Masalah nutrisi anak di Indonesia masih menjadi PR besar. Berikut yang paling umum terjadi di Indonesia dan perlu jadi perhatian.
Apalagi, sih, yang menjadi harapan orangtua di tahun baru kalau bukan kesehatan keluarga, terutama anak? Rasanya sudah lelah ya sama isu-isu kesehatan tahun lalu. Dari varian Covid yang masih seliweran, penyakit gagal ginjal anak yang sempat memuncak, sampai “keributan” soal obat sirup. Cukup lega ketika akhirnya PPKM resmi dicabut di awal 2023. Karena sebetulnya, masalah nutrisi anak di Indonesia saja masih menjadi PR besar yang belum kelar.
Pasti banyak, deh, Mommies yang doa tahun barunya gak muluk-muluk alias realistis aja. Berharap anak sehat-sehat, sih, tapi, ya, gausah sejauh BB naik, deh, mulai dari makannya lancar aja dulu, tanpa GTM. Kalau itu saja sudah terkendali, baru maju ke tahap berikutnya. Lalu bagaimana, kalau dari kacamata dokter anak? Masalah nutrisi apa saja yang sampai sekarang ini masih sering dialami anak Indonesia? Berdasarkan konsultasi dengan dr. Melia Yunita, MSc, SpA, berikut 6 yang paling umum terjadi di Indonesia.
Kampanye cegah stunting di Indonesia yakni Gerakan Nasional Aksi Bergizi masih terus dikumandangkan oleh dokter-dokter anak di Indonesia. Alasannya, karena memang angka stunting di Indonesia masih sangat tinggi. Target penurunan stunting di Indonesia sudah ditetapkan sebesar 14% pada tahun 2024. Sementara, saat ini kasus stunting masih di angka 24%. Stunting sendiri merupakan keadaan di mana panjang atau tinggi badan anak menurut usia berada di bawah -2 Standar Deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO. Penyebabnya adalah kurangnya nutrisi berkepanjangan (1,000 hari pertama kehidupan anak) karena asupan makanan yang kurang (bisa akibat kemiskinan) maupun meningkatnya metabolisme akibat infeksi berulang (seperti ISk, TBC, infeksi paru). Maka, sangat amat penting untuk kita memenuhi asupan nutrisi yang optimal pada anak.
Hampir sama dengan stunting, gizi buruk terjadi ketika tubuh anak tidak menerima nutrisi yang cukup dari apa yang ia makan yang bisa diukur dari berat badannya. Biasanya, gizi buruk akan langsung terlihat pada penampilan fisik anak, di mana ia bisa mengalami kulit kering, lemak di bawah kulit berkurang, serta otot mengecil. Akibatnya, selain mudah mengalami infeksi karena kekebalan tubuhnya rendah, anak dengan gizi buruk juga memiliki IQ atau tingkat kecerdasan rendah. Bahkan pada jangka panjang, gizi buruk dapat mengakibatkan pertumbuhan anak berhenti sebelum waktunya.
Yaitu kondisi anak yang berat badannya menurun seiring waktu hingga total berat badannya jauh di bawah standar kurva pertumbuhan atau berat badan berdasarkan tinggi badannya rendah (kurus) dan menunjukkan penurunan berat badan (akut) dan parah. Wasting bisa terjadi ketika anak terkena diare sehingga berat badannya turun drastis tapi tinggi badannya tidak bermasalah. Tentu wasting ini tidak bisa dianggap sepele karena bila penanganannya terlambat, maka bisa berakibat fatal bahkan menyebabkan kematian.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memprediksi bahwa terdapat sekitar 60 juta anak dengan obesitas di Indonesia pada tahun 2020, di mana anak memiliki berat badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi badan seharusnya pada usia tersebut. Obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak yang abnormal atau berlebihan, diukur berdasarkan standar WHO dan dapat mengganggu kesehatan. Obesitas termasuk masalah nutrisi karena faktor dipicu oleh kebiasaan mengonsumsi makanan yang tidak sehat. Tidak sedikit juga anak yang menderita double burden, yaitu stunting dan obesitas secara bersamaan sehingga terlihat gemuk dan pendek.
Salah satu yang paling umum adalah ketika anak menderita penyakit gondok atau hipotiroid. Yodium tidak kalah penting dibandingkan dengan zat gizi lain, seperti protein, karbohidrat, serat hingga lemak. Karena bila kekurangan yodium, tubuh tidak akan mampu menghasilkan hormon tiroid yang dibutuhkan. Berbagai gangguan kesehatan pun bisa dialami anak dan bayi. Pada bayi, kekurangan hormon tiroid dapat menyebabkan gejala seperti sering tersedak, lidah besar, wajah bengkak, sembelit, tonus atau kontraksi otot yang buruk. Sementara pada anak-anak dan remaja, kondisi ini dapat menyebabkan pertumbuhan yang terganggu, perkembangan gigi terganggu, pubertas tertunda perkembangan mental yang buruk, kesulitan belajar, bahkan cacat mental (terutama pada anak-anak).
Bisa dialami anak ketika jumlah sel darah merah di dalam tubuhnya berkurang hingga di bawah batas normal. Penyakit ini bisa terjadi ketika tubuh kesulitan menghasilkan sel darah merah atau sel darah merah rusak. Akibatnya, anak lesu dan tidak bersemangat menjalani aktivitasnya. Salah satu penyebab anemia adalah defisiensi atau kekurangan zat besi atau vitamin (asam folat dan vitamin B12). Angka penyakit anemia di Indonesia bisa dibilang masih cukup tinggi. Berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi anemia pada remaja sebesar 32 %, artinya 3-4 dari 10 remaja menderita anemia.
Image by jcomp on Freepik