggunaan breastpump sebagai pemerah juga dianggap kurang tepat oleh dr Jeanne.Kenapa? Baca di halaman selanjutnya, ya!

IMG_7949

Pertama, karena mekanisme menyedot mesin pompa berbeda dengan cara hisap bayi. Kedua, karena sering kali memerah dengan pompa tidak akan secara maksimal mengosongkan payudara dibandingkan memerah secara manual atau menggunakan tangan.

Berbeda dengan dr Jeanne, dr Sylvia tampak tidak terlalu mempermasalahkan penggunaan alat pompa ASI, dengan catatan tetap mengosongkan payudara dengan tangan setelahnya. Ini cukup melegakan saya, karena bagi saya memerah menggunakan tangan itu lama, hehe, di kantor saya merasa lebih efisien kalau memerah menggunakan breastpump andalan saya, si Medela Swing.

By the way, kembali ke sesi konsultasi di Carolus, setelah diobservasi, saya diajari pijat punggung dan payudara dan teknik memerah yang benar oleh suster, di bawah supervisi dr Jeanne. Pijat punggung dianggap sangat efektif untuk merangsang hormon oksitosin yang bekerja dalam proses produksi ASI. Memang jadi rileks banget sih setelah dipijat. Untuk itu, disarankan setiap hari menyempatkan melakukan pijat payudara dan punggung. Karena pijat punggung tidak bisa dilakukan sendiri, suami harus ikut andil di sini untuk membantu memijat punggung istrinya. This is actually the best part. Haha.. Ingat, sehari sekali lho katanya!

Pascakonsultasi, saya memang menjadi lebin rutin memerah dan lebih rutin meminta dipijatkan punggung oleh suami. Saat memerah atau setelah selesai menyusui pun, saya jadi lebih telaten untuk mengosongkan payudara dengan tangan. Alhamdulillah... Akhirnya setelah seminggu dibarengi konsumsi Nutriflam, obat resep dari dr Jeanne, titik-titik keras di payudara kanan saya pun perlahan menghilang. Di tambah bagian blessing in disguise-nya, supply ASI saya yang selama ini ada di level pas dengan demand, jadi perlahan bertambah malah di saat anak sudah masuk masa MPASI, di mana kebetuhan menyusui akan secara bertahap berkurang. Hooray! Welcome, new stock!

Di semester pertama menyusui ini, saya kembali mendapat kesimpulan baru, bahwa selain modal ngotot, ternyata menyusui itu harus juga mengantongi sabar dan komitmen untuk disiplin ya. Baiklah.. demi si plugged ducts tidak menyerang lagi dan niat untuk sampai di finish, saya rela deh, dok, untuk berusaha lebih telaten dan disiplin!