Menjadi psikolog sudah menjadi mimpinya sejak masih sekolah, Belinda Agustya ceritakan pengalaman mengenai tantangan dan tipsnya menghadapi stres sebagai psikolog.
Psikolog anak dan remaja, Belinda Agustya, M. Psi, psikolog anak dan remaja, serta Certified Parent-Child Interaction Terapist ternyata juga merasakan stres dan burnout saat menjalani sesi konseling dengan client. Dengan kejadian yang menimpanya saat ia masih muda, ia pun akhirnya menemukan cara untuk bisa tetap profesional, tapi juga tetap menjaga kesehatan mental dirinya sendiri.
Mommies Daily berkesempatan untuk bertanya dan mendengar cerita serta pengalamannya langsung. Yuk, simak selengkapnya di sini.
Minat menjadi seorang psikolog itu sudah ada sejak SMP, tapi spesifik ingin menjadi psikolog anak itu mulai muncul sejak SMA dan saat kuliah. Aku juga merasa bisa sangat dekat dan akrab ketika main sama anak-anak, jadi bisa dibilang itu hal pertama yang aku suka dari menjadi seorang psikolog, khususnya untuk anak dan remaja.
Kedua, ketika menjalani profesi sebagai psikolog anak dan remaja ini aku juga bisa melihat perubahan-perubahan positif yang aku amati dari client-client aku. Dan yang ketiga, aku jadi merasa bisa menebarkan manfaat ke orang-orang di sekitar aku. Sehingga ilmu yang aku dapatkan nggak sia-sia, serta manfaatnya bisa dirasakan sama orang banyak.
Kalau dari pengalamanku sebagai seorang psikolog anak dan remaja, yang pertama sebenarnya ada hubungannya dengan relasi. Di satu sisi, semakin ke sini semakin banyak orangtua yang mulai aware dengan tumbuh kembang anak. Orangtua juga sudah mulai sadar untuk menjalin koneksi dan hubungan yang baik dengan anaknya. Tapi, masih banyak juga orangtua yang perlu diberikan edukasi mengenai pentingnya menjalin relasi ini. Karena tentunya relasi ini penting sekali dan merupakan kunci. Ketika anak dan orangtuanya memiliki relasi yang baik, maka akan baik juga fondasi anak untuk tumbuh.
Yang kedua, setelah relasi ada komunikasi. Jika komunikasi orangtua dengan anak tidak bagus sejak kecil atau di awal kehidupan anak, maka ketika anak sudah besar komunikasi malah akan semakin tidak bagus. Anak bisa tidak terbuka, menarik diri, agresif, tidak bisa diajak ngobrol dengan orangtua, dan masih banyak lagi. Sebaliknya, kalau relasinya bagus, komunikasi juga akan bagus.
BACA JUGA: Perilaku Toxic ke Diri Sendiri di Dunia Kerja. Hati-hati, Ya!
Profesi psikolog itu memang tingkat burnout dan stresnya bisa cukup tinggi karena setiap harinya mendengar dan menampung cerita dari para client. Ketika kita bisa mengimbangi, pasti sepadan dengan apa yang didapat. Seperti feedback positif dan perubahan baik dari client.
Jadi kalau aku, kita harus tahu batasan diri atau set boundaries. Dulu, ketika aku masih jadi psikolog muda, saat aku ada di ruangan praktek sering kalin masalah suka kebawa sampai ke rumah. Jadi memang harus set boundaries. Apa yang client ceritakan ke aku, harus hanya sampai di ruangan praktek saja. Di luar sesi itu, aku sebagai psikolog mencoba memberi batasan bahwa di luar pekerjaan ini, diriku adalah Belinda yang biasa.
Lalu aku juga akan berusaha untuk mengenal diriku, mengetahui sampai mana aku mampu. Sehingga, aku tidak akan memaksakan diri untuk handle kasus dan client ketika aku sudah merasa burnout dan tidak kuat. Aku pasti akan info ke admin untuk stop dulu, tidak ambil client, dan tidak nge-push diri terlalu berat. Karena pasti efeknya akan berdampak pada client juga kalau aku nggak bisa all in atau nggak bisa being present untuk mereka.
Kemudian, harus cari cara coping stress. Maksudnya apa yang bisa dilakukan untuk refresh diri aku lagi ketika harus menghadapi client. Harus punya me time untuk recharge semuanya juga seperti nonton film, harus istirahat yang cukup, harus makan teratur, olahraga, baca buku, dan sekedar nongkrong di mana sendirian misalnya.
Pertama, aku merasa cukup bisa beradaptasi dengan cepat. karena ketika menjadi psikolog untuk anak dan remaja, juga dewasa, harus tahu bagaimana cara membuat anak dan remaja menjadi nyaman agar bisa terbuka. Kedua, karena mungkin sudah sering berhubungan dengan anak-anak dan itu juga sudah menjadi bagian dari profesi aku, aku merasa aku adalah orang yang cukup sabar. Aku juga cukup bisa mengelola anger atau kemarahan dengan cukup baik dan sabar.
Kalau yang ketiga, mungkin aku merasa aku nggak pernah puas, dalam arti aku ingin terus selalu belajar. Jadi kalau misal aku nggak tau, aku sangat suka dan mau untuk cari tahu, belajar hal-hal baru, dan belajar juga dari expert yang lebih paham dari aku.
Kalau bisa bertemu lagi, aku ingin menyampaikan ke Belinda remaja untuk “Stop insecure”. Karena biasanya saat remaja itu kita cenderung membandingkan diri kita dengan orang lain dalam hal apapun. Misalnya, pingin rambutnya begini, cantik itu begini. Jadi aku ingin bilang untuk jangan compare diri lo dengan orang lain, lo itu udah good enough for yourself, saya pengen bilang kayak gitu.
Karena insecure ini kalau dirunutkan itu panjang sekali, bisa berasal dari relasi sama orangtua juga. Intinya, tidak usah menaruh standar keberhargaan diri kita dengan diri orang lain, nikmati saja apa yang ada di depan, jangan ragu-ragu, dan jangan insecure.
Berhubung suamiku bukan orang yang suka sering keluar rumah, jadi ambil jalan tengah saja kayak cari tempat makan baru, tempat nongkrong atau staycation ke tempat baru, tapi yang dekat-dekat aja. Kalau dulu sebelum menikah, aku adalah tipe orang yang suka explore hal baru. Misalnya cari tempat makan baru, tempat nongkrong baru, travelling, hingga ketemu orang-orang baru.
Challenging, yet exciting. Semakin ke sini aku lihat menjadi perempuan di Indonesia itu semakin mendapat banyak moment untuk menyuarakan pendapat. Tidak seperti jaman dulu di mana perempuan harus selalu di rumah, harus nurut dengan tanda kutip sama laki-laki. Kalau sekarang kan bisa lebih menyuarakan yang kita inginkan. Tapi kalau aku, tentunya harus tetap dalam koridor agama dan respect ke pasangan sebagai pemimpin.
Meski sudah ada banyak kesempatan untuk menyeruakan pendapat, tentu masih ada juga hak-hak yang harus terus diperjuangkan sebagai wanita. Seperti yang saat ini masih terus diperjuangkan untuk melindungi perempuan dari kekerasan dan pelecehan.
BACA JUGA: Perusahaan Ramah Ibu Bekerja Seharusnya Memiliki 7 Hal Ini
Cover image: Dok. Istimewa/Belinda Agustya