Terlihat sepele, tapi menyusui dapat memberikan banyak manfaat baik bagi bayi dan bagi busui. Ini tantangan ibu menyusui di Indonesia.
Menyusui adalah hak mendasar setiap ibu sekaligus kebutuhan vital bagi bayi untuk tumbuh sehat. Namun, di Indonesia, hak ini belum sepenuhnya terpenuhi, terutama bagi WNI perempuan yang berstatus ibu bekerja.
Data menunjukkan bahwa cakupan pemberian ASI eksklusif masih jauh dari target nasional, bahkan lebih rendah lagi pada ibu bekerja. Menurut Profil Kesehatan Indonesia 2021, hanya 52,5% bayi yang mendapatkan ASI eksklusif, angka ini menurun dari 64,5% pada 2019. Lebih memprihatinkan lagi, prevalensi ASI eksklusif pada ibu bekerja hanya sekitar 32% (RISKESDAS 2012). Angka ini sangat jauh dari target nasional 80% yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI.
Berikut ini beberapa tantangan yang paling sering terjadi pada para ibu menyusui. Apa saja?
BACA JUGA: Kuis: Mitos atau Fakta: Seberapa Paham Kamu tentang Menyusui?
Undang-undang memang menjamin masa cuti melahirkan selama 3 bulan, dan dapat diperpanjang hingga 3 bulan berikutnya dengan syarat tertentu. Namun, ketika kembali bekerja, banyak ibu bekerja menghadapi kenyataan bahwa kantor mereka belum menyediakan ruang laktasi yang layak, nyaman, dan bersih untuk memerah ASI.
Mengutip penelitian Tasya Khariena Akbar (Universitas Lampung) yang dimuat dalam Jurnal Medika Malahayati (Desember 2022), sebanyak 92,1% ibu bekerja menyatakan tidak ada ruang laktasi memadai di tempat kerjanya. Akibatnya, banyak yang terpaksa memerah ASI di tempat yang kurang layak seperti bilik kerja atau toilet.
Ruang laktasi yang ada pun sering kali tidak memenuhi standar kebersihan dan privasi yang dibutuhkan. Ketersediaan peralatan pendukung seperti kursi nyaman, stop kontak, dan lemari pendingin untuk menyimpan ASI juga sangat terbatas. Padahal, Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 serta Permenkes No. 15 Tahun 2013 secara jelas mewajibkan setiap tempat kerja dan sarana umum menyediakan ruang laktasi sesuai standar minimal, termasuk perlengkapan sterilisasi dan fasilitas penyimpanan ASI perah.
Selain masalah fasilitas, jadwal kerja yang kaku dan tuntutan pekerjaan yang tinggi membuat ibu pekerja kesulitan menemukan waktu yang cukup untuk memompa ASI. Banyak yang tidak mendapatkan waktu istirahat yang memadai sehingga ritme alami menyusui terganggu dan produksi ASI menurun.
Konvensi ILO No. 183 Tahun 2000 tentang Perlindungan Maternitas Pasal 10 menjamin hak ibu menyusui (busui) untuk mendapatkan istirahat harian atau pengurangan jam kerja. Ketentuan serupa juga diatur dalam Pasal 83 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sayangnya, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal. Hal ini bisa disikapi dengan keterbukaan dan komunikasi akan kebutuhan dari busui.
Tekanan emosional juga menjadi tantangan besar bagi busui. Stres karena kesulitan mengatur waktu antara pekerjaan dan menyusui sering kali membebani psikologis mereka. Perasaan bersalah karena tidak bisa memberikan ASI secara langsung juga kerap muncul.
Penelitian yang dilakukan Putri Widita Muharyani dkk. (2022) menemukan bahwa mayoritas busui menghentikan pemberian ASI eksklusif karena tantangan seperti persepsi bahwa ASI mereka tidak cukup (81%). Stigma sosial yang mendiskreditkan ibu bekerja memperparah kondisi ini. Lingkungan kerja yang mendukung dapat menjadi solusi penting untuk mengurangi beban psikologis para ibu.
Di luar kantor, dukungan sosial untuk ibu menyusui juga masih minim. Banyak yang mendapat pandangan negatif ketika menyusui di tempat umum atau memerah ASI di kantor. Asap rokok yang masih bebas di ruang publik juga membuat ibu menyusui enggan menyusui di luar rumah karena khawatir membahayakan bayi.
Situasi ini kerap terjadi di area makan, ruang tunggu, bahkan kendaraan umum seperti kereta pada jam-jam padat yang belum ramah terhadap ibu menyusui.
Pemenuhan hak ibu menyusui bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi kolektif. Dukungan dari suami, keluarga, rekan kerja, dan atasan sangat krusial dalam keberhasilan pemberian ASI eksklusif.
Pemerintah perlu memastikan regulasi terkait penyediaan ruang laktasi di kantor benar-benar dijalankan. Perusahaan juga harus melihat ini sebagai investasi jangka panjang. Program dukungan menyusui terbukti meningkatkan loyalitas karyawan dan menurunkan tingkat absensi. Sementara itu, masyarakat perlu diedukasi bahwa menyusui di ruang publik adalah hak ibu yang harus dihormati.
Ibu menyusui adalah pilar penting generasi masa depan bangsa. Sebagai WNI, perempuan yang menjadi ibu berhak atas perlindungan dan dukungan penuh dalam menjalankan proses menyusui. Jika lingkungan kerja dan sosial belum mampu menciptakan ruang yang aman dan mendukung, maka target pemberian ASI eksklusif hanya akan menjadi mimpi yang jauh dari kenyataan.
BACA JUGA: 10 Susu Terbaik untuk Ibu Menyusui, Tinggi Asam Folat dan Nutrisi Lengkap
Cover: senivpetro/Freepik