
Tumbuh tanpa figur ayah bisa berdampak pada emosi, perilaku, dan hubungan sosial anak. Simak penjelasan psikolog anak dan cara mencegah rantai fatherless berulang di keluarga.
Fenomena fatherless atau kondisi tumbuh kembang anak tanpa figur ayah yang hadir secara utuh dalam kehidupan anak kini jadi perhatian banyak pakar. Di Indonesia sendiri, isu ini makin sering dibahas, terutama karena dampaknya yang begitu luas terhadap perkembangan anak — baik secara emosional, sosial, maupun psikologis.
BACA JUGA: 7 Alasan Anak Tidak Dekat dengan Ayah, Bisa Alami Fatherless hingga Daddy Issue
Psikolog Klinis Anak dan Remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., M.Psi. memaparkan, “Fatherlessness tidak hanya berarti ketiadaan sosok ayah secara fisik, melainkan ketiadaan kehadiran peran ayah yang bermakna dalam kehidupan anak.
Ayah bisa saja masih tinggal serumah, tetapi secara emosional dan peran psikososialnya tidak hadir, seperti tidak terlibat dalam pengasuhan, komunikasi, atau proses pembentukan karakter anak.”
Fatherlessness bisa mencakup beberapa bentuk:

Mommies, anak yang tumbuh tanpa figur ayah bisa menghadapi tantangan yang tidak ringan. Mereka rentan mengalami insecure attachment (rasa takut ditinggalkan), harga diri rendah, dan masalah regulasi emosi seperti mudah marah atau cemas. Psikolog anak menjabarkan dampak anak yang tumbuh tanpa figur ayah.
Namun kabar baiknya, fenomena ini bisa diputus. Baik melalui peran ayah yang mulai sadar pentingnya keterlibatan, maupun dari lingkungan yang membantu anak merasa aman, dicintai, dan didukung. Yuk, kita bahas bagaimana cara memutus rantai fatherless supaya anak bisa tumbuh dengan fondasi emosional yang sehat:
Langkah pertama tentu dimulai dari rumah. Keterlibatan ayah dalam keseharian anak bukan sekadar “ikut membantu”, tetapi menjadi bagian penting dari pengasuhan. Saat ayah ikut menidurkan anak, menemani anak mengerjakan PR, atau mendengarkan cerita hariannya, itu bukan hal kecil — itu adalah bentuk kasih sayang yang menumbuhkan rasa aman.
Program komunitas atau workshop parenting yang mengajak ayah lebih aktif bisa jadi langkah efektif. Banyak ayah yang sebenarnya ingin dekat dengan anak, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Jadi, mengedukasi para ayah soal pentingnya bonding emosional bisa jadi awal yang sangat berharga.
Beberapa orang dewasa yang dulu tumbuh tanpa figur ayah mungkin tanpa sadar membawa “pola kehilangan” itu ke dalam keluarga mereka. Itulah kenapa healing dan refleksi diri jadi penting.
Mommies dan pasangan bisa mulai dengan menyadari pola komunikasi di rumah, bagaimana cara mengekspresikan kasih sayang, hingga bagaimana cara menghadapi konflik. Jika salah satu orang tua punya luka masa kecil karena fatherless, mencari bantuan profesional seperti konseling atau terapi keluarga bisa membantu memutus rantai tersebut sebelum menurun ke generasi berikutnya.
Masih banyak ayah yang merasa pengasuhan adalah ranah ibu. Padahal, edukasi parenting untuk ayah justru sangat dibutuhkan. Kelas singkat, mentoring, atau bahkan video edukatif bisa jadi jembatan yang memudahkan ayah belajar memahami kebutuhan emosional anak.
Dengan dukungan informasi yang tepat, ayah bisa belajar bagaimana menjadi figur teladan yang hangat dan tegas — bukan hanya pencari nafkah. Keterlibatan ini bisa memperkuat ikatan keluarga sekaligus membantu anak melihat ayah sebagai tempat aman untuk berproses.
Nggak semua anak punya kesempatan tumbuh dengan ayah yang hadir. Karena itu, peran lingkungan sosial sangat penting. Kakek, paman, guru, pemuka agama, atau mentor bisa menjadi figur laki-laki positif yang membantu mengisi kekosongan tersebut.
Mommies bisa membantu dengan membuka ruang bagi anak untuk berinteraksi dengan orang dewasa yang bisa menjadi panutan baik. Kehadiran figur ini bisa membantu anak belajar tentang tanggung jawab, kerja keras, dan empati — hal-hal yang biasanya juga diajarkan oleh ayah.
Untuk Mommies yang menjadi orang tua tunggal, kunci utama adalah komunikasi terbuka. Biarkan anak mengekspresikan rasa sedih, marah, atau kecewanya karena ketiadaan ayah. Jangan terburu-buru menenangkan dengan kalimat “nggak apa-apa”, tapi dengarkan dulu sampai tuntas.
Saat anak merasa didengar, ia belajar bahwa emosinya valid dan bisa diproses dengan sehat. Ini membantu membangun resiliensi emosional dan mengurangi dampak negatif dari kondisi tanpa figur ayah.
Fenomena fatherless juga butuh perhatian di tingkat masyarakat. Dukungan bisa datang lewat kebijakan yang ramah keluarga, seperti cuti ayah, fleksibilitas kerja untuk orang tua, hingga layanan konseling keluarga yang mudah diakses.
Selain itu, komunitas lokal bisa menciptakan ruang aman bagi para ayah untuk berbagi pengalaman tanpa stigma. Karena semakin banyak ayah yang merasa diterima dan didukung, semakin besar peluang rantai fatherless bisa diputus.
Mommies yang membesarkan anak sendirian punya peran luar biasa besar dalam membantu anak tetap tumbuh bahagia dan percaya diri, meski tanpa kehadiran ayah. Rawatlah diri Mommies sendiri, baik secara fisik, mental, dan emosi.
Single mom sering menempatkan kebutuhan anak di atas segalanya, padahal menjaga kesehatan mental dan fisik diri sendiri juga penting. Saat Mommies bahagia dan sehat, anak pun merasakan energi positif itu.

Pada akhirnya, kehadiran ayah yang hangat dan terlibat secara emosional adalah “kado” terbesar bagi tumbuh kembang anak. Anak yang punya figur ayah positif cenderung lebih percaya diri, lebih berempati, dan punya hubungan sosial yang lebih sehat.
Jadi, yuk, kita mulai dari hal-hal kecil di rumah — mendengarkan anak, bermain bersama, atau sekadar hadir dengan sepenuh hati. Karena memutus rantai fatherless bukan tugas satu orang saja, tapi tanggung jawab bersama untuk membangun generasi yang lebih sehat secara emosional.
BACA JUGA: Fenomena Latte Dad di Swedia dan Kontrasnya dengan Fatherless di Indonesia
Cover: Freepik