Belajar Memahami Disenfranchised Grief atau Duka Tidak Terakui: Refleksi akan Duka Kehilangan Ibrahim S. Assegaf sebagai Mentor

MD Powerful People

Mommies Daily・3 days ago

detail-thumb

Kehilangan sosok guru, sahabat, dan teladan yang baik, kepergian Ibrahim S. Assegaf meninggalkan kehilangan mendalam bagi semua orang yang mengenalnya.

Untuk Najwa, Izzat dan keluarga besar Assegaf Hamzah & Partners (AHP).

Berpulangnya Ibrahim Sjarief Assegaf, yang akrab dipanggil Baim atau inisialnya (ISA), sangat memukul kalangan hukum Indonesia. Sebagai suami dari jurnalis Najwa Shihab dan ayah dari Izzat Assegaf, Baim dikenal di berbagai kalangan sebagai pribadi yang sangat berpengetahuan, rendah hati dan akrab dengan berbagai kalangan.

Meski publik lebih mengenalnya sebagai salah satu partner di firma hukum terbesar Indonesia Assegaf Hamzah & Partners (AHP), almarhum ikut mendirikan Hukumonline, salah satu pendiri dan menjadi direktur eksekutif di organisasi masyarakat sipil Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) serta Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

Keterlibatan aktifnya baik di ranah korporat maupun masyarakat sipil memberikan corak tersendiri dan kini menjadi bagian dari sejarah perkembangan hukum Indonesia. Hingga akhir hayatnya, Ibrahim aktif sebagai salah satu board PSHK dan pengajar di Jentera. 

Ibrahim Sjarief Assegaf adalah atasan pertama saya setelah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2000. Saat itu, beliau telah berpengalaman sebagai pengacara korporat di Hadiputranto, Hadinoto & Partners (HHP), salah satu firma hukum terkemuka dengan pengalaman internasional. 

Selama dua tahun bekerja di bawah bimbingannya, saya banyak belajar, baik dalam aspek profesional maupun akademik. Sebagai atasan, Ibrahim tidak segan memberikan koreksi secara terbuka. Meskipun bagi sebagian orang pendekatan ini terasa keras, namun bagi kami yang pernah bekerja dengannya, sikap tersebut tidak pernah bersifat personal. Sebaliknya, almarhum menyampaikan kritik dengan hangat dan akrab, yang justru mendorong peningkatan kualitas kerja kami.

Pendekatan yang seperti abang kepada adik ini membuat kepergian Ibrahim meninggalkan duka mendalam di berbagai kalangan. Banyak yang mengenangnya bukan hanya sebagai atasan, tetapi juga sebagai mentor dan sahabat yang tulus.

Duka kehilangan teladan dan mentor ini terasa begitu spesifik dan berbeda dibandingkan kehilangan anggota keluarga. Tanpa bermaksud membandingkan, rasa kehilangan seseorang yang bukan anggota keluarga dekat adalah kedukaan mendalam yang membutuhkan proses tidak mudah. Inilah yang disebut disenfranchised grief, atau duka yang tidak terakui: rasa kehilangan yang berada di luar jangkauan norma sosial dan seringkali tidak mendapatkan validasi.

Norma sosial kerap tidak memberi ruang cukup bagi mereka yang bukan keluarga dekat untuk mengekspresikan duka mereka. Entah itu mantan atasan, rekan kerja, atau bahkan mantan pasangan, rasa kehilangan seseorang yang memiliki makna dalam hidup kita adalah nyata dan perlu adanya saluran untuk diungkapkan. Kehilangan akan hewan peliharaan juga bisa dikategorikan sebagai duka yang tidak terakui karena kerap orang mengecilkan dalamnya emosi antara seseorang dengan binatang kesayangannya.

Pengalaman Pribadi di Rumah Duka

Saya merasakan hal ini saat melayat di rumah duka. Setelah memeluk dan menguatkan Najwa serta keluarga besar, saya melihat ibunda almarhum duduk di samping jenazah. Saya menyalami beliau dan menyampaikan bahwa almarhum adalah atasan pertama saya. Dengan suara pelan dan mata berkaca-kaca, beliau berkata, “Maafkan Ibrahim ya, Mbak.”

Saat itu, saya ingin menangis di pangkuan beliau, menumpahkan rasa kehilangan yang mendalam. Namun, saya menahan diri karena menyadari bahwa ekspresi duka yang berlebihan dari pihak luar keluarga bisa dianggap melanggar norma.

Pengalaman serupa saya alami saat kehilangan teman baik sejak SMA, Santi Kusumaningrum. Saya menangis di pangkuan ibunda almarhumah dan merasa aman mengekspresikan duka karena hubungan kami jelas sebagai sahabat SMA. Namun, apakah harus ada kejelasan hubungan untuk membenarkan ekspresi duka yang mendalam? Seringkali, makna seseorang baru kita sadari sepenuhnya saat kita menyadari bahwa kita tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.

Ruang untuk Duka Yang Tidak Terakui

Menekan atau mengalihkan rasa duka tanpa memberi ruang untuk memprosesnya dapat memperpanjang proses penyembuhan dan menimbulkan beban mental. Terutama dalam kasus disenfranchised grief, individu sering merasa kesedihannya tidak divalidasi karena norma sosial tidak memberikan ruang. Seorang teman pria bercerita bahwa ia merasakan duka yang mendalam atas kepergian Ibrahim, namun merasa tidak pantas mengekspresikan kesedihannya di tengah keluarga besar almarhum karena merasa sebagai pihak luar.

Dengan semakin kompleksnya hubungan antar manusia dan pentingnya kesehatan mental, mungkin sudah saatnya kita menemukan istilah dalam bahasa Indonesia untuk disenfranchised grief. Saya belum tahu istilah yang tepat, namun mengakui bahwa kita berduka dan memproses emosi tanpa menekannya akan membantu menjaga kesehatan mental.

Berkumpul dengan mereka yang memiliki kedekatan yang sama dengan almarhum dan saling berbagi kenangan adalah bentuk pengakuan kolektif atas duka tersebut. Ruang untuk berbagi kesedihan di luar tradisi adat dan keagamaan perlu mendapat tempat sebagai alternatif karena tidak semua ekspresi duka tertampung dalam ritual keagamaan. Dalam hal ini, saya merasa beruntung karena setelah Santi berpulang, teman-teman terdekatnya sempat beberapa kali berkumpul untuk saling menguatkan secara lintas kepercayaan.

Tentu, duka yang saya bahas di sini adalah rasa kehilangan dalam konteks yang relatif netral, seperti kehilangan mentor dan sahabat. Bentuk disenfranchised grief yang lebih kompleks, seperti keguguran atau kehilangan orang terdekat yang memiliki stigma sosial tertentu, memerlukan penanganan profesional. Oleh karena itu, membuka diri untuk membahas duka perlu mendapat perhatian serius karena memiliki cakupan dan dimensi yang mendalam.

Saat menulis paragraf terakhir ini, saya teringat mereka yang bukan keluarga dekat namun sangat berduka atas kepergian Ibrahim. Seorang teman mengunggah foto-fotonya bersama Ibrahim saat makan durian, naik motor, hingga berolahraga. Teman lain membagikan tangkapan layar percakapan WhatsApp-nya dengan almarhum tentang motor. Seorang rekan kerja mengunggah video saat mereka bermain game bersama Ibrahim. Yang mengharukan, sehari setelah pemakaman, beberapa rekan perempuan sekantor dengan Ibrahim berziarah ke makam sambil membawa kopi favorit almarhum dan memberi laporan tentang tugas terakhir yang diberikan Ibrahim kepada mereka.

Saya membayangkan Ibrahim yang akan mempermasalahkan, alih-alih  menyelesaikan tesis, mengapa saya ‘membuang’ waktu untuk menuliskan artikel singkat ini untuk mengenangnya. Itulah Ibrahim bagi yang mengenalnya,  penuh empati dan bersikap atas kepentingan terbaik orang lain. 

Ibrahim, terima kasih sudah menjadi abang bagi kamu semua. Terima kasih menjadi karakter teladan yang selalu bisa kami andalkan dan semua kenangan hangat saat kita semua berproses bersama. Damai di surga-Nya, Im.

BACA JUGA: 5 Tokoh Perempuan Inspiratif Pejuang Hak dan Kesetaraan, Siapa Saja?

Penulis: Gita Putri Damayana

*Gita Putri Damayana adalah kandidat doktoral di Australian National University (ANU), peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. 

Cover: Instagram @najwashihab