Pemerintah Izinkan Aborsi Korban Pemerkosaan, Ini Pro dan Kontranya

Parenting & Kids

Ficky Yusrini・05 Aug 2024

detail-thumb

Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan izin aborsi bagi korban pemerkosaan. Banyak pihak yang setuju, namun banyak juga yang khawatir soal aturan ini.

Akhir Juli lalu, Pemerintah Indonesia mengambil langkah berani dengan mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, yang memperbolehkan aborsi dalam kondisi tertentu, khususnya bagi korban pemerkosaan. Kebijakan ini, yang ditandatangani langsung oleh Presiden Joko Widodo, menjadi sorotan banyak pihak.

Langkah ini bukan hanya menandai perubahan signifikan dalam pendekatan negara terhadap hak-hak korban kekerasan seksual, tetapi juga membuka diskusi mendalam tentang moralitas, kesehatan, dan keadilan di masyarakat.

Praktik Aborsi Korban Pemerkosaan

Selama ini, bagaimana praktik aborsi bagi korban pemerkosaan? Sebetulnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sudah mengatur bahwa aborsi aman dapat dilakukan pada ibu hamil dengan indikasi kedaruratan medis atau korban perkosaan.

Namun, kenyataannya, tidak ada fasilitas kesehatan yang ditegaskan atau ditunjuk sebagai pengampu layanan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan. Di lapangan, petugas kesehatan masih meminta persetujuan hakim untuk melegalkan aborsi. Proses legalisasi ini dapat memakan waktu lebih lama dari usia kehamilan yang diperbolehkan aborsi sesuai undang-undang.

BACA JUGA: Lakukan Ini Ketika Anak Perempuan Pubertas dan Mulai Tumbuh Payudara, Catatan untuk Orang Tua!

Tantangan Akses Aborsi yang Aman

Masalah utama yang dihadapi korban pemerkosaan adalah akses untuk mendapatkan fasilitas aborsi yang aman. Apakah hal ini dipermudah dengan adanya PP No. 28 Tahun 2024 ini? Hal yang perlu dicermati adalah syarat yang harus dipenuhi untuk membolehkan aborsi menurut Pasal 118 PP 28/2024, yaitu adanya surat keterangan dokter yang menyatakan usia kehamilan sesuai dengan tindak pidana perkosaan, dan adanya keterangan dari penyidik mengenai dugaan perkosaan atau kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan.

Faktanya, proses hukum bagi kasus kekerasan seksual atau perkosaan seringkali memakan waktu lama. Selain itu, Pasal 120 PP 28/2024 mengatur bahwa pelayanan aborsi diberikan oleh tim pertimbangan dan dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan. Seringkali, dewan pertimbangan ini justru menjadi kendala yang dapat menyebabkan korban takut untuk memutuskan aborsi, terutama jika dewan pertimbangan tidak memiliki keberpihakan dan empati terhadap psikologi korban pemerkosaan.

Foto: wayhomestudio on Freepik

Implementasi di Lapangan

PP ini juga harus memberikan kepastian dan kemudahan bagi korban dalam mengakses fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut yang memenuhi standar untuk memberikan tindakan aborsi yang aman. Hal ini tercantum di Pasal 119, namun demikian, pelaksanaan di lapangan seringkali jauh berbeda.

Sebelum keluarnya PP ini, negara kita sudah mengakui pembolehan aborsi bagi korban pemerkosaan sebagai pengakuan terhadap hak asasi manusia, terutama hak korban untuk menentukan apa yang terjadi pada tubuh mereka setelah mengalami kekerasan seksual.

Aborsi dapat mencegah dampak fisik dan mental yang lebih parah bagi korban pemerkosaan. Kehamilan akibat pemerkosaan dapat menimbulkan trauma psikologis tambahan dan masalah kesehatan bagi korban. Memperbolehkan aborsi memberikan korban pilihan untuk tidak melahirkan anak yang dihasilkan dari tindakan kriminal, yang dianggap sebagai bagian dari keadilan dan pemulihan bagi korban.

Argumen Kontra

Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa pandangan kontra terhadap aborsi masih sangat kuat. Bagi sebagian orang, aborsi dipandang sebagai tindakan yang tidak bermoral atau berdosa, terlepas dari keadaan yang menyebabkan kehamilan. Banyak agama mengajarkan bahwa kehidupan dimulai sejak konsepsi, sehingga aborsi dianggap sebagai pengambilan nyawa.

Ada juga kekhawatiran bahwa aturan yang memperbolehkan aborsi bagi korban pemerkosaan bisa disalahgunakan, dengan orang-orang mengklaim telah diperkosa untuk mendapatkan akses ke aborsi. Proses hukum yang memastikan bahwa klaim perkosaan benar-benar terjadi sebelum aborsi diizinkan dapat memperpanjang waktu dan menambah beban mental bagi korban.

Selain itu, stigma sosial terhadap aborsi masih sangat kuat. Aborsi masih dianggap tabu dan dapat menimbulkan konsekuensi sosial yang berat bagi korban, seperti ostrasisasi atau pengucilan dari komunitas.

BACA JUGA: Mengapa Saksi Pemerkosaan Ada yang Memilih Diam? Ini Penjelasan Psikolog

CoverFreepik