banner-detik
PARENTING & KIDS

Tips Melatih Kemampuan Sosialisasi Anak Usia SD

author

RachelKaloh30 May 2023

Tips Melatih Kemampuan Sosialisasi Anak Usia SD

Anak usia SD yang biasanya sudah lebih mandiri, perlu memiliki kemampuan sosialisasi agar tidak kesulitan menghadapi masa depannya. Tips berikut ini bisa orangtua lakukan. 

Kemampuan dan perkembangan sosial emosional anak berbeda di setiap tahapan usianya, dari balita, lalu masuk SD, sampai ketika ia pre-teen hingga resmi menjadi teenager. Peran orangtua sangat diperlukan dalam melatih kemampuan anak sosialisasi. Karena itu, mari kita pahami agar stimulasi yang kita berikan pada anak sesuai dengan yang ia butuhkan. Dengan begitu, anak tidak akan kesulitan menghadapi masa depannya. 

Apa yang bisa orangtua lakukan untuk melatih kemampuan sosialisasi anak usia SD?

Usia SD, sekitar 6 tahun ke atas, artinya rentang waktu untuk anak melakukan kegiatan sendiri tanpa bimbingan orangtua semakin panjang. Tidak heran hal ini menjadi salah satu tanda anak siap untuk duduk di bangku Sekolah Dasar. Maka, tentu saja kemampuan anak dalam bersosialisasi di usia ini jauh lebih menantang dibanding ketika masih balita. 

Baca juga: 10 Tanda Anak Siap Masuk SD, Bukan Baca dan Berhitung! 

Pahami kemampuan sosial emosional yang sebaiknya dimiliki anak

Berdasarkan tingkat usia, bila dibandingkan dengan anak balita, makin banyak perubahan yang terjadi pada anak usia 6-8 tahun. Dari segi kemampuan secara umum, anak sudah jauh lebih mandiri, ia sudah bisa mandi dan berpakaian sendiri, bahkan memilih baju sendiri. Ketika mendeskripsikan keinginannya, sudah lebih detil dari sekadar “mau A atau B”. Contohnya, saat menggambarkan keinginan liburan, tidak hanya pilihan tempat saja, tetapi sudah bisa mencakup hal-hal apa saja yang mau ia lakukan di tempat tersebut.

Demikian halnya dari segi sosial emosional anak:

  • Eksistensi di tengah peer kian penting. Mulai bermain berkelompok (punya geng/sahabat), bisa menentukan siapa teman dekatnya dan alasan mengapa ia memilih berteman dengan mereka. 
  • Punya referensi sendiri, termasuk dalam hal perhatian dan dukungan yang ia inginkan (maunya lebih banyak didengar, tapi menolak kalau dicium Mama di depan teman-temannya, karena buatnya ini justru memalukan).
  • Usia SD juga sudah masuk pada fase industry, artinya ia sudah mulai ada keinginan untuk mastery dalam bidang tertentu (bisa akademis maupun non akademis). Sehingga ketika anak merasa punya keahlian spesifik dibanding teman-temannya ini, ini akan menunjang keberhargaan dirinya yg jadi salah satu faktor penunjuang pembentukan kepercaayaan diri pada anak.
  • Anak mulai membandingkan dirinya baik secara fisik tubuh, keahlian,  materi dengan teman sebaya sehingga orangtua perlu bijak menanamkan pentingnya merasa cukup dengan dirinya.

Selanjutnya, pahami kebutuhan sosial emosional anak 

Dari kemampuannya tersebut, maka hal penting dan utama bagi anak usia ini umumnya adalah:

  • Support dari keluarga sebagai orang-orang terdekat, yang sesuai dengan kebutuhannya.
  • Hal-hal yang menyangkut masa depannya.
  • Keberadaan dirinya di dunia, di mana anak ingin selalu bisa diterima dan disenangi oleh teman-teman seusianya, terutama dengan keahlian yang ia miliki.
  • Merasa cukup dengan dirinya, bahwa ia berharga dan layak dicintai tanpa embel-embel fisik maupun materi.
  • Persahabatan dan teamwork.

Dengan memahami kebutuhan anak, maka orangtua akan lebih mudah mendukung anak dalam melatih kemampuan sosialisasinya. 

Yang perlu diingat terkait kemampuan sosialisasi anak

Beberapa hal yang juga penting dan mendukung keselarasan hubungan antara orangtua dan anak usia sekolah, sehingga anak terlatih untuk mampu bersosialisasi dengan sesama temannya:

Pahami kemampuan anak dan cara ia berteman, yang mungkin berbeda dari anak lain seusianya. Meski data secara umum mengatakan bahwa anak usia sekolah seharusnya sudah bisa menentukan peer-nya dan bisa bergaul secara berkelompok, bukan lalu artinya anak yang pendiam akan mengalami masalah dalam pergaulan. Bila kita menganggap kemampuan anak itu ada “standarnya”, kita akan kesulitan sendiri ketika membantu anak bersosialisasi. Ia mungkin tidak selalu bisa memulai percakapan duluan dengan teman barunya, tetapi kemampuan bersosialisasinya terlihat dengan ia yang selalu bisa menerima siapapun yang mau berteman dengannya. Keduanya, baik, kok.

Fokus pada apa yang anak kita butuhkan. Anak yang memiliki karakter pendiam akan tidak nyaman ketika menghadapi pertanyaan, seperti, “Kamu happy nggak di sekolah?”, “Kamu main nggak sama si A?”, “Kok, nggak mau, sih, Mama daftarin sepak bola?” Hati-hati dengan hal-hal yang kita anggap sesuai dengan keinginan anak, padahal kita enggan menanyakannya langsung. Padahal, anak sudah bisa memilih untuk melakukan sesuatu berdasarkan ketertarikannya. Dan ingatlah bahwa anak yang menjalani hari-harinya di sekolah, maka menghargai pilihan anak adalah wajib.

Tidak mengesampingkan pendapat maupun perasaan anak, ketika tidak sesuai dengan anak-anak pada umumnya. Termasuk mengganggap remeh perasaan anak ketika ia merasa tidak happy di sekolah atau ketika kita tawarkan kegiatan ekstrakurikuler tertentu. “Ah, kamu lagi nggak semangat aja kali, kita coba besok lagi, ya!” Padahal anak memang sedang menunjukkan ketidaktertarikannya akan aktivitas pilihan kita tersebut.

Pentingnya diskusi terbuka secara rutin dengan anak, lewat obrolan sehari-hari. Namun, diskusi ini harus terbuka, ya, artinya, anak punya privilege yang sama dengan Anda. Sehingga, setiap obrolan yang terjadi selalu bisa diakhir dengan kepala dingin, walaupun pendapat anak mungkin jauh berbeda dari yang kita harapkan. Hindari langsung menutup obrolan dengan kalimat-kalimat yang mematahkan pendapat anak, misalnya, “Ya udah, nurut aja, deh!”, “Kalau Mama bilang gini, dengerin aja!”. Melainkan, tetaplah merespon anak melalui kalimat seperti, “Oke, kita pikirin lagi dulu sama-sama, ya!”, “Oke, kita rembukin dulu, ya, Nak!” Kebiasaan ini adalah kunci anak kelak memiliki rasa percaya diri, keyakinan terhadap dirinya sendiri, serta kemampuan mengatasi konflik

Tanamkan pentingnya merasa bahwa dirinya berharga, bahwa ia good enough, layak dicintai dengan apa adanya. Jadi, anak tidak perlu harus berusaha disukai oleh semua orang karena ada Anda sebagai orangtuanya yang siap untuk menerima anak apa adanya. Anak perlu paham bahwa ia akan selalu punya “rumah” untuk pulang.

Tanamkan pentingnya respect. Bahwa sebagaimana dirinya bisa berpendapat dengan terbuka pada Anda, anak juga perlu memahami adanya pendapat yang berbeda dari teman-temannya dan ia patut menghargai pendapat tersebut. We can always agree to disagree. Tidak semua orang punya selera yang sama, beda pendapat itu wajar. Dengan menanamkan respect, anak akan terbiasa menghadapi keberagaman yang ia temui sehari-hari di sekolahnya. Kelak, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang open minded.

Tanamkan pentingnya punya empati. Selain peraturan sekolah yang bisa menjadi pedoman anak dalam berperilaku, penting untuk anak memiliki empati. Agar ketika anak melihat temannya berbuat hal yang tidak semestinya, misalnya temannya mengejek teman lain, anak tidak akan tinggal diam dan menormalisasi perilaku tersebut. Dengan memiliki empati, anak akan tahu tindakan apa yang seharusnya ia lakukan. Sehingga bilamana ia tidak bisa menghentikan temannya yang salah, setidaknya ia bisa membela temannya yang menjadi korban. 

Baca juga: 10 Cara Melatih Keterampilan Komunikasi Anak Usia SD

Artikel ini berdasarkan konsultasi dengan Belinda Agustya, M.Psi, Psikolog.

Share Article

author

RachelKaloh

Ibu 2 anak yang hari-harinya disibukkan dengan menulis artikel dan content di media digital dan selalu rindu menjalani hobinya, menjahit.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan