Di luar perilaku memberontak yang wajar di usia remaja, kesalahan orangtua dalam mendidik anak bisa mengarah ke perilaku toxic.
Tiba-tiba dipanggil oleh pihak sekolah dan mendapati bahwa ternyata selama ini anak adalah pelaku bully adalah mimpi buruk bagi semua orangtua. Tidak ada orangtua yang ingin anaknya menjadi toxic bahkan bully, tapi sad but true, karakter tersebut adalah hasil dari didikan orangtua. Kalau sudah begini, kita sebaiknya tidak menyangkal bahwa memang ada yang tidak beres dari cara kita mendidik anak. Namun, ingatlah bahwa tidak pernah ada kata terlambat untuk memperbaikinya, sebelum ia terlibat lebih jauh dalam sebuah tindakan yang tidak kita inginkan.
Meski kerap ditunjukkan lewat tanda-tanda ini, tetapi kita perlu memahami dan bisa membedakan antara anak yang toxic dan anak yang menunjukkan perilaku sesuai dengan usianya (remaja), di mana perilaku ini adalah hasil dari pemberontakan yang sepenuhnya normal. Ada beberapa perilaku yang, jika diperiksa dengan cermat, bisa kita hentikan agar tidak berkelanjutan.
Sekolah di sekolah swasta ternama yang dari segi biaya memang “ekstra”, atau sekolah negeri pilihan, yang artinya anak terpilih karena nilainya tertinggi dalam urutan? Memang tidak ada yang salah dari kedua hal ini. Namun, kita tetap perlu membina anak untuk memiliki kerendahan hati, bahwa ini bukanlah privilege untuk anak kemudian menjadi sombong, merasa lebih dari orang lain. Anak patut memiliki kemampuan untuk bisa menempatkan dirinya.
Sudah menjadi tugas orangtua untuk tahu dan kenal siapa saja yang menjadi sahabat anak, karena bagi kehidupan seorang remaja, teman itu bisa sangat influencing. Melalui obrolan sehari-hari, Anda bisa kok, melihat bagaimana anak mendeskripsikan teman-temannya. Tidak salah, kok, pilih-pilih teman, tapi dari segi apa anak memilihnya? Apakah faktor fisik semata, atau ada hal lain dari temannya yang memang positif buat dirinya? Bila anak hanya menilai standar fisik, bahkan ras maupun agama, apakah selama ini Anda pernah mengarahkan anak atau secara tidak sadar memberikan contoh melalui perlakuan serupa terhadap orang lain dengan golongan tertentu?
Wajar memang, kalau anak remaja senang masuk geng yang populer di sekolahnya. Tapi, orangtua perlu mengetahui seberapa berpengaruhnya geng tersebut terhadap perilaku anak: Apakah anak hanya seorang anggota, atau malah jadi ketua geng yang punya kuasa untuk merekrut anggota dengan kategori tertentu, misalnya hanya yang dari golongan orang-orang kaya? Bila yang terjadi adalah demikian, berkacalah kembali pada cara Anda mendidik anak, apakah uang seringkali Anda jadikan sebagai ukuran terhadap layak atau tidak seseorang, atau sebaliknya, apakah Anda sering menggunakan uang sebagai cara untuk menebus rasa bersalah Anda sebagai orangtua?
Memang, nggak selamanya anak bisa curhat sama kita bila sedang bertengkar, boro-boro sama pacar, sama temannya mungkin kita nggak pernah tahu menahu. Kita mungkin hanya bisa melihat dari cara anak berteman maupun percakapan ketika sedang main bareng: Apakah anak terlihat sering menyalahkan temannya? Pernahkah anak mengucapkan maaf ketika temannya kesal? Bila sejauh penglihatan kita, anak selalu menganggap kesalahan ada pada temannya, maka kita patut khawatir, karena seorang yang toxic itu tidak pernah berpikir bahwa ada yang salah dengan dirinya, meski jelas terbukti ia yang salah. Meminta maaf itu adalah bukti seseorang memiliki kebesaran hati. Ketika orangtua melakukan kesalahan juga sepatutnya meminta maaf pada anak. Kalau selama ini kita hanya menyalahkan anak, tidak heran bila ia berlaku demikian pada temannya.
Ibaratnya, anak sudah paham, nih, dengan didikan kita, mana hal yang boleh dilakukan, mana yang tidak. Ketika anak seringkali kedapatan melakukan sesuatu di luar kesepakatan tersebut, biasanya ia akan terlihat salah tingkah. Karena pada dasarnya, bila ia berlaku sesuai dengan kesepakatan (aturan yang berlaku di rumah), dia tidak punya alasan untuk merasa bersalah.
Hidup anak masih panjang, memiliki sikap dan perilaku yang mulai mengarah ke toxic bukanlah akhir dunia. Anak masih punya kesempatan untuk memperbaikinya, dengan catatan, orangtua juga punya keberanian untuk memperbaiki arah dan mengevaluasi didikan. Jangan sampai anak jadi orang yang toxic hanya karena ia merupakan korban dari kesalahan dan kelalaian kita sebagai orangtua.
As harsh as it sounds, most of the time parents cause their children’s toxicity. Exploringyourmind.com
Image by Freepik