Jangan perhadapkan anak pada hal-hal yang manis-manis saja, tapi ajarkan juga realitas hidup agar anak siap mengarungi kehidupan dengan segala dinamikanya.
Ketika beranjak besar, anak akan sering diperhadapkan pada berbagai situasi dan kondisi di luar sana yang nggak selalu nyaman. Entah tantangan-tantangan baru, harus semakin mandiri dan tangguh menghadapi persoalan, tanggung jawab yang lebih besar untuk diemban, dan seterusnya. Anak dituntunt untuk mampu beradaptasi dan menghadapi realitas hidup yang bisa banget berbeda dengan ekspektasi, harapan, dugaan bahkan rencana anak.
Tugas kita sebagai orang tua adalah mempersiapkan mental mereka untuk memiliki daya tahan yang baik dalam menghadapi berbagai situasi, kondisi serta tantangan tersebut. Pertanyaannya, apakah kita sudah mempersiapkan anak untuk itu?
Kalau belum, masih ada waktu memperkenalkan anak pada berbagai realitas kehidupan. Cobalah selipkan obrolan-obrolan ringan tentang realitas hidup berikut. Walau ringan, tapi bisa membentuk anak agar lebih tangguh, mengubah cara pandang anak terhadap dirinya sendiri dan tentang dunia, sekaligus bisa mengubah cara pandang kita juga.
Saat anak mencapai usia tertentu, akan tiba saatnya mereka memutuskan segala sesuatu untuk dirinya sendiri. Dari keputusan kecil hingga besar. Dari yang berdampak kecil dalam hidupnya, hingga yang berdampak sangat besar, seperti contohnya jurusan kuliah, ingin ambil tawaran kerja yang mana, dan seterusnya. Oleh karena itu, sangat penting buat orang tua mengajar anak tentang cara berpikir yang bijaksana, karena itu lebih penting dari mengajarkan apa yang harus dipikirkan.
Biasakan anak untuk berupaya untuk mendapatkan sesuatu. Biarkan mereka belajar naik kendaraan umum, ke pasar tradisional, menabung atau mencari tambahan uang untuk membeli benda yang diinginkan, dan seterusnya. Cukup ajarkan caranya, sisanya, biarkan mereka berusaha sendiri. Itu akan membuat mereka bertumbuh.
Berekspektasi itu harus, tapi overekspektasi, jangan. Overekspektasi sering mengantarkan kita pada kekecewaan. Jadi, ajari anak untuk meletakkan eskpektasi secara realistis, sesuai dengan usaha yang sudah dilakukan, bukan angan-angan belaka.
Merasa khawatir dalam batas normal itu nggak apa-apa. Malah itu bisa membuat kita lebih berhati-hati atau lebih baik dalam hal berantisipasi. Namun jika berlebihan, khawatir malah bisa mencuri fokus kita dari yang seharusnya dikerjakan. Anak perlu belajar hal ini.
Anak perlu belajar tentang sikap: bagaimana cara merespon keadaan, bereaksi terhadap masalah, berelasi, mengelola emosi dan stres agar bisa menjalani hidup berdamai dengan realitas, dan tak hanyut dalam rasa frustrasi. Praktikkan ini langsung di rumah, agar anak bisa mencontohnya dari Anda.
Baca juga: Orangtua Remaja Wajib Isi: Seberapa Tahu Anda Tentang Dunia Remaja
Dr. Robert Emmons dari UC Davis meminta beberapa siswa remaja untuk membuat jurnal rasa syukur selama sepuluh minggu. Mereka membuat daftar lima hal yang telah terjadi dan mereka syukuri dalam seminggu terakhir. Hasilnya; siswa yang membuat jurnal rasa syukur 25% lebih bahagia, lebih optimis tentang masa depan mereka, dan lebih jarang sakit selama studi terkontrol. Mereka bahkan berolahraga lebih banyak dari biasanya. Yuk, dorong anak untuk secara rutin menghitung berkat-berkat yang mereka terima, mulai dari yang kecil hingga yang paling besar. Ini terbukti bisa menyehatkan jiwa juga, lho.
Jika baru bisa bahagia kalau dapat nilai bagus, dibelikan hp baru, dirayakan ulang tahun, piknik bareng keluarga, anak akan lebih sulit berbahagia jika yang terjadi kebalikannya. Tak bisa legowo. Ajari anak untuk berbahagia atas pilihan-pilihan hidupnya, keputusan yang diambil, alasan melakukan sesuatu, mengapresiasi diri atas upaya yang ia lakukan sendiri, menolong sesama dan bermanfaat buat orang lain, dan seterusnya. Kebahagiaan seperti ini jauh lebih bermakna ketimbang kebahagiaan atas hal-hal yang bersifat materiil.
Karena tanpa proses, nggak akan bisa sampai ke hasil, bukan? Di perjalanan proses itulah terletak pembelajaran, rintangan dan bagaimana cara menghadapinya, seberapa kuat, teguh dan tangguh kita. Hasil adalah cerminan dari proses yang dilakukan. Teladanilah hal ini kepada anak.
Ketika anak mengalami rintangan, ajari agar tak berfokus pada rintangan itu sendiri. Fokus pada rintangan bisa menghabiskan energi. Bergeraklah maju mencari solusi, dan segera lanjutkan hidup.
Anak seringkali malas dinasehati panjang lebar. Tapi perhatikan, deh, mereka pasti meniru gaya orang tuanya dalam hal apapun, seperti disiplin, tanggung jawab, tepat waktu, konsistensi, cara mengelola emosi, dan seterusnya. Jadi, seringkali teladan orang tua lebih “didengar” anak ketimbang petuah panjang lebar. Ketika anak mencontoh hal-hal yang baik dari orang tua, niscaya anak pun melakukan hal yang sama: lebih banyak bertindak ketimbang bicara.
Baca juga: 8 Masalah Remaja yang Paling Sering Terjadi, Menurut Psikolog