Birgitta Ajeng: Banting Setir Dari Jurnalis ke Psikologi. Nggak Keberatan Mulai Dari Awal Lagi.

#MommiesWorkingIt

dewdew・in 4 hours

detail-thumb

Meski harus mulai dari awal lagi, Ajeng, seorang jurnalis yang pindah ke bidang psikologi, merasa sangat bahagia saat ini menjalani bidang barunya.

Buat sebagian besar orang, memulai sebuah perjalanan hidup dari awal lagi tentu melelahkan. Sehingga banyak yang kemudian reluctant untuk mencoba sesuatu yang baru di usia yang tidak muda lagi. Beda cerita untuk Birgitta Ajeng, seorang ibu di usia 34 tahun, yang tadinya seorang jurnalis, banting setir kuliah S1 psikologi tahun 2025 ini. Mulai lagi dari awal. Apa yang memengaruhi keputusan drastisnya ini? Simak, yuk, ceritanya!

Cerita, dong, pas jadi jurnalis, apa yang paling seru dari masa itu? 

 

Selama 11 sampai 12 tahun jadi jurnalis, mulai dari kerja di media online, sempat berkarir juga di media cetak grup Femina, yang seru, tuh, ya, liputan.  Apakah liputan di dalam, maupun luar negeri. Dari liputan itu aku bisa bertemu dengan banyak narasumber dari berbagai latar belakang. Pengalaman-pengalaman itulah yang mengasah kemampuanku berkomunikasi. Karena sebagai wartawan, ketika kita wawancara, kan, bukan sekadar bertanya. Tapi pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dirumuskan dulu based on TOR atau Term Of Reference. Intinya supaya pertanyaan-pertanyaan kita sesuai dengan tema atau topik yang ingin kita tulis. 

Apalagi media sekarang sudah multi channel, ya. Jadi, sudah bukan sekadar menulis lagi. Tapi bagaimana kita juga harus bisa mentransformasikan tulisan itu ke media masa kini, seperti video reels, konten carousel, dan lain-lain. Oh, ya, ada juga aku dikasih kesempatan untuk jadi host di acara talk show di media tempat aku kerja. Jadi itu makin mengasah kemampuan public speaking, yang sekarang terpakai banget.

Apa momen ‘AHA’ yang akhirnya membuat kamu kepikiran pindah ke psikologi? Kan, jauh banget, nih. Apa peran sebagai seorang ibu mempengaruhi keputusan untuk pindah karir?

Dulu, sebelum punya anak, semua pekerjaan, hajar aja. Mau pulang malam juga aku jabanin, Apalagi waktu kerja di Femina Group, banyak event seperti Jakarta Fashion Week, yang bukan cuma butuh waktu ekstra, tapi juga tenaga ekstra. Ketika aku melahirkan anak pertamaku di tahun 2016, prioritas hidupku pelan-pelan berubah. 

Nah, ketika aku sempat jadi jurnalis di majalah Intisari, aku banyak menulis soal parenting, sehingga ketemu banyak narasumber yang berprofesi sebagai psikolog. Di momen itulah wawasan aku jadi sangat terbuka mengenai dunia psikologi. Apakah itu tentang pola asuh anak, mental health, relationship, semuanya menarik untuk aku kulik.  Betul, bahwa peran sebagai seorang ibu itu pada akhirnya memengaruhi keputusanku untuk banting setir, pindah karir ke bidang psikologi. 

Baca juga: 5 Tokoh Perempuan Inspiratif Pejuang Hak dan Kesetaraan. Siapa saja? 

Apakah kamu mengalami keraguan saat akhirnya banting setir ke bidang psikologi? Apalagi harus mulai dari awal. 

jurnalis psikologi

Ada banget. Ketika memutuskan untuk resign dari pekerjaan jurnalis akhir tahun lalu, aku sempat ada di persimpangan jalan. Antara ambil S2 Komunikasi atau S1 Psikologi. Suamiku sendiri lebih cenderung menyarankan aku ambil S2 Komunikasi karena itu sejalan dengan bidangku saat ini. Apalagi S1-ku kan di ilmu komunikasi, ya. 

Tapi sepertinya nasib membawaku ke jalan yang berbeda. Saat itu life coach yang membimbingku melihat ketertarikanku ketika membahas soal kesehatan mental, terutama topik-topik soal setting boundaries. Topik ini juga sering aku bahas di media sosialku. 

Di suatu waktu aku terpapar postingan seorang influencer, namanya Tante Mobi. Dia juga pindah jalur dari seorang sarjana ekonomi ke sarjana psikologi. Di situ dia cerita perjalanan dia yang bikin aku terinspirasi dan makin yakin untuk kuliah S1 psikologi. Mulai dari awal lagi. 

Pernah nggak, sih, pas anak lagi tantrum terus kamu pakai ilmu Psikologi untuk menenangkannya? 

Kalau pengalaman menariknya, tuh, bukan pas anak lagi tantrum. Tapi kalau di anakku justru ketika dia mulai sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan unik, yang mungkin kalau sama orangtua dulu sudah langsung di-shutdown, ya. Hahaha… Apalagi anakku ini tipe ceriwis, banyak nanya banget.

Contohnya, nih, saat ini dia sudah mau punya adik. Dia bisa, tuh, bertanya ketika nanti adik sudah lahir dan adik menangis, siapa yang disalahkan? Aku atau adik? Unik dan challenging sekali pertanyaannya, bukan? Di situ aku mencoba memberikan jawaban yang sesuai dengan ilmu yang aku pelajari. Aku akan berusaha untuk memberikan jawaban yang masuk di logika berpikir anak seusia dia. Saat ini jawabanku bisa jadi kurang tepat, tapi aku selalu berusaha untuk selalu menjawab. Nggak langsung aku suruh diam, seperti yang mungkin dilakukan banyak orangtua jaman dulu, ya.

Anak memang menjadi salah satu motivasi aku juga untuk mendalami psikologi karena aku ingin memberikan pola parenting yang lebih relevan terhadap dia. Karena aku sadar banget, pola-pola parenting orangtua kita dulu, saat ini sudah tidak relevan lagi. Untuk itulah aku merasa butuh mendalami bidang psikologi. 

Baca juga: Alditama: Kalahkan Ego Untuk Kepentingan Anak Demi Co-Parenting Berjalan Baik 

Ada nggak, pelajaran penting tentang parenting yang didapat dari belajar psikologi dan diterapkan ke anak?

Sebagai mahasiswa psikologi semester 1 saat ini aku lagi belajar psikologi perkembangan. Tentu saja aku bisa langsung aku praktikkan, ya. Aku jadi bisa memahami dari segi perkembangan manusia, bahwa anak di usia 1-3 tahun itu memang lagi banyak mengembangkan kemampuan motorik halusnya. Itu,kan, berkaitan dengan tangan, otot, ya, salah satunya. Ketika dia lagi suka menggambar, saya sediakan medianya. Bahkan kita di rumah sempat memfasilitasi anak untuk menggambar di dinding rumah. 

Apa yang paling bikin bahagia dari perjalanan switching career dari jurnalis ke psikologi ini?

Aku sangat berbahagia atas proses belajar sekarang. Ini sebuah proses memelajari sesuatu yang kita suka banget. Teori-teori yang aku pelajari saat ini, sedikit banyak membantuku sebagai seorang ibu dan sebagai seorang Oracle Reader. Terpakai banget. Nggak menyesal pindah dari jurnalis ke psikologi.

Harapannya dengan ilmu psikologi yang aku pelajari ini, bisa membuatku jadi seorang konselor yang hadir untuk orang lain, menjadi tempat mereka nyaman bersandar, dan aman ketika berbagi cerita soal kondisi kesehatan mental mereka.

Aku ingin bisa memberikan solusi buat berbagai masalah kesehatan mental banyak orang. Saat ini aku lagi mempersiapkan sebuah proyek kolaborasi yang bergerak di bidang mentoring atau coaching terkait topik setting boundaries. Semoga ilmu yang aku pelajari sekarang memang berguna untuk membantu orang-orang di sekitarku dan tentu saja kalau bisa bagi masyarakat luas.

Cover photo koleksi pribadi