banner-detik
EDUCATION

Gita Putri Damayana: Beasiswa Datang Saat Saya Sedang Menjalankan Peran Domestik Sebagai Ibu

author

Mommies Daily25 Jan 2022

Gita Putri Damayana: Beasiswa Datang Saat Saya Sedang Menjalankan Peran Domestik Sebagai Ibu

Nominasi beasiswa untuk menempuh pendidikan lebih tinggi adalah anugerah, sebagaimana memiliki keluarga adalah rezeki. Keduanya tak perlu dibenturkan.

Nakes itu berkata dengan sedikit gugup bahwa telunjuk putra saya akan dibelah dokter bedah untuk mengeluarkan serat kayu yang terselip di dalamnya. Nyaris 7 menit kemudian, dokter bedah berhasil mengeluarkan serat kayu tanpa perlu membelah kuku si buyung. Dalam waktu yang nyaris bersamaan, email dari Australian Award Scholarship mengabarkan bahwa saya diterima untuk melanjutkan program doktor di Australia. Saya dan si buyung berpelukan erat di ruang UGD. Putra saya kukunya baik-baik saja dan saya mendapat beasiswa doktoral dari Pemerintah Australia. Dua kabar baik dalam selang 10 menit!

Baca juga: Menjadi Ibu Tidak Membuat Saya Berhenti Melakukan Hal-hal Ini

Kuliah lagi berarti saya harus meninggalkan tiga anak dan seorang suami di Jakarta. Putri sulung saya sedang menjalani tahun pertamanya sebagai mahasiswa di UI Depok, anak tengah si buyung baru naik kelas 1 SMA dan putri bungsu sebentar lagi lulus SMP. Suami sudah stabil posisinya di BUMN. Tak mungkin meminta mereka meninggalkan Jakarta, apalagi pendidikan doktor bisa memakan waktu 4 tahun, meski pasti sempat bolak-balik ke Jakarta

Egois? Mungkin. Tapi perempuan (baca: ibu) selalu punya berbagai alasan.

Misalnya, apa bedanya saya dengan para suami-suami yang harus memboyong keluarganya penempatan di berbagai tempat, sehingga peluang si istri untuk meniti karir formal menjadi minim? Mengapa kalau lelaki bisa bebas, sementara perempuan yang ingin memiliki pencapaian lebih sering ditanggapi dengan cibiran?

Tapi ini adalah posisi defensif yang tak perlu, karena kenyataannya, tak pernah sekalipun cibiran itu hadir.

Sebelumnya, saya sudah pernah meninggalkan keluarga selama hampir setahun ketika mendapatkan beasiswa Fulbright untuk S2 dari Pemerintah Amerika Serikat. Saat itu, saya meninggalkan si sulung yang baru masuk SMP dan adik-adiknya kelas 3 serta 2 SD. Berbagai lingkaran pergaulan sesama ibu-ibu sekolahan dengan caranya mereka masing-masing menjaga anak-anak saya. Tak pernah sekalipun mereka mempertanyakan mengapa saya tega meninggalkan anak-anak yang masih usia sekolah demi kuliah S2 lagi.

Apakah ini pertanda positif, bahwa perempuan (baca: ibu) sesungguhnya memiliki naluri saling melindungi dan mendukung sesamanya? Saya tak tahu jawaban tepatnya apa. Tapi melihat bagaimana sesama ibu saling mengingatkan dan memastikan agar anak-anak saya tidak kehilangan kesempatan (dan kewajiban!) untuk urusan sekolah, seperti meneguhkan anggapan bahwa solidaritas sesama ibu itu benar adanya.

Mitos Mengenai Peran Ibu

Dalam perjalanan mencari beasiswa ini, saya teringat beberapa mitos. Setidaknya ada dua mitos yang sepertinya perlu kita dudukkan pada konteksnya berkaitan dengan peran ibu dalam keluarga. Misalnya mitos sebaik-baiknya tempat ibu adalah bersama anak-anaknya (a mother’s place is with her children). Mitos ini lahir dari kemewahan seorang ibu yang bisa memilih.

Banyak sekali ibu di dunia yang karena keterpaksaan tidak bisa memilih untuk bersama anak-anaknya. Ada ibu yang harus mencari nafkah bekerja sebagai buruh migran di negara lain (atau di rumah orang lain di wilayah berbeda alias menjadi ART) atau ibu yang mengalami isu kesehatan fisik dan mental sehingga terpaksa harus dirawat terpisah dari keluarganya.

Tempat terbaik seorang ibu, menurut hemat saya, adalah di mana pun yang ia bisa pertanggungjawabkan pada keluarganya, bukan semata asal bersama anak-anaknya.

Mitos berikutnya adalah perempuan kuliah karena harus mendidik anaknya kelak. Sekali lagi, ini mitos yang lahir dari beban tanggung jawab domestik perempuan. Tanggung jawab pendidikan anak bukan hanya pada ibu, tapi juga pada bapak. Menyelesaikan perkuliahan membutuhkan komitmen biaya, waktu dan tenaga bertahun-tahun, yang lagi-lagi merupakan kemewahan bagi sebagian besar orang. Sebagaimana tidak semua perempuan ingin berkeluarga, berkuliah bukanlah syarat suksesnya ibu untuk mendidik anaknya. Anak membutuhkan ibu yang penuh kasih sayang serta menggunakan akal sehat, bukan ibu dengan gelar sarjana.

Namun, berita baik mengenai beasiswa ini datang ketika saya sedang menjalankan peran domestik sebagai ibu. Saya harus mengantisipasi kenyataan pahit. Bahwa bila di masa yang akan datang ketika anak menghadapi situasi darurat, saya tidak bisa mendampinginya sebagaimana saat ini. Otak berputar melihat tenggat waktu terakhir kapan harus menerima nominasi beasiswa tersebut. Kesempatan tidak datang dua kali dan saya telah bekerja keras untuk bisa mendapatkan nominasi tersebut. Tapi kesempatan menjadi ibu bagi ketiga anak saya dan istri bagi suami juga tidak akan terulang lagi.

Email jawaban untuk menerima pencalonan beasiswa tersebut telah saya kirimkan. Kini saya tengah mengikuti pelatihan bahasa Inggris selama beberapa minggu untuk mempersiapkan keberangkatan ke Australia. Nominasi beasiswa untuk menempuh pendidikan lebih tinggi adalah anugerah, sebagaimana memiliki keluarga adalah rezeki yang tak ternilai. Keduanya tak perlu dibenturkan, justru bisa saling memperkaya dan meningkatkan kualitas satu sama lain.

Rangkaian tulisan ini bertujuan untuk berbagi pengalaman sebagai ibu yang berusaha menempuh pendidikan tinggi melalui beasiswa S2 maupun S3. Apabila proses beasiswa S2 telah selesai beberapa tahun lalu, untuk S3 baru saja dimulai. Tulisan demi tulisan ini bermaksud mengajak pembaca berjalan bersama saya dalam menengok pengalaman beasiswa S2 untuk bahan refleksi ketika kelak S3.

Mengapa semua ini perlu dituliskan? Pramoedya Ananta Toer pernah berucap bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Tentu bukan keabadian yang dicari, tapi perjalanan bersama Anda, para ibu sebagai pembaca, yang menjadi ukuran. Apalah arti tujuan, apabila tanpa solidaritas dan pertemanan sepanjang jalan dari sesama kaum yang paling mengerti kita, alias para ibu?

Baca juga: 25 Kursus Untuk Ibu Bekerja, Cocok Untuk Tingkatkan Daya Saing!

Photo by Sangga Rima Roman Selia on Unsplash

Share Article

author

Mommies Daily

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan