Tujuh fakta tentang pelaku pelecehan seksual, yang dapat menghindari anak mommies dari predator yang berkeliaran di luar sana.
Kasus pelecehan seksual, seperti tidak pernah ada habisnya. Dari tahun ke tahun, ada saja kisah pilu yang disajikan media dalam maupun luar negeri. Di Indonesia, misalnya. Februari2018 lalu, sempat terjadi pemerkosaan kepada anak 8 tahun, yang dilakukan 6 siswa SD, yang semuanya masih berusia di bawah 11 tahun.
Image: Katherine Chase on Unsplash
Baca juga: Kenapa Semakin Banyak Anak di Bawah Umur yang Melakukan Tindak Pemerkosaan?
Atau 2015 silam, di Kalideres, Jakarta Barat, gadis cilik kelas dua SD tewas mengenaskan karena kekerasan seksual. Dan pelakunya ternyata tetangga korban sendiri. Dari kasus ini sesungguhnya kita bisa belajar, pelaku bisa datang dari kalangan yang sangat tidak kita duga.
Ada fakta lainnya seputar pelaku pelecehan seksual yang dilansir oleh Workingmom.com. Agar sebagai orangtua, kita senantiasa waspada memantau. Tindak tanduk, siapapun yang berinteraksi dengan si kecil.
Sekitar 85% predator, tidak memiliki catatan pelanggaran lain.
Para pelaku tidak secara tiba-tiba melakukan perbuatan kejinya. Ada serangkaian tahapan yang dilakukan sebelum benar-benar melakukan pelecehan seksual. Biasanya mereka akan bekerja keras untuk mendapatkan kepercayaan dari calon korbannya. Tak terkecuali kepercayaan dari keluarga korban.
Awalnya pelaku akan membiasakan anak dengan sentuhan fisik berupa menggelitik, dan sentuhan yang sifatnya seperti sedang bermain lainnya. Tujuannya, pelaku ingin anak-anak, terbiasa dengan sentuhan fisik. Sehingga ketika nanti ia melakukan di “tempat” yang tidak seharusnya, atau sentuhan yang tidak pantas, anak merasa itu adalah sentuhan yang biasa.
Inilah pentingnya ngobrol tentang pendidikan seksual sedari dini kepada si kecil. Hal yang paling sederhana misalnya: bagian tubuh apa saja, yang tidak boleh disentuh, selain sama kita orangtuanya.
Pelaku kejahatan apapun, sepertinya akan melakukan hal yang sama, ya, mommies. Tapi khusus untuk poin ini, biasanya mereka akan mengancam korban. Misalnya, kalau korban bilang ke keluarga atau lingkungan terdekat, nggak akan ada yang percaya sama dirinya. Inilah mengapa menurut saya penting banget, membiasakan sesi ngobrol, diskusi dan sejenisnya sama si kecil. Jadi, sekecil apapun keanehan si kecil kita bisa peka dan ambil langkah nyata.
Pelaku kejahatan seksual, sering berbagi rahasia dengan anak. Untuk mencegah si anak mengungkapkan perbuatan bejat mereka. Rahasia-rahasia yang dimaksud, misalnya: “Jangan beri tahu ibumu, nanti aku kasih kamu permen deh.”
Penting untuk membiasakan anak tahu, bahwa orang dewasa yang baik tidak akan meminta anak-anak untuk menyimpan rahasia. Tanamkan ke benak anak-anak, kalau sudah ada orang dewasa yang meminta mereka menyimpan rahasia, artinya itu adalah tanda bahaya, dan ada sesuatu yang tidak benar. Yang paling penting lagi: mereka harus tahu, bahwa mereka bisa kapan saja, cerita tentang hal apapun ke orangtua.
Data menunjukkan, bahwa ayah tiri, ayah angkat dan pacar punya risiko melakukan pelecehan seksual terhadap anak, daripada ayah biologis. Ya, meski nggak semua, seperti itu. Sebagai tindakan pencegahan, hati-hati jika membawa orang baru menjadi bagian dari keluarga.
Satu studi menunjukkan bahwa 1/3 dari anak-anak yang dilecehkan, segera cerita kepada orang dewasa di sekitarnya, setelah pelecehan terjadi. Sementara 1/3 lainnya, menunggu 5 tahun, dan 1/3 sisanya menunggu lebih dari dari lima tahun, atau bahkan tidak pernah sama sekali mengungkapkannya.
*Artikel ini diadaptasi dari Workingmom.com