Mari koreksi cara kita membesarkan anak laki-laki, agar mereka tak tumbuh menjadi predator seksual di masa depan. Ini tipsnya langsung dari pakar!
Kekerasan seksual bukan datang tiba-tiba. Ia dibentuk perlahan, di ruang makan, di obrolan keluarga, di diamnya orang tua saat anak laki-lakinya mulai meremehkan perempuan. Diberi ruang untuk berkuasa tapi tidak pernah diberi batasan. Diajari untuk kuat tapi nggak diajari cara menghargai. Lalu kita kaget, ketika mereka tumbuh dan melukai.
BACA JUGA: Agar Anak Laki-laki Saya Tidak Melanggengkan Toxic Masculinity Seperti Ahmad Dhani
Berikut hasil wawancara saya dengan Ayank Irma Gustiana, Psikolog Anak, Remaja serta Keluarga sekaligus founder dari Ruang Tumbuh.
1. Lingkungan keluarga yang permisif terhadap kekerasan atau seksime. Keluarga yang menormalkan kontrol terhadap perempuan atau tidak mengajarkan anak laki-laki tentang batasan tubuh serta respek.
2. Riwayat pelecehan atau kekerasan seksual. Pelaku yang pernah menjadi korban di masa kecil dan tidak mendapat pemulihan secara sehat serta tuntas.
3. Paparan konten pornografi yang ekstrem dan tidak realistis, serta tidak dibarengi edukasi seksual yang sehat, sehingga membentuk pola pikir bahwa seks itu tentang dominasi dan agresi.
4. Tekanan maskulinitas toksik, seperti budaya yang mendorong laki-laki untuk berkuasa, mendominasi atau tidak boleh menunjukkan empati.
5. Kurangnya pengasuhan yang membangun empati dan tanggung jawab. Sehingga anak tidak diajarkan mengenal emosi, empati serta konsekuensi, dan itu membuat anak lebih mudah melihat orang lain sebagai objek.
BISA. Karena menjadi anak baik-naik seringkali hanya diukur dari kepatuhan luar. Pelaku kekerasan seksual bisa saja pintar, sopan, religius atau populer. Tapi kalau tidak ada pembelajaran yang sehat tentang menghormati tubuh orang lain, relasi setara, edukasi seksual, kesadaran akan konsen, maka akan tetap berisiko.
1. Ajarkan consent sejak dini. Contoh sederhana, “Kalau adik nggak mau dipeluk, kamu jangan memaksa.” Consent itu bukan topik yang dibicarakan oleh orang dewasa tapi ini pelajaran dasar untuk anak, bahwa badan orang lain bukan milikmu.
2. Biasakan anak punya empati. Sesederhana bertanya ke anak: Kalau kamu diperlakukan seperti itu, kamu senang nggak?
3. Edukasi seksual bukan hal yang tabu. Bicarakan soal tubuh dan privasi. Area pribadi, batasan, dan tanggung jawab. Bicarakan sesuai usia anak, karena kalau bukan dari kita orang tuanya, anak malah bisa jadi belajar dari sumber yang salah.
4. Berikan contoh relasi yang saling menghargai. Ingat bahwa anak tak hanya belajar dari nasihat, namun juga contoh nyata yang dia lihat, dari cara kita memperlakukan pasangan, cara kita bersikap ke ART, cara kita memperlakukan orang lain.
Percuma kita bicara: “Hormati perempuan” atau “hormati orang lain” kalau setiap hari yang dia lihat orang tuanya tak bisa menghargai orang lain, bicara saling bentak satu sama lain.
5. Bangun komunikasi yang terbuka agar anak tak mencari tahu hal-hal sensitif dari sumber yang salah. Bukan berarti semua obrolan harus serius, tapi bikin anak paham bahwa topik sensitif itu boleh kok dibahas dengan orang tua tanpa takut dihakimi.
1. Jangan panik tapi juga jangan mengabaikan. Ajak anak bicara tapi jangan menyerang. Gali pelan-pelan dan gunakan empati, seperti “Kamu tahu itu dari mana dan menurut kamu bagaimana?”
2. Jangan tutup mata, jangan denial, jangan menunggu viral.
3. Minta bantuan profesional, baik itu ke psikolog anak atau remaja, lebih bagus lagi yang terbiasa menangani isu perilaku seksual yang menyimpang. Rehabilitasi dibutuhkan supaya bisa fokus pada pembentukan ulang cara berpikir dan memahami relasi yang sehat., bukan hanya menghakimi perilaku.
BACA JUGA: 15 Tips Mendidik Anak Laki-laki agar Menjadi Pasangan yang Baik & Menantu Idaman!
Cover: Freepik