Sorry, we couldn't find any article matching ''
Aninda: Praktisi Psikologi Anak yang Berusaha Berikan Solusi Tanpa Menyudutkan Ibu
Sebagai seorang praktisi psikologi anak, Aninda terus belajar untuk memberikan bantuan yang terbaik dan berusaha tidak menyudutkan para ibu.
Menjadi praktisi psikologi anak bisa dibilang merupakan impian Aninda, atau mungkin banyak dikenal sebagai Aninda, S.Psi, M.Psi.T. Ibu dua anak ini pun berbagi cerita kepada Mommies Daily mengenai pengalaman masa kecil yang membawa dia menjadi seorang Praktisi Psikologi Anak Usia Dini.
Tidak hanya itu, Aninda pun juga aktif berbagi informasi mengenai tumbuh kembang anak melalui media sosialnya yang disertai tagar #IbuNindaParentingSharing. Sosok wanita yang tahun ini genap berusia 34 tahun tersebut juga mengakui pekerjaannya sebagai praktisi psikologi anak membuat dia terus belajar mengenai dunia anak yang selalu berkembang.
Penasaran dengan sosoknya? Yuk, intip wawancara Mommies Daily bersama Aninda di bawah ini!
BACA JUGA: 20 Rekomendasi Psikolog Anak dan Remaja yang Bisa Membantu Kesehatan Mental Buah Hati
Apa yang membuat kamu jatuh cinta pada dunia psikologi?
Awalnya dulu waktu SD, aku lihat ada rubrik curhat di salah satu majalah wanita. Di situ aku tertarik, “Kok seru ya kasih saran ke orang lain kayak gini?” Lalu, aku tanya-tanya tentang hal tersebut ke ibuku. Dari jawaban beliau akhirnya aku tahu, orang yang bisa memberi saran seperti itu adalah orang-orang dengan latar belakang pendidikan psikologi.
Nah, mulai saat itu, sekitar kelas 4-5 SD, aku mulai yakin mau kerja di dunia psikologi. Walaupun sempat beberapa kali ada cita-cita lain yang bersliweran, seperti ingin jadi penyiar radio, seksolog, kerja di majalah, tetapi cita-cita kuliah di psikologi tetap berada di nomor satu.
Kebetulan aku suka banget sama anak-anak dan akhirnya berkecimpung di dunia ini. Aku senang mengamati perkembangan mereka. Selain itu, ilmu psikologi terkait anak selalu update setiap tahunnya seiring perkembangan zaman. Jadi, bekerja di dunia praktisi psikologi anak ini bisa dibilang seperti lifelong learning buatku.
Tiga sifat yang disukai dari diri kamu?
Tiga sifat yang aku suka dari diri aku pertama adalah tangguh. Bisa dibilang aku orangnya nggak gampang menyerah. Kalau gagal, ya, coba lagi dengan cara lain. Aku itu selalu punya cadangan energi untuk menyemangati diri sendiri.
Lalu yang kedua adalah aku senang belajar hal baru. Padahal dulu semasa SMA aku nggak suka belajar. Dulu aku anak IPA gadungan yang remedial terus. Saat kuliah, ternyata psikologi benar-benar hal yang aku suka, ditambah cabang ilmunya ada banyak banget. Makanya, aku selalu ingin terus menambah ilmu.
Terakhir aku suka diri aku yang humoris. Aku suka banget bercanda. Jadi walaupun di satu sisi kayaknya serius banget tapi di sisi lain aku bisa sereceh itu.
Pengalaman masa kecil apa yang membuat kamu memiliki tiga sifat tersebut?
Kalau tangguh dan senang belajar hal baru itu terbentuk sejak aku masih kecil. Kebetulan aku anak pertama yang dididik untuk kuat dan mau mencoba berbagai macam hal. Jadi, sepertinya tanpa disadari kedua sifat itu terbentuk dengan sendirinya.
Kalau humoris sepertinya itu turunan dari orangtua. Kedua orang tua aku suka bercanda, jadinya aku tertular.
Apa tantangan sebagai sosok perempuan yang bekerja di dunia praktisi psikologi anak usia dini?
Tantangannya berbeda ketika aku sebelum menjadi ibu dan sesudah menjadi ibu. Kalau dulu sebelum menjadi ibu, aku pleketiplek banget ikutin teori. Teorinya bilang begini, ya, kenyataannya harus dan pasti begini. Bisa dibilang cukup idealis.
Setelah jadi ibu dan menyadari bahwa teori itu bisa berbeda dengan praktiknya, aku jadi agak lebih melunak dan bisa melihat dari berbagai sisi, tidak hanya sisi teori. Aku juga bisa lebih menyesuaikan, nggak kaku, dan menyampaikan informasi dengan cara yang baik tanpa menyudutkan ibu. For me, this is one of the blessings.
Sebutkan tiga support system kamu?
Orangtua, suami, dan anak-anak. Mereka yang ada setiap hari buat aku.
Bagaimana cara menjaga hubungan dengan keluarga di tengah gempuran teknologi dan gadget, yang banyaknya ‘mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat’?
Kuncinya adalah aku selalu meluangkan waktu untuk kumpul bareng. Kalau dengan orangtua, biasanya aku ajak makan bersama di tengah atau akhir minggu. Kalau dengan suami dan anak-anak, kami biasanya nonton film setiap malam sebelum tidur. Ini jadi rutinitas untuk mendekatkan hubungan kami sekeluarga.
Lanjutkan kalimat ini: Menjadi perempuan di Indonesia itu …
Perlu memahami bahwa mengaktualisasikan diri itu penting, dan perlu dilakukan selaras dengan peran kita sebagai istri dan ibu.
BACA JUGA: Siapkan 5 Hal Ini Sebelum Konsultasi ke Psikolog Anak
Foto: Instagram/aninda143
Share Article
COMMENTS