Meski di awal nggak dilirik, drakor Extraordinary Attorney Woo semakin ke sini makin pecah. So relate buat parents with special need kids.
Siapin hati untuk memulai nonton drakor Extraordinary Attorney Woo ini. Apalagi kalau mommies adalah orangtua dari anak berkebutuhan khusus. Mulai dari terharu, kocak, sedih, bertanya-tanya, marah, semua campur-campur. Jujur saya juga jadi overthinking (saya yakin mommies yang lain juga), ketika nanti anak saya yang mengalami Sensory Processing Disorder dewasa, punya keterbatasan dalam komunikasi verbal, mampukah ia hidup ‘normal’? Siapkah lingkungannya nanti hidup bersama individu berkebutuhan khusus?
Untuk bisa meraih hati pemirsanya, drama ini nggak perlu alur cerita yang ‘membagongkan’. Drama ini juga nggak butuh punya tokoh antagonis yang kerjaannya nyiksa sama culik-culikkin peran utama untuk kemudian diselamatkan peran utama yang lain. Ceritanya sungguhlah sederhana sebenarnya. Cerita tentang kehidupan keseharian seorang penyandang autisme yang kebetulan jenius, plus manis (kalau nggak mau disebut cantik), dan lulusan cumlaude Fakultas Hukum universitas terbaik di Seoul, Korea Selatan. Tapi justru setiap detil, emosi, kejadian, hingga imajinasi Woo Young Woo (Park Eun Bin) mampu menyentuh hingga bagian terdalam hati penonton. Dan membuat rating drama yang awalnya underrated ini kemudian melejit.
Ketika Young Woo harus menerima perlakuan tidak adil hanya karena dia dianggap tak mampu, padahal dia lebih dari mampu, hati kita juga ikut tertusuk. Saat Young Woo hanya bisa diam ketika ia dilarang membela seorang terdakwa berkebutuhan khusus hanya karena takut terlihat tak kredibel, penonton juga cuma bisa diam meski mata ngembeng. Waktu Young Woo dianggap nggak ngerti apa arti cinta antara laki-laki dan perempuan, kitanya juga ikut gemesh ingin noyor yang ngomong. Terutama ketika Young Woo bilang, “Seandainya aku nggak autis apakah ibuku tidak akan meninggalkanku?”, ini mata sama hati ikut nangis darah.
Dialog-dialog di dalam drama ini juga kalau didengar, ya, sederhana banget, ya. Mudah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi justru dialog polos dari Young Woo seringkali menampar kenyataan. Pernyataan-pernyataan jujur dari seorang penyandang autisme seakan mengungkapkan, betapa ‘orang-orang normal’ seringkali melupakan, mengesampingkan, atau, ya, tak mengindahkan ‘kenormalan’ yang seharusnya.
Lee Jun Ho (Kang Tae Oh) anggota tim litigasi di kantor Young Woo bekerja sebenarnya menaruh hati pada Young Woo. Lantas apa yang bikin dia resah, cemas, ketika jatuh cinta dengan seorang penyandang autisme? Takut dibilang pacaran sama orang cacat? Takut gagal? Malu? Atau bagaimana? Padahal jatuh cinta, kan, sebuah kenormalan, kan? KAN! Toh, Young Woo bukan orang gila?
Di dalam sebuah persidangan seorang hakim memprotes Young Woo ketika ia menyela jaksa penuntut. Tapi ketika pak hakim sendiri yang menyela pengacara dan diingatkan oleh Young Woo bahwa, “Lho, tadi pak hakim bilangnya nggak boleh menyela, bukannya barusan juga memotong pembicaraan?”, semua malah kaget. Kok, pak hakim diingetin? Apakah hanya karena jabatan dia lebih tinggi, dianggap lebih terhormat, lantas kenormalan untuk saling mengingatkan tidak berlaku?
Buat saya aktingnya Park Eun Bin, pecah, sih, dalam memerankan Woo Young Woo. Pengacara jenius, manis, berkelakuan baik, namun menyandang autisme. Dari mulai cara jalan, pandangan mata, cara bicara, mengibaskan rambut, sehingga cara dia dalam menghadapi intimidasi ‘orang-orang normal’ di sekelilingnya. Kang Ki Young yang biasanya tampil ngebodor kali ini tampil kharismatik sebagai atasan Young Woo di kantor pengacara. Bos bijaksana, mampu meminta maaf jika salah, meski menilai remeh Young Woo di awal. Ada juga si nyebelin Kwon Min Woo, kolega Young Woo di kantor. Ketika dihadapi urusan pekerjaan, Min Woo menganggap Young Woo saingan karena jenius. Tapi di saat yang bersamaan, ia juga merasa Young Woo, tuh, bodoh. Jalan yang bener aja nggak bisa. Jadi gimana, sih, bodoh apa pintar? Hahaha…
Baca juga: 9 Rekomendasi Tempat Makan untuk Bekal Anak Sekolah
Melalui drama ini, penulis Moon Ji Won dan sutradara Yoo In Shik berhasil menggambarkan secara sempurna bagaimana masyarakat hidup dan berinteraksi dengan individu-individu berkebutuhan khusus. Meski jenius, pintar, hapal semua detil dalam kitab Undang-Undang Hukum, semua nggak ada artinya kalau kita nggak tampil ‘senormal’ orang lain. Walau hidup layak, bisa mandiri, berpenghasilan baik, semua nggak ada artinya di mata orang normal, ketika seseorang berkebutuhan khusus ingin mencintai. Apa arti cumlaude, kelakuan baik, jujur, dan selalu mengatakan kebenaran, jika semua itu dianggap nggak normal oleh ‘orang normal’ dalam ‘situasi-situasi normal’. Oh well, di dunia kita hidup saat ini, what’s normal anyway?