
Pelajari kenapa pause before post atau jeda sejenak sebelum memposting bisa mencegah oversharing, drama online, dan penyesalan digital.
Marah-marah di media sosial akhirnya berujung menyesal. Siapa yang pernah atau sering merasakan? Memang, kita hidup di masyarakat yang bebas berpendapat dan media sosial menjadi wadah paling pas untuk menyalurkan itu. Meski begitu, nggak semua harus dibagikan ke media sosial. Setuju?
Perihal ini, ada yang namanya Pause Before Post. Mommies pernah dengar?

Istilah Pause Before Post merujuk pada tindakan mengambil jeda sesaat sebelum mengunggah sesuatu di media sosial. Intinya, agar setiap hal yang kita bagikan tidak membawa konsekuensi buruk, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Daripada menyesal di kemudian hari, lebih baik berpikir dua atau tiga kali lagi.
Perilaku ini bukan hanya berlaku pada orang dewasa saja, tetapi sangat penting juga untuk diajarkan kepada anak remaja.
Dikutip dari Pengetahuan dan Kebiasaan Daring Anak di Indonesia: Sebuah Kajian Dasar 2023 oleh UNICEF, ternyata masih banyak anak dan orang tua yang belum punya literasi keamanan daring yang memadai. Misalnya, menyadari risiko nyata yang ada di depan mata, seperti paparan konten tak pantas, cyberbullying, eksploitasi, dan pelecehan seksual daring.
Dengan menyadari risiko-risiko ini dan menerapkan Pause Before Post, banyak hal negatif bisa dicegah sebelum itu membuat kita menyesal.
BACA JUGA: 10 Penyebab Demotivasi Kerja yang Sering Terjadi dan Cara Mengatasinya
Kemudahan mengunggah sesuatu ke media sosial bisa membuat sebagian orang tidak berpikir panjang sebelum melakukannya. Kecenderungan ini bisa mengaburkan batas antara ruang privat dan publik. Sekali diunggah, apalagi kalau viral, jejak digital itu akan sulit dihapus sepenuhnya.
Belum lama ini ada unggahan viral di media sosial tentang keluhan seorang wanita yang meminta pertanggungjawaban petugas kereta karena tumblr miliknya hilang. Unggahan itu bikin rame se-Indonesia. Bukannya didukung, alih-alih ia malah dikritik karena unggahannya membuat petugas terkait hampir dipecat. Untungnya, pihak perusahaan hanya memberikan teguran pada petugas tersebut.
Sementara itu, pasangan suami-istri yang viral itu justru terkena sanksi sosial. Netizen menilai perilaku mereka tidak bijak karena hampir membuat seorang petugas KAI kehilangan pekerjaannya. Akibat konten tersebut, wanita itu juga berakhir di-PHK.
Becermin dari kejadian di atas dan banyak kejadian lainnya, sekali lagi penting sekali untuk Pause Before Post, yaitu berhenti sesaat sebelum memutuskan untuk mengunggah sesuatu di media sosial.

Emosi terkadang menjadi penggerak utama dalam mengunggah konten secara impulsif. Jika sudah terlanjur ramai dan viral, seseorang bisa saja menyesal di kemudian hari. Dampaknya juga nggak main-main.
Hati-hati dalam memposting sesuatu di media sosial. Jika saja konten tersebut dinilai tidak pantas atau kontroversial, dampaknya bisa langsung merusak reputasi diri. Apalagi di era ini yang penyebaran informasinya sangat cepat.
Ingat, jejak digital selalu ada. Setiap hal yang sudah diunggah ke media sosial berpotensi bertahan selamanya meski sudah dihapus. Misalnya seperti tersimpan di tangkapan layar orang lain.
Berkaca dari kejadian tumbler yang viral beberapa hari ini, unggahan di media sosial ternyata bisa berujung pada pemecatan kerja. Bukan tanpa sebab, lantaran memang ada faktor-faktor yang tidak sesuai dengan perusahaan tempat orang itu bekerja. Jadi, selalu hati-hati dengan bagaimana kita bersikap baik di media sosial maupun di dunia nyata.
Unggahan yang impulsif atau memalukan bisa memengaruhi cara orang lain melihat kita—baik teman, rekan kerja, keluarga, maupun komunitas. Dampaknya bisa berlarut-larut dan memengaruhi hubungan sosial, loh.
Saat oversharing atau kurang menjaga keamanan akun, informasi sensitif seperti data pribadi bisa saja bocor. Ini meningkatkan risiko peretasan, penyalahgunaan, hingga penipuan.
Sebuah instansi asal Irlandia bernama Data Protection Commission baru saja meluncurkan gerakan Pause Before Post pada November 2025. Kampanye ini bertujuan agar orang tua lebih sadar terhadap potensi risiko dan konsekuensi ketika mengunggah konten soal anak.
Orang tua secara tidak sadar menciptakan jejak digital anak sejak kecil. Ini berisiko karena informasi tersebut sulit dihapus dan melewatkan momen untuk mengajarkan consent. Ini jadi pengingat untuk semua pengguna media sosial bahwa setiap unggahan meninggalkan jejak digital yang abadi.
Foto anak yang diunggah bisa dipakai untuk hal berbahaya seperti deepfake. Banyak kasus bermula dari unggahan orang tua sendiri. Fenomena deepfake tidak hanya mengancam anak, tetapi juga remaja dan orang dewasa. Semakin banyak kita mengunggah foto diri, semakin besar peluang foto tersebut dipakai tanpa izin.
Metadata foto bisa membocorkan lokasi anak, sehingga meningkatkan risiko mereka dihubungi atau diikuti orang yang berbahaya. Postingan dengan lokasi real-time bisa membuka peluang stalking atau doxxing. Lebih aman jika mematikan geotag atau mengunggah setelah berada jauh dari lokasi. Siapa pun bisa terdampak.
Konten memalukan yang dibagikan orang tua bisa merusak reputasi anak di masa depan, termasuk risiko bullying. Sesuatu yang kita anggap sepele hari ini bisa berdampak pada reputasi seseorang di masa depan.
Informasi sederhana tentang anak bisa dimanfaatkan untuk pencurian identitas. Remaja dan pengguna media sosial lain juga rentan. Jaga informasi pribadi, karena data sekecil apa pun bisa jadi pintu masuk pelaku kriminal.
BACA JUGA: 10 Kebiasaan di Media Sosial Penyebab Kesehatan Mental Anak Rusak, Orang Tua Harus Waspada!

Melihat kejadian viral di atas bikin sadar kenapa Pause Before You Post itu sangat penting. Ini beberapa alasannya. Simak baik-baik!
Cara menerapkan gerakan Pause Before You Post di kehidupan sehari-hari sangat mudah. Hal ini mencegah kita untuk tidak oversharing atau mengunggah konten secara impulsif di media sosial. Dikutip dari laman Forbes, berikut caranya:
Bayangkan jadi orang lain yang melihat unggahan kita, kalau merasa risih, mungkin itu pertanda bahwa konten itu tidak perlu di-posting.
Jangan tergerak karena emosi semata, pikirkan terlebih dahulu jika konten yang ingin kita unggah akan bermanfaat atau justru merugikan orang lain.
Kita harus selalu mindful dengan semua konten yang mau diunggah, pokoknya selalu tinjau ulang sebelum suatu konten dipublikasikan.
Tidak ada yang tahu kejahatan macam apa yang ada di luar sana, jadi orang tua bisa memberikan wawasan terkait keamanan, privasi, dan batas-batas bermedia sosial.
Kurangi kecenderungan update media sosial setiap saat supaya bisa memberi diri sendiri waktu untuk lepas dari dunia maya dan fokus pada kehidupan nyata.
BACA JUGA: 7 Tips Aman Naik Transportasi Umum, untuk Ibu Bekerja hingga Remaja
Penulis: Retno Raminne Nurhaliza Pitoyo
Cover: Freepik