Sorry, we couldn't find any article matching ''
BKKBN Sarankan Melahirkan Anak Perempuan untuk Menjaga Populasi: Benarkah Jadi Solusi?
BKKBN menyarankan setiap keluarga untuk melahirkan anak perempuan demi menjaga populasi. Hal itu mendapat beragam respon. Benarkah itu jadi solusi?
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyebut pemerintah menargetkan setiap pasangan suami istri melahirkan sedikitnya satu anak perempuan, sebagaimana dilansir dari Kompas.com. Kebijakan tersebut ia sampaikan menyusul temuan data terakhir angka kelahiran Indonesia menunjukkan 2,18.
BACA JUGA: Poin Penting UU KIA yang Baru Disahkan, Ibu Melahirkan Dapat Cuti 6 Bulan dan Gaji Penuh
Tren yang Menurun
Total Fertility Ratio (TFR) atau angka kelahiran total mengukur rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh setiap wanita selama masa suburnya. Angka TFR yang dianggap normal atau stabil untuk menjaga populasi suatu negara tetap seimbang umumnya adalah sekitar 2,1 anak per wanita. Angka ini dikenal sebagai “replacement level fertility” atau tingkat fertilitas pengganti, yang cukup untuk menggantikan jumlah orang tua dan mempertahankan ukuran populasi dari generasi ke generasi tanpa mempertimbangkan faktor migrasi.
Angka 2,1 memperhitungkan bahwa tidak semua anak perempuan akan mencapai usia subur dan melahirkan. Jika TFR berada di bawah 2,1, populasi cenderung menurun dalam jangka panjang, dan sebaliknya. Dari data tersebut sebetulnya menunjukkan angka kelahiran di Indonesia masih ideal.
Akan tetapi, yang menjadi landasan argumen Kepala BKKBN, karena angkanya di setiap provinsi tidak merata. Misalnya di DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Bali, angkanya kurang dari 2. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten juga angkanya kurang dari 2.
Kekhawatiran juga didasarkan pada angka perkawinan di Indonesia yang merosot tajam dari semula rata-rata 2 juta pernikahan, menjadi ‘hanya’ 1,5 hingga 1,7 juta dalam setahun. Hasto juga mengungkap bahwa saat ini terjadi perubahan persepsi di masyarakat mengenai pernikahan, hal ini turut berkontribusi pada penurunan TFR.
Banyak orang kini beranggapan bahwa pernikahan bukan lagi suatu kewajiban, sehingga jumlah pasangan yang menikah dan memiliki anak semakin berkurang. Ia juga melihat adanya pergeseran tujuan pernikahan yang awalnya didominasi prokreasi atau memiliki keturunan, kini tidak sedikit yang hanya menjadi rekreasi.
Tren itulah yang mendasari prediksi Indonesia bisa mengalami krisis penduduk. Hasto menyebut, mitigasi untuk mengantisipasi krisis penduduk perlu diupayakan mulai sekarang. Penurunan TFR di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah anak yang dilahirkan semakin sedikit. Fenomena ini bisa membawa dampak jangka panjang, termasuk penyusutan populasi yang bisa mengganggu keseimbangan sosial dan ekonomi negara.
Melahirkan Anak Perempuan Jadi Solusi?
Foto: Freepik
Untuk mengatasi penurunan TFR, Hasto Wardoyo mengajukan solusi. Ia berharap setiap pasangan suami istri di Indonesia melahirkan setidaknya satu anak perempuan. “Perempuan muda nanti diharapkan punya anak rata-rata satu perempuan,” ujarnya. Ia menggambarkan skenario ideal di mana jika ada 1.000 perempuan di desa, maka harus ada 1.000 bayi perempuan yang lahir.
Pilihan untuk memfokuskan pada kelahiran anak perempuan tidak sekadar simbolis. Perempuan berperan penting dalam keberlanjutan populasi karena perempuan yang melahirkan generasi berikutnya. Dengan memastikan setiap wanita melahirkan satu anak perempuan, diharapkan keberlanjutan populasi dapat terjaga dengan baik. Hal ini penting untuk memastikan struktur demografi yang seimbang dan mencegah terjadinya penyusutan populasi.
Namun demikian, cukup disayangkan jika pendapat ini kemudian ditindaklanjuti sebagai kebijakan.
Pertama, solusi ini terkesan pragmatis. Mengatasi masalah populasi tentunya tidak cukup hanya dengan memastikan kelahiran anak perempuan. Pendekatan ini cenderung melihat masalah populasi sebagai isu yang terisolasi, padahal idealnya harus dipandang secara holistik dan integral, bagaimana negara berperan membangun kebudayaan, mencerdaskan masyarakat, dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga. Negara juga perlu memikirkan bagaimana menciptakan lingkungan di mana keluarga merasa yakin, mampu, dan nyaman untuk memiliki anak, serta memastikan kota atau lingkungan menjadi tempat yang ramah bagi tumbuh kembang anak.
Kedua, gagasan ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana negara boleh melakukan intervensi ke dalam ranah privat keluarga atau bahkan individu. Keputusan untuk memiliki anak adalah wilayah privat yang tidak boleh diatur oleh negara.
Ketiga, kalaupun ini menjadi kebijakan negara, bagaimana teknisnya?
Bagaimana menurut Mommies dan Daddies tentang pembahasan ini? Setuju atau tidak?
BACA JUGA: Lahir di Era Digital, Ini 5 Tantangan Orang Tua Membesarkan Gen Alpha
Cover: Freepik
Share Article
COMMENTS