banner-detik
KIDS

Anak dan Radikalisme, Ini Cara Orang Tua Mencegah Tindakan Ekstrem!

author

fiaindriokusumoin 5 hours

Anak dan Radikalisme, Ini Cara Orang Tua Mencegah Tindakan Ekstrem!

Faktor apa saja yang membuat anak mudah terkena paham radikalisme dan bagaimana tanggung jawab kita sebagai orang tua untuk melindungi anak?

Meskipun kian tahun sudah berlalu, fenomena radikalisme seperti tidak menunjukkan adanya pengurangan. Bahkan, tampaknya, target ideologi radikal ini semakin menyasar anak-anak di bawah umur melalui paparan ruang digital yang sulit dibatasi.

Dugaan aliran radikal juga tercium di kasus ledakan SMAN 72 Jakarta beberapa pekan lalu. Meski belum ada konfirmasi motif dari pelaku, narasi ini muncul karena adanya bukti senjata mainan dengan tulisan nama-nama pelaku kekerasan ekstrem di luar negeri. Tetapi, tidak sampai situ saja.

Kasus ini membuat isu paparan radikalisme pada anak-anak menjadi sorotan. CNN Indonesia TV pada Kamis (20/11/2025) melaporkan bahwa sebanyak 110 anak terkonfirmasi terpapar radikalisme. Lalu, bagaimana hal ini bisa terjadi? Ternyata, kelompok radikal memanfaatkan celah psikologis anak-anak melalui media sosial dan game online untuk menyebarkan pengaruhnya.

Mengkhawatirkan banget rasanya. Padahal anak-anak terutama remaja sedang ada di usia giat-giatnya belajar hal baru, mencari jati diri, dan membangun identitas. Semakin canggih zaman, ruang digital malah menjadi tempat yang semakin rentan dengan berbagai macam kejahatan. 

Di tengah kondisi tersebut, saya kerap rindu dengan masa-masa saya kecil hingga kuliah dulu. Rindu dengan urusan ibadah di Indonesia yang tak pernah sulit, mau apa pun agama kita. Rindu dengan acara buka puasa bersama seluruh kelas di rumah salah satu murid, dan semua siswa hadir, nggak peduli agamanya apa. Rindu dengan heningnya suara-suara asbun tentang urusan iman, surga dan neraka. Rindu terhadap apa yang namanya saling menghargai antar mereka yang berbeda.

Sekarang? Banyak gregetannya. Banyak sedihnya. Banyak khawatirnya.

BACA JUGA: Catatan Bullying Masuk Seleksi Kuliah: Contoh Kebijakan Korea Selatan yang Dipertimbangkan di Indonesia

Gregetan …

Karena beberapa tahun terakhir, semacam normal banget gitu lho kita melihat, membaca atau menyaksikan bagaimana pihak-pihak tertentu senang membuat kisruh kedamaian di Indonesia. Bagaimana paham dan gerakan radikalisme semakin merebak dan mengkhawatirkan.

Faktanya memang radikalisme bukan monopoli satu agama saja. Hampir semua agama punya masalah yang sama: ketika sebagian pemeluk agamanya menginginkan sebuah perubahan dengan menggunakan cara-cara ekstrem, seperti teror dan kekerasan.

Sedih dan khawatir …

Karena paham radikalisme ini mengajarkan nilai-nilai intoleransi, sulit menerima perbedaan hingga menganggap paham atau ajaran yang dianut oleh orang lain adalah salah, tak hanya di kalangan dewasa, namun juga sudah masuk ke dalam pemikiran anak hingga remaja. So sad!

Sebagai seorang ibu dari dua anak laki-laki, saya khawatir dengan lingkungan seperti apa yang kelak akan mereka jalani jika radikalisme dan intoleransi dibiarkan begitu saja. Apa yang bisa saya lakukan sebagai seorang ibu untuk membentengi anak-anak saya agar tidak terbawa arus pemikiran radikal?

Foto: Freepik

Pada saat artikel ini ditulis, saya menyempatkan berbincang dengan Mbak Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., Psikolog. untuk mencari jawaban dari sederet kekhawatiran yang hinggap di dalam kepala saya.

1. Sebenarnya, faktor apa saja yang membuat seorang anak mudah dipengaruhi dengan paham radikal?

 

 

Ini ada hubungannya dengan perkembangan otak anak dan remaja yang belum sempurna, khususnya di bagian prefrontal cortex. Bagian ini baru terbentuk sempurna di usia 20 tahun dan berfungsi untuk membantu melakukan proses berpikir tingkat tinggi, seperti memilah mana yang baik dan buruk. Nah, sebelum bagian ini terbentuk sempurna, maka anak dan remaja lebih dipengaruhi emosi dalam mengambil keputusan.

2. Apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua agar anak dijauhkan dari virus radikalisme ini?

Intinya, sebagai orang tua kita harus memelihara komunikasi yang baik dengan anak sehingga anak bisa mengutarakan apa pun yang ia dapatkan di luar rumah, termasuk tentang radikalisme tersebut! Jadi ada on going discussion tentang hal-hal dari luar rumah yang berbeda dengan nilai yang dikembangkan di dalam rumah.

Biasakan juga anak untuk bersikap kritis terhadap informasi atau masukan apa pun yang dia dengar atau lihat. Ajarkan mereka untuk selalu diskusikan segala sesuai dengan kita, orang tuanya. Menghadapi anak yang kritis, intinya kita harus sabar.

Hal ini bisa dimulai dengan tidak membiasakan anak untuk selalu menurut di rumah. Ciptakan iklim demokrasi di mana anak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapat atau perasaannya terhadap sesuatu.

3. Cara mengenali anak yang memiliki potensi bersikap radikal?

Nilai radikal biasanya berkaitan dengan kekerasan. Anak yang biasa terpapar dengan nilai kekerasan dan menunjukkan perilaku agresif, mungkin saja berpotensi radikal.

Orang tua juga perlu bersikap hati-hati ketika berada di sekitar anak. Ingat, bahwa anak itu bisa menelan mentah-mentah segala issue yang ia dengar. Misal, issue yang menjadi topik demonstrasi. Jika orang tua mendorong atau mendukung issue-issue tersebut serta membawa issue ini ke dalam kehidupan sehari-hari, maka anak bisa sangat terpengaruh.

4. Bagaimana mendidik anak agar tidak memiliki sikap intolerans, fanatik dan sulit menerima perbedaan?

Biasakan bahwa berbeda itu biasa. Dan ajak anak selalu melihat bahwa ada kepentingan orang lain yang kadang bersinggungan dan harus dicari jalan tengahnya.

5. Ketika ternyata kita menyadari bahwa anak kita terpapar radikalisme, apa yang harus segera kita lakukan?

Ajak anak diskusi tentang “pemahaman” barunya. Ajak anak menemui orang-orang yang punya pandangan berbeda tapi bisa berdiskusi dengan anak, dan waspada dengan lingkungan sekitar anak. Pastikan kita tahu anak terlibat aktivitas apa saja di luar rumah dan siapa saja orang yang berinteraksi dengan anak. Jangan lupa pantau social media anak, apa saja yang dikonsumsi anak di sana karena paham radikalisme juga bisa masuk melalui social media.

6. Kapan orang tua harus mulai khawatir dengan perilaku anak dan merasa curiga jika anak terjebak dalam radikalisme?

Ketika perilaku anak berubah drastis, anak tampil seperti bukan dirinya. Ada pikiran atau tindakan yang berbau kekerasan.

Maka, pesan terakhir dari mbak Vera adalah, diskusi tentang hal-hal ini perlu, apalagi jika anak sudah mendengar atau bertanya mengenai hal tersebut. Beritahukan anak sesuai dengan kapasitas usianya. Apalagi jika anak sudah beranjak remaja, diskusi ini sangat perlu mengingat remaja kerap menjadi sasaran masuknya paham radikalisme.

BACA JUGA: Pubertas Datang, Nilai Anak Turun? Ini Alasannya!

Cara Mencegah Anak Melakukan Tindakan Ekstrem

Sebelumnya, artikel tentang ledakan di SMAN 72 Jakarta sudah pernah dibahas di Mommies Daily. Mbak Vera pun juga turut memberikan pandangannya, termasuk cara mencegah anak melakukan hal-hal ekstrem. Orang tua bisa mengacu pada tips pencegahan yang bisa dilakukan berdasarkan pakar psikolog anak dan remaja Mbak Vera,

 

  1. Bangun komunikasi yang empatik: sama seperti sebelumnya, cobalah untuk menjadi tempat aman bagi anak untuk bercerita tanpa takut dihakimi.
  2. Mengenali tanda-tanda tekanan emosional: tanda-tanda tekanan emosional bisa terlewat jika tidak diperhatikan dengan seksama. Jika ada perubahan perilaku yang drastis, langsung ajak anak mengobrol atau konsultasi dengan ahli.
  3. Memantau aktivitas digital anak secara bijak: perlu juga untuk mengawasi konten yang dikonsumsi anak tanpa intimidasi, diskusikan juga tentang nilai kemanusiaan dan bahaya kekerasan.
  4. Tanamkan keterampilan sosial dan regulasi emosi: ajarkan anak cara mengelola emosi yang sehat.
  5. Berkoordinasi dengan sekolah: orang tua dan sekolah perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang aman.

 

 

 

Pesan terakhir dari Mbak Vera adalah, diskusi tentang hal-hal ini perlu, apalagi jika anak sudah mendengar atau bertanya mengenai hal tersebut. Beritahukan anak sesuai dengan kapasitas usianya. Apalagi jika anak sudah beranjak remaja, diskusi ini sangat perlu mengingat remaja kerap menjadi sasaran masuknya paham radikalisme.

Penulis: Fia Indrio Kusumo
Diperbarui: Retno Raminne Nurhaliza Pitoyo
Editor: Dhevita Wulandari

Cover: Freepik 

Share Article

author

fiaindriokusumo

Biasa dipanggil Fia, ibu dari dua anak ini sudah merasakan serunya berada di dunia media sejak tahun 2002. "Memiliki anak membuat saya menjadj pribadi yang jauh lebih baik, karena saya tahu bahwa sekarang ada dua mahluk mungil yang akan selalu menjiplak segala perilaku saya," demikian komentarnya mengenai serunya sebagai ibu.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan