Sorry, we couldn't find any article matching ''
Duh Si Anak Remaja Memberontak? Mungkin Karena Lima Hal Ini!
Pusing dan emosi menghadapi anak remaja memberontak? Sabar dulu, lima hal ini bisa membuat Anda jadi lebih memaklumi.
Beberapa waktu lalu, anak remaja saya bercerita, dalam sebuah tugas pelajaran sekolah, ada satu pertanyaan, “Pernahkah kamu melawan orangtua?” Lalu saya tanya, jawabanmu apa? ”Wajar kalau remaja melawan orangtua, karena remaja adalah masanya individualisasi.” Anak menjawabnya dengan berteori. “Coba kamu jabarkan juga contoh situasinya,” saran saya. Dia mulai mengerutkan kening, mencoba berpikir keras. Kemudian dia seperti terkejut, “Waduh, apa jangan-jangan aku belum menemukan individualisasi!” serunya.
Bukannya tidak ada contohnya, mungkin dia lupa. Padahal, dalam kenyataan, banyak sebetulnya sikapnya yang menurut saya menunjukkan perlawanan. Klimaksnya, pernah sampai dia kesal meradang, “Duh, banyak banget, sih!” dengan mata berkaca-kaca dan wajah memerah sembari mulutnya komat-kamit mengeluarkan kata-kata yang tidak terlalu jelas terdengar, tapi saya yakin itu umpatan.
Untungnya, kejadian semacam ini tidak sering terjadi pada anak saya. Yang paling sering adalah sikap seperti menunda, “Nanti!” “Bentar!” (“Iya! Iya!” tapi tidak dilakukan). Itu di dunia nyata. (Saya belum bisa menyimpulkan bagaimana dia di dunia mayanya).
Di luar sana, dari cerita anak saya, ada banyak perilaku teman-teman remajanya yang saya yakin pasti bikin para orangtua sakit kepala. Siapa tahu, membaca beberapa teori ini, membuat kita, yang punya anak remaja, jadi lebih berbesar hati dalam menghadapi perilaku sulit anak.
Baca juga: Berbagai Perilaku Remaja yang Berbahaya
Dihinggapi kecemasan
Remaja merasa seolah-olah hidupnya penuh tekanan. Di antara tuntutan orangtua, tugas sekolah, tekanan pergaulan, belum lagi media sosial, remaja rentan mengalami gangguan mental. Semakin banyak remaja didiagnosis dengan kecemasan dan depresi. Sebanyak 50% dari semua penyakit mental berkembang pada usia 14 tahun.
Terbentuknya otonomi dan individualisasi
Mereka mulai membangun dunianya sendiri, yang tidak melibatkan kita dalam kehidupannya. Mereka sedang mengembangkan kemampuan kemandiriannya, memutus ketergantungan, berusaha melepaskan diri dari sarang. Pemberontakan adalah bagian dari proses kemandirian ini. Mereka tengah berjuang untuk menemukan identitas dan kebebasannya. Di sisi lain, mereka tetap membutuhkan perhatian dari kita juga.
Remaja memberontak karena otak masih berkembang
Sains menunjukkan bahwa otak remaja sedang berkembang dan belum mencapai kematangan penuh hingga usia dua puluhan. Ini berarti remaja belum memiliki pemahaman penuh tentang perilaku dan pilihannya. "Bagian emosional otak, yang disebut sistem limbik, berkembang sebelum otak rasional. Sehingga yang berperan dalam pengambilan keputusan adalah bagian yang diatur oleh motivasi, perasaan, dan teman," demikian menurut Dr. Cara Natterson, dokter anak dan penulis buku The Care and Keeping of You. Otak rasional atau lobus frontal dan prefrontal adalah yang terakhir berkembang.
Baca juga: Orang tua Ajarkan Anak Tentang Hubungan yang Sehat
Kenali batas normal
Secara biologis, perubahan hormon dan pembentukan syaraf otak yang mengakibatkan emosi remaja mudah meletup adalah hal yang normal. Dalam ranah psikologi, perilaku melawan dari anak ini kerap disebut juga Oppositional Defiant Disorder (ODD), yang umum terjadi pada anak menginjak praremaja dan remaja. ODD biasanya tampak pada pola perilaku yang tidak mau kooperatif, suka menantang, marah-marah, uring-uringan, dan membangkang terhadap figur otoritas (seperti orangtua, guru, atau pengasuh).
Akan tetapi, setiap anak punya kadarnya masing-masing. Ada pula perilaku yang dianggap melewati ambang normal dan patut diwaspadai, contohnya, jika pembangkangan anak tidak bisa ditundukkan, cenderung pada kekerasan fisik, atau menunjukkan perilaku isolasi diri, perlu dikonsultasikan pada psikolog.
Berakar dari persepsi
Teori ini dikemukakan psikolog Alfred Adler dan Rudolf Dreikurs. Menurut keduanya, salah satu pendekatan untuk memahami remaja adalah memahami persepsi dan sudut pandang mereka. Untuk mengetahui apa yang mendorong seorang remaja memberontak berperilaku seperti itu, korek informasi dari remaja Anda tentang beberapa kenangan tentang suatu peristiwa ketika mereka masih kecil. Saat mereka menceritakan ingatannya, dengarkan dengan sungguh-sungguh.
Tanyakan bagaimana perasaan mereka saat ‘insiden’ itu terjadi. Teori ini memercayai, memori dan persepsi anak tentang suatu peristiwa yang menancap di benaknya, sebagai informasi tersembunyi yang menjelaskan mengapa anak melakukan apa yang mereka lakukan.
Share Article
COMMENTS