Millennia World School, kenapa saya jatuh cinta pada sekolah ini sejak pertama kali survei? Berikut pengalaman saya menyekolahkan anak di sini.
Disclaimer dulu, ya, nama anak dan identitas saya pribadi pada artikel disamarkan, demi privasi anak saya di sekolah.
Akhir 2019, kami sekeluarga harus pindah rumah dari daerah Jakarta Selatan ke daerah Tangerang Selatan. Sehingga persiapan memasukkan anak ke sekolah Jakarta harus kami lupakan dan fokus mencari sekolah di afrea Tangerang Selatan. Singkat cerita, berkat Google, kami menemukan Millennia World School. Jaraknya tidak lebih 5 kilometer dari rumah.
Survey saya lakukan bersama Raya, dan kami disambut oleh Public Relation sekolah, Miss Hanny. Sekitar hampir setengah jam ngobrol, baru tersadar, “Laaah Raya ke mana?”, ternyata ia sedang bermain di area playground dengan staff sekolah bernama pak Abdul. Saya cukup terkejut karena Raya tipe anak yang butuh pemanasan agar bisa akrab dengan orang serta lingkungan baru. Kecuali jika orang tersebutpintar ambil hati Raya, dan (mungkin) energinya ngeklik sama Raya dan itulah yang terjadi. Walau bukan guru, namun ternyata pak Abdul pintar berinteraksi dengan anak.
Umumnya jika orang tua survei, kita yang lebih banyak bertanya ke pihak sekolah. Namun saat itu, Miss Hanny sempat mengajukan beberapa pertanyaan ke saya. Salah satu yang paling membekas adalah, “Kelak saat ananda dewasa, ibu ingin Raya menjadi manusia seperti apa?” Saya langsung bicara panjang lebar tentang harapan dan nilai-nilai kami yang berkaitan dengan pertanyaan tersebut.
“Saya Ingin Raya menjadi manusia yang dapat membuat dirinya berdaya, memanusiakan diri sendiri, dan orang-orang di sekitarnya. Mampu menjadi laki-laki yang dapat menolong diri sendiri, berkarakter kuat, tapi juga punya jiwa empati,” begitu jawab saya.
Suatu hari di sesi belajar online, Raya tidak bisa menyelesaikan latihan soal matematika yang dikemas dalam bentuk game. FYI: anak saya ini memang tidak terbiasa nge-game yang mengandalkan kecepatan jari. Sementara saat itu, game yang harus dia selesaikan menggunakan media game Pac-Man, hahahaha – desperate sekali Raya. Reaksi Raya saat itu: kesal, marah, nangis, dan berujung teriak histeris. Ada kalimat yg dia keluarin “Aku kesel buuun, nggak bisa main. Bunda boleh nggak bantuin aku?”. Saya sudah ambil sikap dan berprinsip nggak akan bantuin sesuatu yang dikur pasti dia mampu kerjain mandiri.
Setelah saya lapor ke gurunya, dan meminta sesi one on one, gurunya Raya langsung mengakomodir permintaan saya. Raya sharing sama salah satu guru kelas. Dimulai dengan bertanya perasaan: “Tadi gimana perasaan Raya main game Pac-Man?” “Aku kesal sedih nggak bisa main miss.” Diidentifikasi/divalidasi bentuk emosi Raya.
Setelah itu dilanjutkan dengan bentuk komunikasi reflektif, ini tuh semacam teknik komunikasi yang menempatkan diri kita di posisi lawan bicara. “Miss juga pernah lho Raya, waktu kecil main game sampai jerit-jerit geregetan.” “Aku juga pernah dapat nilai nggak sempurna. Tapi aku jadinya bisa belajar hal baru.”
Poinnya guru Raya menekankan, kalau mengerjakan sesuatu dan hasilnya nggak sempurna – it’s okey, yang penting sudah usaha. Ambil waktu merasakan kesal, sedih, marah wajar sebagai manusia. Kalau sudah siap, bisa dimulai lagi mempelajari hal yang sedang diusahakan. Bisa karena terbiasa.
Saya senang mendengar hal tersebut. Apalagi melihat raut wajah Raya sumringah, dan berakhir pada emosi Raya yang melembut dan kembali mencoba.
Jika terjadi masalah yang berkaitan dengan interaksi antar anak di sekolah, pihak sekolah dengan cepat merespon – dibarengi dengan solusi. Misalkan ada anak yang membutuhkan intervensi psikolog anak, maka sekolah akan menyediakannya. Selain itu, berbagai pendekatan di kelas juga terus dilakukan. Contohnya, konsisten diingatkan bahwa bercanda dengan teman ada batasnya, tidak boleh memukul, dan norma-normal sosial lainnya yang berlaku di masyarakat.
Anak-anak bisa berlarian bebas di tanah yang berumput, dan luas, dikelilingi pohon-pohon rindang di sekitarnya. Atau bahkan bermain dengan berbagai hewan: ayam, soang dan bebek, hahaha, seru, ya?
Antara kegiatan hard skill dan program yang mengasah soft skill berjalan beriringan. Misalnya: anak distimulasi untuk presentasi di depan orang banyak, kepercayaan diri anak dilatih, dilatih menjadi pemimpin, diarahkan bagaimana cara yang baik untuk berkomunikasi – misalnya saat ingin mengajukan pendapat. Siswa juga dibimbing untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, lalu penerapan critical thinking juga tercermin dari Project Based Learning, yang menjadi salah konsep pembelajaran di MWS.
Terdiri dari Weekly Report, Monthly Report, Mid Semester Report, dan End Semester Report. Di akhir semester, terdiri dari dua jenis rapor, yaitu rapor dari sekolah, yang isinya penjelasan kualitatif, bagaimana perkembangan anak di tiap mata pelajaran hingga yang (IMHO) paling penting adalah Spiritual Well Being yang terdiri dari: Character Building dan Social & Emotional Health. Di bagian ini guru terbilang detail mendeskripsikan tumbuh kembang Raya. Hal sesederhana Raya datang ke sekolah setiap harinya dengan tersenyum ikut diapresiasi.
Berikutnya rapor dari diknas, yang isinya besifat kuantitatif, nilai anak di setiap mata pelajaran.
Alamat: Jl. Merpati Raya No.103, Sawah Lama, Kec. Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten 15413
Telepon: 021 2274 6300 & 0821 1150 7100
Email: info@millennia21.id
Biaya:
SPP per bulan untuk kelas 3SD: RP2.650.000
Biaya catering (tidak wajib): Rp440.000 perbulan, namun bisa memilih hanya ikut di hari-hari tertentu saja.
Biaya jemputan: Tentatif, dihitung per kilometer dan jarak dari sekolah ke rumah siswa
Biaya tahunan: Rp10.500.000 (untuk jenjang SD flat 6 tahun)
Biaya ekskul: gratis, siswa bisa memilih lebih dari 2 ekskul
Baca juga: 20 SD Swasta Favorit di Tangerang dan Tangerang Selatan