Sorry, we couldn't find any article matching ''
Di Balik Makanan Yang Terbuang
Terus terang sebelum membaca artikel tentang makanan yang terbuang di Eropa dan AS ini, saya hanya berpikir bahwa membuang makanan itu mubazir buat dompet. Kita tahu masih banyak orang di sekitar kita yang makannya masih harus mengorek tempat sampah. Kita juga tahu bahwa bila satu keluarga membuang makanan sepiring sehari, maka sebulan bisa dua karung, lalu sekampung jadi dua truk, dan seterusnya. Tetapi saya tidak pernah mengira bahwa penyediaan bahan pangan ke daerah yang makmur, juga menimbulkan ketimpangan persediaan bahan pangan di daerah kantong-kantong kemiskinan. Apalagi dengan standar marketing yang ditetapkan oleh pasar-pasar modern.
Terbuangnya bahan makanan ternyata tidak sekedar karena anak-anak sedang GTM, lagi cobain menu baru yang ternyata nggak enak, salah masak/olah, atau keburu basi. Tahukah Mommies bahwa ternyata dari 4 milyar ton produksi bahan pangan dunia per tahun, 30-50% bahan pangan tidak pernah sampai termasak/olah, dan 30% bahkan tidak pernah terjual karena alasan penampakan yang kurang 'cantik'?
Bayangkan seberapa besar sumber daya tanah, energi, pupuk, dan air yang telah digunakan untuk proses produksi 2 milyar ton bahan pangan yang akhirnya menjadi sampah tersebut.
Di titik mana saja, sih, kemubaziran ini terjadi?
Tahun 2010, berdasarkan penelitian lembaga Inggris Institution of Mechanical Engineers tahun 2010, alasan terbuangnya bahan pangan berhubungan dengan tingkat perekonomian kelompok konsumen di dunia.
Di negara-negara miskin dan berkembang, kemubaziran lebih banyak terjadi karena bibit, proses panen, penyimpanan, dan transportasi yang buruk. Bibit yang kurang bagus, teknologi dan infrastruktur produksi, penyimpanan, dan transportasi yang kurang canggih ikut menentukan umur bahan pangan. Sebagian besar bahan pangan busuk sebelum sampai ke tangan konsumen.
Keunggulan dari konsumen di kelompok ini, biasanya tidak terlalu pemilih terhadap kondisi 'kecantikan' bahan pangan. Yang penting nggak busuk atau rusak, mau penampilannya meleset sedikit tutup mata saja, deh. Contohnya bawang putih yang kecil-kecil pun di Indonesia masih tetap laku, nggak cuma yang besar-besar saja.
Sementara di negara-negara maju, standar supermarket besar --yang didasari oleh selera konsumen juga-- membuat sebagian bahan pangan yang tidak memenuhi ekspektasi akan tersingkir sebelum mencapai rak penjualan. Bedakan kelayakan makan dengan penampilan bahan pangan, ya. Hanya karena produksi satu kebun tahun ini kecil-kecil, buah dan sayur yang sebenarnya sangat layak konsumsi di-reject oleh supermarket karena dianggap jelek kualitasnya.
Dari produk yang akhirnya bisa mencapai rak supermarket pun, karena strategi marketing yang mendorong pemborosan, bahan pangan yang lolos juga tidak terelakkan akan berakhir di tempat sampah. Promo bayar satu dapat dua akan mendorong konsumen membeli lebih banyak dari yang sebenarnya diperlukan atau bisa diolah dan dihabiskan dalam waktu tertentu. Atau karena produk sudah dalam bentuk paket besar-besar, konsumen tidak punya pilihan untuk membeli sebanyak yang dibutuhkan saja. Mahal di ongkos, tapi mubazir.
"Wasting food means losing not only life-supporting nutrition but also precious resources, including land, water and energy."
Teknologi produksi saat ini sudah meningkat pesat. Tanah yang lebih sempit dapat menghasilkan produksi yang jauh lebih besar daripada 50 tahun lalu. Tetapi perlu diperhatikan juga bahwa proses produksi bahan pangan hewani memerlukan area yang lebih luas daripada nabati. Sebagai contoh. satu hektar tanah bila ditanami beras atau kentang, dapat memenuhi kebutuhan 19-22 orang. Sementara area yang sama bila digunakan untuk peternakan, cuma bisa memenuhi kebutuhan daging sapi atau domba untuk 1-2 orang saja.
Saat ini sekitar 3,8 trilyun kubik air digunakan oleh manusia per tahun. 70% diantaranya di sektor pertanian global. Irigasi yang lebih baik dapat secara dramatis meningkatkan hasil panen dan sekitar 40% pasokan pangan dunia saat ini berasal dari sawah irigasi. Tapi dengan menggunakan sistem pengairan irigasi ini, air tidak dapat dilestarikan. Pasca penyiraman, air ikut hilang ke dalam tanah dan tidak bisa didaur-ulang untuk keperluan lain. Selain itu, sistem yang boros terus digunakan dalam pertanian global karena ongkos produksi yang lebih murah. Meski sistem pengairan tetes atau 'ciprat' bekerja 33% lebih efektif dalam penggunaan air dan menghantarkan pupuk sampai ke akar, tetapi infrastrukturnya lebih mahal. Pada gilirannya hal ini akan menyebabkan mahalnya hasil produksi.
Dalam proses produksi daging, air yang dikonsumsi lebih banyak lagi. Mulai dari konsumsi dan perawatan hewan ternak, sampai ke pencucian daging, memerlukan 50 kali lebih banyak air daripada yang diperlukan dalam proses produksi sayur-sayuran.
Selain sumber daya tanah dan air, energi juga berperan besar dalam proses produksi bahan pangan. Pupuk dan pestisida, yang dihasilkan oleh mesin-mesin pabrik berbahan bakar fosil yang tak terbarukan, merupakan komponen terbesar dalam pertanian. Sebagai contoh pertanian gandum, 50% modal produksi hanya dari 2 komponen ini saja.
Sementara dalam skala global industri pupuk menyerap 3-5% konsumsi gas alam dunia. Dengan peningkatan produksi pupuk yang diperkirakan naik sampai 25% di tahun 2030, sumber energi akan menjadi masalah yang penting. So far, energi yang terpakai dalam industri ini, termasuk mesin pertanian, fasilitas penyimpanan dan pengolahan, dan bahan bakar alat transportasi, menjadikan total sekitar 3,1% dari konsumsi energi global tahunan.
Ah, saya juga masih harus banyak belajar mengukur kemampuan mengolah dan mengkonsumsi bahan pangan yang sudah terbeli vs umur bahan pangan itu sendiri. Masih sering keduluan busuk sebelum sempat diolah. Masih sering lupa kalau ada sisa lauk di kulkas yang suka terdorong ke bagian belakang. Masih suka tergiur BOGO (buy one get one) bahan-bahan yang nggak bisa disimpan lama.
Sejak membaca artikel Global Food: Waste Not, Want Not itu, selain menghitung harga bahan pangan yang terbuang, saya jadi kepikiran tentang sumber daya yang ikut tersiasiakan. Semoga nggak cuma saya saja, ya, yang berpikiran begini. Dengan bertumbuhnya kesadaran dari Mommies para Head of Household Purchasing Department, kemubaziran ini kedepannya bisa lebih ditekan. Amin.
sumber foto dari sini.
Share Article
COMMENTS