Sedih, sudah pasti. Namun, di balik kesedihan anak saat kehilangan saudaranya, ada hal yang perlu orangtua perhatikan.
Duka kepergian Emeril Khan Mumtaz (Eril), putra dari Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dan Atalia Praratya rasanya masih membekas di hati. Jangankan kita, bagaimana dengan sang adik, Camillia Laetitia Azzahra (Zara), yang masih berusia 17 tahun yang juga penuh duka kehilangan saudaranya?
Sedih? Sudah pasti! Kehilangan saudara laki-laki satu-satunya, figur kakak yang selama ini ia kagumi, belum lagi Eril pergi setelah sebelumnya sempat menyelamatkan Zara di sungai Aare. Sebagai orangtua, saking sedihnya karena kehilangan anak, kita bisa saja kemudian lupa kalau anak kita yang lain juga punya kesedihan luar biasa, sehingga ia perlu bahkan lebih dari sekadar perhatian kita.
Meski tidak semua anak akan mengalaminya, tetapi kehilangan seorang kakak atau adik di usia muda dapat menimbulkan trauma pada anak, yang dikenal dengan istilah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Ketika anak mengalami gangguan ini, proses berdukanya bisa terganggu (Tahu betul, kan, betapa pentingnya seseorang melewati proses duka). Kesedihan yang traumatis ini juga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari anak, terutama dalam hal akademis.
Gejala PTSD pada anak meliputi:
Meski hal ini mungkin tidak bisa kita cegah 100%, sebagai orangtua yang juga kehilangan, setidaknya kita dapat memastikan beberapa hal berikut ini.
Each child grieves differently, and there is no right or wrong way or length of time to grieve. ~ The National Child Traumatic Stress Network
Validasi emosinya, yang berbeda dari kita
Posisi kita sebagai orangtua dari mendiang berbeda dari posisi anak kita yang adalah saudaranya, baik itu kakak maupun adik. Iya, kita sama-sama punya kesedihan yang mendalam, tetapi hal itu tidak bisa diukur pun dibandingkan. Orangtua tidak bisa menganggap bahwa dirinya adalah yang paling sedih. Maka, terimalah perasaan dan emosi anak, meskipun sangat berat untuk melihat reaksinya. Ia boleh menangis, ia boleh marah, ia boleh merasakan semua perasaan yang datang ketika saudaranya meninggal.
Tidak perlu juga “harus kuat demi anak”
Menerima perasaan anak bukan artinya kita harus bersikap tegar di hadapannya. Iya, kita memang harus kuat, tetapi kita tidak perlu melakukannya demi anak yang juga merasa kehilangan. Anak juga perlu melihat bagaimana orangtua memvalidasi perasaannya sendiri dengan tidak berusaha menolak rasa sedih yang datang. Menangis, berpelukan, berdoa dan berserah adalah salah satu dari sekian cara yang bisa kita lakukan. Meski terenyuh, saya kagum sekali betapa keluarga Kang Emil bisa terus berpegangan dan saling menguatkan satu sama lain. Proses berduka adalah sebuah proses yang perlu dijalani tahap demi tahap, menjadi kuat dan menahan tangis bukanlah syarat untuk melewati proses tersebut.
Tetap membekali iman anak
Satu hal yang patut kita pupuk bahkan sejak dini adalah pembekalan iman anak. Betapa pendidikan agama itu penting dalam sebuah keluarga. Dengan bekal tersebut, kita bisa membantu menguatkan anak bahwa ada saatnya kita berikhtiar atau berserah, di mana usaha yang kita lakukan cukup sampai di doa, selebihnya Tuhanlah yang berkuasa. Meski pemahaman ini seringkali sulit untuk diterima, bahkan oleh orangtua pun, setidaknya anak tahu ke mana ia harus berpegang. Dan ketika saudaranya pergi, kuatkan anak dengan mengajaknya untuk mengingat segala hal yang baik mengenai saudaranya.
Mengajarkan tentang ikhlas
Bila kita melewati tahapan proses berduka dengan benar, yakni: Denial (penyangkalan) – Marah (anger) – Tawar-menawar (bargaining) – Depresi (depression) – di tahap akhir alias tahapan kelima kita akan sampai pada fase menerima dengan ikhlas (acceptance). Poin sebelum ini, yaitu pemahaman iman juga berperan dalam membantu anak untuk ikhlas menerima kepergian saudaranya. Sehingga, secara emosional, anak tidak diliputi oleh perasaan menyesal, meski mungkin dulu ia sering bertengkar dengan saudaranya. Kita juga bisa terus mengajak anak untuk mendoakan saudaranya dan mengunjungi makam saudaranya.
Tidak perlu enggan bila merasa butuh bantuan ahli
Ustad, pendeta, psikolog, holistic health trainer, mindfullness teacher, psikiater, apapun itu istilahnya, mereka adalah bala bantuan yang bisa kita andalkan ketika kita sendiri sebagai orangtua mengalami duka yang sangat mendalam dan kita tidak tahu bagaimana cara memastikan anak agar tidak mengalami trauma.
Mencari pertolongan itu bukan tanda kelemahan, sebaliknya butuh kekuatan dan kesadaran untuk menyadari keterbatasan diri dan mencari pertolongan. ~ dr. Jiemi Ardian, Sp. KJ
Alone girl photo created by mindandi – www.freepik.com