Salah satu cara melatih anak punya mental yang kuat, bisa dengan mengajukan 5 pertanyaan ini setiap hari.
Melihat apa yang terjadi belakangan ini, rasanya jadi orangtua tuh nggak pernah lepas, ya, dari kekhawatiran yang besar. Bukan hanya soal akademis, tetapi bagaimana anak-anak kelak bisa menghadapi berbagai tantangan di kehidupannya mendatang dengan memiliki jiwa yang sehat, mental yang kuat. Tentu saja, orangtua nggak bisa hanya bersikap tegas. Sebaliknya, duduk manis berharap mental anak kita sehat terus, juga bukan jawaban. Jadi, apa yang bisa orangtua lakukan agar anak mampu menerima dirinya, bisa memproses emosi negatifnya, dan bisa bertahan untuk terus maju mencapai tujuan ketika menghadapi kesulitan?
Salah satunya, bisa diawali dengan menyampaikan 5 pertanyaan sederhana berikut ini! Anak akan selalu ingat, kalau ia punya orang yang bisa dipercaya untuk bercerita tentang apapun, kapanpun ia butuh. Sebelum ia mengenal peran seorang terapis atau psikolog, Anda bisa unjuk diri menjadi orang pertama tempat ia curhat.
“Bagaimana perasaanmu hari ini?”
Pertanyaan ini terbuka, ya, bukan yang menggiring ke satu perasaan, seperti misalnya, “Kamu senang, nggak, hari ini?” atau justru terlalu luas dan anak harus berpikir dulu sebelum menjawab, seperti, “Gimana tadi di sekolah, ngapain aja?” Tidak heran anak diam saja, karena, ya, pulang sekolah, capek, disuguhi pertanyaan yang bingung mesti dijawab dari mana. Pertanyaan ini memudahkan anak ketika bercerita, pun anak akan merasa lebih bebas mengungkapkan perasaannya, apapaun itu, baik senang, sedih, marah, maupun biasa saja, tidak ada yang salah. Yang penting, kita perlihatkan bahwa kita peduli dengan apa yang ia rasakan dan sebaliknya, anak merasa nyaman untuk bercerita.
“Kamu mau kita ngapain hari ini?”
Pernah, nggak, anak bertanya begini sama kita? Pasti sering banget, ya, setiap hari, setiap jam, nguber terus sampai dapat jawaban yang memuaskan (buat dia). Bagaimana kalau sekarang gantian, kita yang bertanya begini sama mereka. Lihat reaksi anak, bayangkan betapa berharganya ketika kita membuka kesempatan pada anak untuk memilih apa yang mau mereka lakukan. Pertanyaan ini juga menjadi bukti bahwa selama ini kita mendengarkan mereka.
“Apa yang membuat kamu tersenyum/marah/tertawa/sedih hari ini?”
Pertanyaan ini mengurangi kecenderungan anak hanya menjawab ya dan tidak, di mana, seringkali membuat kita tidak puas dan cenderung ingin menggali lebih jauh tapi lantas dianggap terlalu kepingin tahu alias kepo. Pertanyaan ini memudahkan kita dalam memahami perasaan anak. Mommies yang anaknya sudah masuk usia remaja pasti paham betul betapa sulitnya earning their trust. Kita bisa memulainya dengan pertanyaan ini. Tunggu sampai anak bercerita panjang lebar, pasti dalam hati kita bakal tersenyum dan berucap, “Akhirnya! Ini dia cerita yang kutunggu-tunggu.”
“Hal apa yang kamu syukuri hari ini?”
Saya yakin, apapun kepercayaan yang dianut keluarga Anda, menanamkan rasa bersyukur itu sama pentingnya, setuju? Pertanyaan ini membantu anak lebih peka dengan keadaan sekitarnya, bahwa hal sesederhana bernapas saja sangat patut disyukuri. Tidak semua hal yang berharga itu harus berupa materi. Dan dengan pemahaman akan rasa bersyukur, anak akan belajar untuk lebih menghargai sesuatu.
“Ada yang mau kamu bilang nggak, ke Mama? Nggak papa kalau susah, Mama coba dengar dulu.”
(Cara menyampaikan pertanyaan ini, silakan sesuaikan dengan gaya bahasa sehari-hari, ya). Kita seringkali ikut gembira ketika anak dijemput, wajahnya bahagia. Tapi, mungkin saja dalam beberapa jam di sekolah, anak mengalami satu atau dua hal yang membuatnya sedih dan kita cenderung mengabaikan hal itu. Padahal, senang dan sedih, sama pentingnya untuk anak ceritakan dan untuk kita ketahui! Memang, sih, anak mungkin urung cerita kalau lagi happy-happy, tiba-tiba ditanya begini. Dalam obrolan santai, kalimatnya bisa disampaikan dengan ringan saja, “Tadi kamu di sekolah happy, ya? Sempat feel sad, nggak, Nak?” Kalau anak meresponnya dengan keraguan seperti menyembunyikan sesuatu, Anda bisa melanjutkannya dengan, “Mama pingin denger aja. Boleh, kok, kalau kamu mau cerita. Belum mau juga nggak apa-apa, mungkin nanti, ya?” Pertanyaan ini bisa menjadi cara kita menciptakan safe zone bagi anak. Bahwa kapanpun ia mau cerita, kita siap mendengarkan. Tidak ada paksaan, no judgement, hanya dua telinga yang terbuka dan pelukan erat ketika ia mengalami yang berat.
Baca juga:
Image by Freepik