Ditulis oleh: Gita Putri Damayana
Berada jauh dari keluarga membuat saya memikirkan ulang mengenai peran salah satu institusi tertua ini dalam banyak hal.
“Bu, ayah positif”
Saya menerima pesan ini kurang dari tiga jam sesudah mendarat di Bali untuk Pre-Departure Training (PDT) dalam rangka mempersiapkan Phd ke Australia. Perlu beberapa detik untuk mencerna implikasi dari pesan tersebut. Berada ratusan kilometer dari keluarga saat pandemi meningkatkan level kekhawatiran menjadi tak terhingga. Tapi kita tak punya kemewahan untuk panik. Saya sangat bersyukur kami sebagai pasangan sama dan sebangun dalam menyikapi COVID alias sama-sama prokes nomor satu.
Pada saat suami terdiagnosa positif, tak lama si bungsu panas tinggi dan pusing berkepanjangan. Mental semakin tidak keruan sementara kelas PDT baru seminggu lebih. Hasil tes si bungsu dari mulai PCR, tipus sampai demam berdarah negatif. Menurut dokter, sepertinya ada infeksi virus namun tidak berbahaya sehingga tidak terlalu perlu khawatir. Reda sejenak urusan keluarga sendiri, dua orang teman baik saya di kantor ayahnya berpulang. Mengingat kami sekantor seperti keluarga besar, rasa kehilangan mereka gemanya terasa sampai ke Bali.
Berada jauh dari keluarga membuat saya memikirkan ulang mengenai peran salah satu institusi tertua ini dalam banyak hal. Ada begitu banyak peran seorang individu dalam keluarga. Ada peran sebagai ibu, istri, anak, kakak atau adik, cucu, tante hingga ipar dan menantu. Tanpa kita sadar, seringkali dinamika bagaimana menjalankan berbagai peran ini memiliki kontribusinya sendiri dalam menjalani hidup sehari-hari. Namun, aneka peran ini seakan tercerabut ketika berada ratusan bahkan puluhan ribu kilometer dari keluarga. Mendadak kita seperti penonton dan ada kehangatan yang mendadak redup.
Ada kesempatan saat sedang berada di AS dalam sebuah toko, secara refleks saya memanggil anak-anak untuk menunjukkan buku yang menarik. Kali lain saat malam-malam sendirian mengerjakan tugas kuliah di AS, mendadak saya merasa melihat pintu kamar terbuka dan keluarga berada di pintu mengajak pulang. Di Bali, setiap melewati tempat yang pernah kami singgahi saat liburan, ada yang terasa berat di tenggorokan dan mata kerap membasah. Tak heran banyak senandung pilu dari mereka yang berada di rantau orang.
Baca juga: Beasiswa Datang Ketika Saya Sedang Menjalankan Peran Domestik Sebagai Ibu
Tapi hidup harus berjalan terus. Rasa percaya dan kasih sayang keluarga adalah modal utama bagi saya untuk berada jauh di sini. Sama sekali tidak sehat untuk memanjakan hati larut dalam rasa rindu pada keluarga. Toh mereka tahu saya berada jauh buat apa dan bila pulang tanpa pencapaian, betapa besar perasaan kecewa orang-orang yang mengasihi saya. Kenyataan penting membuat kita berbenah dan fokus pada tujuan.
Akhirnya ketika di AS saya memutuskan tak mau belajar di kamar. Lebih baik keluar, belajar di perpustakaan bersama mahasiswa lain. Perpustakaan adalah tempat super nyaman dengan kualitas kelas satu sehingga tak ada alasan untuk tidak betah. Saya hanya pulang ke tempat tinggal untuk tidur dan mandi; bahkan hari Sabtu atau Minggu pun tetap ke perpustakaan. Sayangnya pengalaman ini tak bisa berulang di Bali meski perpustakaannya juga sangat bagus. Pandemi ini membuat kegiatan kerap dilakukan secara online tanpa interaksi langsung di kelas. Dalam situasi demikian, saya berusaha untuk tetap keluar dari kamar kos, minimal duduk di teras agar mendapat cahaya matahari langsung.
Rasa rindu pada kehangatan keluarga coba saya obati dengan interaksi lebih dalam dengan keluarga pengelola kos. Membagi makanan yang saya miliki dengan mereka atau menyapa setiap mereka keluar menata sesajen sehari-hari sebagaimana layaknya orang Bali. Bersama teman-teman sekelas PDT kami mencoba membangun rutinitas seperti makan siang bersama di kantin atau pada akhir minggu jalan pagi bersama. Kenalan baru memang bukan keluarga tapi merawat interaksi langsung dengan sesama manusia tetap perlu dibangun untuk menjaga kewarasan.
Pada saat tulisan ini disusun saya sedang mudik sebentar di Jakarta untuk menghadiri pernikahan keponakan (peran sebagai tante!) dan menengok nenek saya yang kondisinya kurang sehat (peran sebagai cucu!). Dua peran sebagai cucu dan tante ini berperan menjadi pengingat; bahwa sejauh manapun kita berjalan, peran kita dalam keluarga adalah tempat kita kembali. Pulang untuk memeluk ke nenek yang semakin ringkih dan menggandeng keponakan saat ritual pernikahannya semakin meyakinkan saya bahwa betapa beratnya hidup tanpa menjalankan peran sebagai keluarga.
Keluarga bukanlah harta paling berharga. Kita bisa menginvestasikan harta, menggadaikan harta hingga berjudi dengan harta. Tapi apakah kita bisa berlaku sama dengan keluarga? Untuk urusan ini saya lebih setuju dengan Koes Plus yang bernyanyi ke Jakarta ‘ku kan kembali. Ganti “Jakarta” dengan “keluarga”; karena hampir semua dari kita akan “ku akan kembali, walau apapun yang terjadi”.