banner-detik
SEX & RELATIONSHIP

Memahami Pilihan Childfree, To Have or Not To Have

author

Ficky Yusrini14 Feb 2023

Memahami Pilihan Childfree, To Have or Not To Have

Childfree adalah sebuah pilihan. Hanya karena melawan arus norma sosial, bukan berarti pilihan itu salah. Ada 7 miliar penduduk dunia, itu berarti ada 7 miliar alasan untuk punya atau tidak punya anak. Mind your own business.

Menarik untuk menyimak perdebatan di jagat media sosial baru-baru ini, setelah seorang Youtuber, Gita Savitri, mengaitkan antara terlihat awet muda dengan pilihan hidupnya untuk tidak mau punya anak alias childfree. Sebetulnya hal yang biasa, tapi karena yang ngomong influencer bisa jadi perdebatan panjang, di Instagram, Twitter, Youtube.

Mari memahami pilihan orang untuk childfree

Hak Reproduksi Perempuan

Wahai para lelaki, sebelum kamu menghakimi macam-macam, sadari dulu bahwa soal anak ini adalah hak reproduksi perempuan, hak yang sangat asasi. Perempuan punya pilihan atas tubuhnya. Perempuan juga perlu mendidik dirinya untuk paham akan kesehatan reproduksinya, kapan usia yang aman untuk melahirkan, menentukan jarak kelahiran, pilihan kontrasepsi, kondisi kesehatan fisik serta mentalnya. Dalam proses hamil dan melahirkan, seorang perempuan sesungguhnya dalam posisi mempertaruhkan nyawa.

Childfree, Hidup Penuh Kejutan

Wajar-wajar saja berencana, tapi tetap ingat, Tuhan yang menentukan. Dulu, saya juga pernah ‘sesumbar’ mau menikah di usia matang (setelah 35 tahun). Eh, tidak tahunya, kecepetan 10 tahun dari rencana. Setelah menikah, saya juga pernah tidak mau punya anak. Eh, nggak tahunya, instan ‘dikasih’ anak. Jadi saya bisa bilang, hidup itu penuh kejutan. Nikmati saja setiap kejutannya. Kalau saat ini tidak mau punya anak, bukan tidak mungkin selamanya akan tidak punya anak. Pernah, seorang teman yang punya prinsip childfree, di usia mendekati 40 tahun terjadi kehamilan. Setelah itu dia bilang, kehadiran anak ternyata hadiah terindah dalam hidupnya. You’ll never know.

Ilusi ‘The Right Choice’

Kehadiran anak bisa menjadi hal yang sangat indah bagi satu pasangan, tapi bagi orang lain bisa jadi malah menghancurkan hidup. Pilihan punya anak atau tidak, menurut School of Life, sangat tergantung juga pada jenis ‘penderitaan’ yang dipilih. Perlu disadari bahwa setiap pilihan punya sisi kesengsaraannya masing-masing. Contoh, kalau punya anak, sengsaranya: capek, rumah kotor, repot, kehilangan banyak kesempatan, rasa bersalah, tidak punya waktu me time, dan sebagainya. Kalau tidak punya anak, contoh sengsaranya: kesepian, kebosanan, tidak ada yang perlu diurus, capek ditanya keluarga dan masyarakat, kerinduan sentimental dengan kehadiran anak, hari tua tanpa keluarga, dan sebagainya.

Dalam memutuskan, fokuslah pada jenis penderitaan apa yang paling cocok buatmu. Bukannya membayangkan dengan semangat utopia, kalau memilih A atau B itu berarti akan terhindar dari kesedihan atau penyesalan dan hidup akan jadi lebih indah. Tidak ada yang namanya ‘The Right Choice’. Sadarilah bahwa setiap pilihan kita mengandung opsi derita, baik punya anak atau tidak. Jadi, cari tahu dulu sebanyak mungkin preferensimu dalam hal kesengsaraan yang akan dihadapi.

Baca juga: 8 Kalimat Penting yang Perlu Didengar Anak dari Orang tuanya

Menjadi Orang Tua yang Siap

Tanggung jawab sebagai orang tua tidaklah mudah. Ditambah lagi, tidak ada sekolahnya. Membesarkan anak bukan cuma urusan memberi makan dan menyekolahkan, tapi sebuah proses pendidikan seumur hidup yang berlangsung dari dalam keluarga. Orang tua yang masih menyimpan trauma masa kecil, belum dewasa, tidak mau belajar dan mengubah diri menjadi lebih baik, cenderung menciptakan atmosfer negatif bagi anak. Sebelum memutuskan punya anak, orang tua terlebih dahulu perlu menjawab pertanyaan, “Anak seperti apa yang ingin kita besarkan?” Punya anak idealnya adalah pilihan sadar yang diambil, bukan karena tekanan sosial. Apalagi pengaruh hashtag.

Kalau dicari-cari nalarnya, banyak alasan kenapa seseorang tidak mau punya anak. Alasan ‘aktivis lingkungan’ seperti meningkatnya konsumsi keluarga berarti meningkatkan emisi gas rumah kaca, tidak sustainable, menambah populasi penduduk, dan sebagainya. Tidak sedikit pula yang berangkat dari alasan faktor ekonomi, kekhawatiran tidak bisa memenuhi biaya hidup anak kelak. Sebagian lagi, alasan psikologis, karena trauma yang pernah dialami sewaktu kecil.

Baca juga: 5 Bentuk Gashlighthing pada Anak

Semua alasan itu legit. Ada 7 miliar penduduk dunia, dan itu berarti ada 7 miliar alasan untuk punya atau tidak punya anak. Mind your own business.

Image dari sini

Share Article

author

Ficky Yusrini

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan