Poligami dan penyebaran AIDS memang ada hubungannya, seperti kata Wagub Jabar? Mari kita kupas pelan-pelan sebenarnya apa yang tepat untuk dilakukan,
Mari menyingkir sejenak bahas Covid-19. Dikenal juga sebagai HIV (Human Immunodeficiency Virus), AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau HIV/AIDS adalah masalah kesehatan global yang merenggut banyak nyawa. Data terkini Kementerian Kesehatan (Kemenkes), per Juni 2022, total pengidap HIV yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia mencapai 519.158 orang. Belum lama, diungkap di Jawa Barat, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) membeberkan fakta bahwa dari 5.943 kasus positif HIV di Bandung selama periode 1991-2021, sebanyak 11 persennya adalah ibu rumah rangga (IRT).
Fakta inilah yang kemudian ditanggapi oleh Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum (sebagaimana yang disiarkan di banyak media), yang menyebutkan, solusi untuk menekan terus meningkatnya angka penyebaran penyakit HIV adalah menikah dan berpoligami. “Daripada terkena penyakit itu, menurut saya, solusi menekan angka penyebaran HIV adalah menikah bagi anak-anak muda dan berpoligami bagi yang sudah nikah,” jelas Uu, sebagaimana dilansir dari Kompas.com, Selasa (30/8/2022).
Tidak seperti Covid-19, HIV bukan hal baru. Virus ini sudah ditemukan oleh para saintis sejak tahun 1920-an dan sejarah mencatat, HIV kali pertama menjadi sorotan publik ketika penyakit diumumkan di AS pada 1981. Itu artinya, sudah 41 tahun silam. Selama empat dekade lebih itu, edukasi tentang HIV/AIDS sudah cukup massif. Bahkan, diajarkan di sekolah-sekolah. Tentang bagaimana cara penularannya, pencegahan, dan treatment medis bagi ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Penyakit yang menyerang kekebalan dan melemahkan pertahanan tubuh ini memang belum ada obatnya sampai sekarang. Rasanya, tidak mungkin, di zaman sekarang, ada orang (dewasa) yang belum pernah mendapatkan edukasi soal HIV/AIDS ini, terlebih lagi orang terpelajar, pejabat pula.
Di panggung politik, sudah jamak jika isu yang muncul ke permukaan adalah polesan atau settingan. Sebagai awam, kita perlu belajar ‘reading beneath the line’, menafsirkan apa yang tersirat, bukan tersurat. Ungkapan bahwa solusi untuk menekan penyebaran penyakit HIV/AIDS adalah lewat menikah dan berpoligami sebagai respons dari data 11 persen mereka yang mengidap HIV/AIDS adalah ibu rumah tangga, merupakan ironi, dan logikanya terpatahkan dengan sendirinya. Menikah tidak menjamin salah satu pihak pasangan menularkan penyakit ini. Kasarnya, punya istri banyak pun tidak menjamin seorang suami tidak akan ‘jajan’. Lagipula, jika kita buka literatur, penularan HIV/AIDS tidak hanya dari transmisi seksual. Penularan juga bisa terjadi lewat transfusi darah, jarum suntik, penyalahgunaan obat-obatan, maupun diturunkan dari ibu.
Merespons betapa berbahayanya penyakit ini, ada baiknya kita sikapi dengan fokus pada penyadaran atau awareness publik. Semua orang bisa, lho, jadi korban HIV/AIDS ini. Di luar negeri, kampanye awareness pun lagi rame-ramenya, sampai Prince Harry saja mengatakan, setiap orang punya tanggung jawab untuk tes HIV/AIDS, demikian ia sampaikan dalam podcast yang rilis Februari lalu di podcast Tackle HIV. Dalam kesempatan yang sama, ia mengatakan, untuk pertama kalinya dalam 10 tahun, di Inggris, angka mereka yang didiagnosis HIV di kalangan heteroseksual lebih tinggi dibanding mereka yang gay dan biseksual.
Dunia sains sifatnya dinamis. Obat yang dari dulu dianggap aman, sekarang jadi dilabel berbahaya. Terlebih sekarang eranya perang informasi. Antara satu jurnal ilmiah dengan jurnal ilmiah lain saja bisa saling bertentangan. Jadi, bukan tidak mungkin sebetulnya ada banyak perkembangan terbaru dari HIV/AIDS. Menurut UNAIDS, secara global, ada 1,5 juta angka penderita baru di sepanjang tahun 2021. Angka yang cukup fantastis!
Diperlukan sikap kritis dan kemauan untuk mengedukasi diri dalam memfilter informasi tentang HIV/AIDS ini, tidak sekadar menelan informasi lama yang sudah ada. Kita bisa terbebas dari paranoid dan kecemasan yang tidak perlu, jika kita punya amunisi informasi yang tepat!
Baca juga: Ayu Oktariani: Mengambil Langkah Melawan Stigma HIV
Photo by sergey mikheev on Unsplash