Didik anak perempuan Mommies tumbuh jadi sosok yang tangguh dan tidak salah jalan. Berikut beberapa cara yang bisa diterapkan.
Mommies punya anak perempuan? Di tengah era digital yang serba cepat dan visual, kita menyaksikan fenomena yang memprihatinkan: semakin banyak anak muda, termasuk perempuan, yang terjebak dalam gaya hidup instan. Salah satu istilah yang kerap muncul di media sosial adalah “mental ani-ani” — istilah satir untuk menggambarkan perempuan yang menggantungkan hidupnya pada penampilan dan relasi transaksional, tanpa keinginan membangun kualitas diri secara utuh.
Memang kurang bijak rasanya “menuduh” atau menghakimi orang yang kita kenal itu bermental ani-ani atau bukan. Tidak mesti ia adalah seorang istri atau pacar simpanan pejabat, atau berprofesi tertentu yang terstigma sebagai ani-ani. Mental ani-ani ini bisa ada di siapa pun, tak peduli strata sosial dan latar belakang pendidikan. Bahkan seorang perempuan dalam relasi pernikahan.
Beberapa ciri misalnya, mereka yang mengutamakan validasi lewat penampilan, menjadikan hubungan sebagai sumber materi, over-pamer tapi minim karya, dan tidak konsisten dengan nilai diri. Dengan kata lain, mental ani-ani bukan sekadar “profesi” atau soal tentang cara memaknai diri.
6 Cara Mendidik Anak Perempuan agar Tak Punya Mental Ani-Ani

Sebagai orang tua, sudah saatnya kita menyadari pentingnya mendidik anak perempuan bukan hanya agar cerdas, tetapi juga berkarakter kuat, mandiri, dan sadar nilai diri. Berikut beberapa pendekatan yang bisa dilakukan.
1. Tanamkan Harga Diri Sejak Dini
Ajari anak perempuan bahwa nilai dirinya tidak bergantung pada penampilan atau pujian dari luar tapi dari kontribusinya terhadap kehidupan. Libatkan anak dalam percakapan yang membangun kesadaran diri, seperti:
- Apa yang kamu sukai dari dirimu?
- Apa hal baik yang bisa kamu lakukan untuk orang lain hari ini?
2. Bangun Kemandirian, Bukan Ketergantungan
Mentalitas ani-ani sering kali tumbuh dari kebiasaan dimanjakan atau bergantung pada orang lain untuk kenyamanan hidup. Latih anak untuk mengambil keputusan sendiri, menyelesaikan masalah, dan bertanggung jawab atas pilihannya. Berikan kepercayaan dan ruang untuk mencoba, meskipun itu berarti membiarkannya belajar dari kesalahan.
3. Ajarkan Nilai Kerja Keras dan Proses
Perempuan juga harus punya etos kerja, kreativitas, dan ketekunan. Libatkan anak dalam aktivitas produktif: berkebun, berdagang kecil-kecilan, membuat kerajinan, atau belajar mengelola keuangan sejak remaja. Bukan hasil cepat yang kita tanamkan tapi semangat proses.
4. Perkuat Koneksi dengan Spiritualitas dan Etika
Tanpa akar nilai yang kuat, anak mudah goyah oleh godaan gaya hidup instan. Tanamkan nilai spiritual, bukan sekadar religiusitas formal, tapi rasa syukur atas hidup, tubuhnya sendiri, dan sikap hormat pada orang lain.
Ajak anak berdiskusi tentang makna cinta, keutuhan diri, dan integritas.
5. Bimbing dalam Memilah Konten dan Lingkungan
Jangan biarkan media sosial yang mendidik anak. Dampingi mereka dalam memahami konten, nilai-nilai populer, dan bagaimana memilih pergaulan yang sehat. Anak perempuan yang punya batasan diri dan tahu apa yang patut, tak akan mudah terbawa arus.
6. Jadilah Teladan
Anak perempuan belajar bukan dari kata-kata, tetapi dari cara hidup kita. Tunjukkan lewat karya dan kerja keras bahwa menjadi perempuan tidak harus glamor, tetapi bisa bermartabat, tangguh, lembut, sekaligus cerdas. Perempuan yang menyadari nilai dirinya tak akan pernah rela merendahkan diri demi validasi atau pansos.
Mendidik untuk Merdeka
Mendidik anak perempuan bukan sekadar agar mereka “baik-baik saja,” tetapi agar mereka merdeka secara pikiran dan kuat secara mental. Anak perempuan masa kini adalah ibu peradaban masa depan. Jangan biarkan mereka tumbuh hanya menjadi pengikut tren kosong — didiklah mereka menjadi pemimpin yang tahu arah, tahu nilai, dan tahu siapa dirinya.