Mengambil Pelajaran dari Kasus Ade Sara

Self

adiesty・13 Mar 2014

detail-thumb

Sudah satu minggu ini saya mengikuti berita kasus pembunuhan Ade Sara. Remaja cantik berusia 19 tahun yang dibunuh oleh mantan pacar dan kekasih baru sang mantan. Buat saya, pembunuhan yang dilakukan secara keji dan terencana ini benar-benar di luar nalar.

Ada apa sebenarnya?

Pasti ada yang sesuatu yang salah dengan pelaku hingga dengan sadar melakukan pembunuhan dengan cara yang tragis. Dipukul, disetrum, sampai mulutnya disumpal dengan koran. Apa iya kejiwaan kedua pelaku ini 'sakit'? Entahlah. Toh, sampai saat ini polisi masih melakukan serangkaian tes psikolog kedua pelaku.

Atau mungkin kedua pelaku tumbuh di lingkungan keluarga yang kurang harmonis atau bermasalah sehingga bisa menimbukan hal-hal traumatis buat dirinya? Bisa jadi. Saya yakin, masalahnya pasti cukup kompleks. Bukan semata-mata lantaran persoalan cemburu saja.

Saya bukan polisi. Juga bukan psikolog. Saya hanya seorang ibu yang lantas berpikir betapa hancurnya perasaan orangtua Sara ketika mengetahui kondisi puteri semata wayangnya? Saya yakin, separuh jiwanya pasti hilang.

Seperti yang saya baca diberbagai berita, kedua orangtua Sara, khususnya sang ibu, Elisabeth, sudah punya firasat jika pembunuh putri semata wayangnya adalah Hafitd. Selain memang faktor feeling ibu begitu kuat, ternyata Sara juga dikenal dekat dengan ibunya. Sara kerap bercerita mengenai kondisi yang dialaminya. Termasuk permasalannya dengan Hafitd.

Dari sini, saya bisa mengambil pelajaran kalau Sara mengangap ibunya seperti seorang sahabat. Tempat ia bisa berbagi hal apa pun. Karena tidak banyak anak remaja yang mau jujur dengan orangtuanya soal kondisi permasalahan yang dihadapi bersama pacarnya.

Sayangnya, orangtua sering lupa berperan sebagai sahabat. Mungkin, persis seperti yang Lita tulis dalam artikel 'Mom Knows Best'. Karena merasa jauh lebih berpengalaman dan tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya, orangtua lantas sering bersikap seperti “Tuhan”.

Bukan tidak mungkin jika ujungnya-ujungnya anak justru menganggap kita sebagai musuh. Anak hanya akan merasa ada jarak. Sehingga akan menyulitkan kita memasuki dunia anak-anaknya.

Seperti yang dikatakan psikolog Putri Maharani Ardy Langka, kuncinya ada di tangan kita para orangtua. Di mana harus pintar memainkan peran, kapan saatnya jadi ibu, dan kapan bisa jadi sahabat bagi anak-anak. Dengan begitu, kita pun jadi tahu bagaimana harus bertindak.

Tidak kalah penting, jika ingin anak menganggap kita sebagai sahabat, Putri Langka mengingatkan sejak awal harus membangun trust. Hal ini tentu akan memudahkan anak-anak untuk bercerita tanpa harus bohong dan takut apa yang ingin mereka katakan.

“Intinya sebenarnya pada komunikasi. Semua harus dimulai ngomong apa adanya. Misalnya, anak sedang melihat kita berselisih dengan pasangan, ya, jelaskan saja kondisinya. Dengan begitu anak juga bisa belajar berpikir kritis dan orangtua juga wajib untuk tidak berbohong,” terangnya.

Kemudian, orangtua juga wajib mengenali dunia anaknya yang disesuaikan dengan tahapan usia. Mulai dari usia anak-anak hingga usia remaja. “Bukan hal yang tabu kalau kita juga belajar bagaimana caranya jadi remaja yang fun. Mengikuti tren yang sedang up to date. Dan yang tidak kalah penting orangtua juga harus siap dikoreksi. Terkadang orangtua suka lupa dan marah kalau mendapat kritikan dari anaknya. Padahal, ketika kita sedang menjadi sahabat anak, ya, harus siap dikritisi."

Apa yang dibilang Mbak Putri di atas, sepenuhnya saya setuju. Meskipun saya tau menjalankan peran sebagai ibu sekaligus sahabat tidaklah mudah, tapi proses ini akan terus saya pelajari sampai sekarang. Mudah-mudahan, kelak anak saya, Bumi, tidak hanya menganggap saya sebatas ibunya saja, pun sebagai sahabatnya. Semoga saja....