Beyond the Happy Family Snaps...

Parenting & Kids

ameeel・23 Oct 2012

detail-thumb

*gambar dari sini

...there is a dark side

Ayo ngaku, siapa yang suka pasang prof pic BBM dengan foto si kakak lagi mencium sayang si adik padahal aslinya si kakak jealous melulu? (biasanya fotonya pun setting-an, si kakak sengaja disuruh mencium, bukan karena keinginan sendiri, hihihi).

Atau mungkin foto anak yang lagi berani naik kuda sendirian padahal aslinya setelah foto diambil, si anak nangis kejer minta turun? :p

Berani taruhan, mesti tidak selalu, tapi apa yang tampil di foto keluarga kadang berbeda dengan realita sesungguhnya. Pencitraan, dong ... biar kesannya keluarga mungil nan bahagia gitu, makanya cuma yang happy-happy saja yang di-posting, sementara jeleknya, mah, dikekep sendiri.

Bukan hanya di foto, sikap sehari-hari pun setali tiga uang. Di hadapan keluarga besar dan lingkungan, kita tampil memainkan peran sosok ibu sempurna. Penuh kelembutan, sabar, berbicara pada anak dengan kalimat positif, dan sederet kriteria ibu sempurna lainnya. Tapiii, apa yang terjadi di balik pintu rumah, belum tentu ....

Itulah yang saya alami. Di balik posting foto keluarga yang terlihat baik-baik saja, I have a dirty little secret, something so shameful to reveal that I risk losing the majority of my dignity by admitting it here... yaitu: saya pernah kebablasan menampar Rakata :'(

Ya, meski selama ini saya merasa cukup santai menjalani peran sebagai ibu, nyatanya saya pernah terbawa emosi. Jangan tanya seperti apa penyesalannya. Sampai sekarang, jika melihat Rakata tidur, saya suka mewek sendiri bila teringat kejadian tersebut.

Bukan hanya menyesal, saya pun merasa malu. Malu pada diri sendiri, karena tidak menyangka bisa menjadi sosok ibu yang melakukan kekerasan—padahal saya pernah bersumpah untuk tidak melakukannya, tapi ternyata saya lakukan juga saat usia Rakata tiga tahun :'(

Selain itu, malu juga pada lingkungan sekitar (meski jika saya diam saja, sebenarnya tidak ada yang tahu juga, sih). Bahkan, awalnya saya merahasiakan kejadian tersebut dari suami. Saya khawatir, pandangan suami pada saya berubah. Jelek-jelek begini, suami menganggap saya cukup sempurna, lho, sebagai ibu *uhuk*

Tapi, tidak enak sekali menyimpan dirty little secret seperti itu. Rasanya, kok, munak banget. Akhirnya, beberapa minggu setelah kejadian, saya cerita ke suami. Tidak disangka, suami ternyata memaklumi. Suami malah cerita tentang tantenya (yang di mata saya, tantenya itu baik dan asyik!) bahwa dia pun pernah melihat si tante kelepasan memukul anaknya. Saya sampai tidak percaya, masa si tante melakukan itu?

"Ya, namanya juga manusia. Wajar sesekali nggak bisa kontrol emosi. Sudahlah, yang penting lo sadar itu salah. Nggak usah dinasehatin, lo juga pasti sudah menyesal, kan?" kata suami.

Fiuh. Lega rasanya bisa jujur. I have no dirty closet now. Perasaan menyesal masih ada, tapi saya seperti 'terbebas' karena tidak perlu lagi berpura-pura segalanya selalu berjalan lancar sempurna.

Tidak hanya bercerita pada suami, saya pun BBM sahabat saya, Desy Widiastuti M,Psi, psikolog kece yang lagi hamil 7 bulan. Balasan dari Desy pun sangat menenangkan. Desy bilang, "Manusiawi, Mel. Ada saatnya anak-anak blingsatan terus kebetulan kita lagi di kondisi nggak sesabar biasanya, jadinya once or twice suka khilaf."

Desy malah membandingkan pola asuh saya dengan temannya yang lain. Menurutnya, tindakan saya yang kelepasan menampar Rakata tidak lebih buruk daripada temannya yang galak dan terlalu mempermasalahkan hal kecil dalam mengasuh anak. "Lo cuma kelepasan sekali, sementara dia konsisten setiap hari kayak gitu pola asuhnya," kata Desy.

Lagipula, Desy menegaskan, saya bukan satu-satunya ibu di dunia yang berusaha terlihat sempurna.

Berikut penjelasan Desy mengenai fenomena tersebut:

"Pada dasarnya kita adalah individu sosial di mana segala tingkah laku, sistem belief yang kita punya tidak terlepas dari penilaian lingkungan sekeliling kita. Evaluasi/nilai 'ibu yang baik/sempurna' dari lingkungan menjadi bentuk motivasi bagi para ibu untuk menampilkan perilaku yang kurang lebih memenuhi ekspektasi lingkungan.

"Dari kecil hingga dewasa, kita belajar dari lingkungan, entah dalam bentuk observasi sederhana, membaca, atau belajar memahami bahwa ibu yang baik/sempurna adalah ibu dengan kriteria tertentu. Kriteria inilah yang menjadi bentuk belief dan menuntun ibu untuk berperilaku sesuai ekspektasi lingkungan.

"Contohnya, kita memiliki belief bahwa salah satu kriteria menjadi ibu sempurna adalah ketika berhasil mengasuh anak tanpa melibatkan kekerasan (membentak, mencubit, memukul, dsb). Walau kadang kita melakukannya, namun kita menutupi kondisi tersebut dari lingkungan dan menampilkan seolah-olah berhasil mengasuh tanpa melibatkan kekerasan. Kondisi ini tentu saja mendatangkan apresiasi dan perasaan bangga, bahwa kita masuk ke dalam kriteria ibu yang baik/sempurna (dengan pembenaran, toh, hanya melakukannya sekali, selebihnya memang mengasuh tanpa kekerasan).

"Pada dasarnya, sah-sah saja menampilkan diri sebagai sosok ibu tanpa cela, karena bagaimanapun apresiasi yang muncul dari lingkungan dapat dijadikan motivasi untuk menjadi ibu yang lebih baik lagi. Namun, jadi berbahaya bila kita selalu menampilkan image sebagai 'sang ibu sempurna' padahal kondisinya tidak demikian (misalnya pada situasi real lebih banyak membentak daripada mengasuh dengan pendekatan yang seharusnya), lalu menjadi 'ketagihan' akan apresiasi yang datang dari lingkungan sehingga kita terus menerus berbohong, bukannya menjadikan apresiasi sebagai pecutan untuk menjadi ibu yang lebih baik lagi. Hal ini akan mempengaruhi relasi ibu-anak dan berpengaruh pada tumbuh kembang si anak.

"Intinya, boleh saja kita menampilkan imej sebagai ibu yang baik/sempurna sejauh kondisinya memang tidak terlalu berbeda dengan apa yang terjadi dalam situasi real. Tapi perlu diingat bahwa kita bukanlah satu-satunya ibu yang mengalami kesulitan dalam menghadapi anak, sehingga tidak ada salahnya share/berdiskusi/bertanya dengan orang yang tepat/dipercaya sehingga kita dapat jujur terhadap diri sendiri dan lingkungan tanpa harus berbohong dan menutupi kondisi sebenarnya hanya demi imej."

Naaaah ... Mommies sendiri, apa dark side di balik foto keluarganya yang sempurna? Urusan ranjang dengan suami mulai dingin sejak kehadiran anak? Alasan menjadi working mom bukan karena finansial dan aktualisasi, melainkan karena tidak sabar menghadapi anak seharian? Malas menambah anak karena sebal pada suami yang kurang andil dalam merawat? Atau, mengaku bahagia dengan pernikahannya tapi diam-diam belum move on dari mantan yang bahkan juga sudah punya anak-istri? :D

Yuk, rame-rame cerita di sini. Rasanya enak, lho, jujur mengakui yang selama ini kita tutupi. Lagipula, (bukannya negative thinking, lho, ya) IMO, apa-apa yang terlalu sempurna kadang mencurigakan, karena biasanya justru ada yang disembunyikan. Saya yakin, 95 persen ibu-ibu punya dirty little secret. Sementara 5 persen yang mengaku tidak punya, pasti berbohong :D