Apa yang terjadi jika kita melupakan apa yang kita ketahui tentang gender?
Mana mungkin? Pertanyaan tentang gender ini selalu muncul ke mana pun kita melangkah. Saat bikin email, media sosial, urusan administrasi, kesehatan, sampai keagamaan, pasti nanya jenis kelamin. Perkara toilet di rest area saja pakai pemisahan gender, kan? Padahal seringnya tidak imbang: toilet pria kosong sementara toilet perempuan antrenya bisa sampai tiga baris per pintu.
Membicarakan gender tak lepas dari fakta yang kita temui dalam masyarakat. Semaju-majunya perempuan sekarang, kita masih hidup di zaman di mana ketidakadilan gender ini masih banyak kita temui di mana-mana. Tanggal 8 Maret diperingati sebagai International Women’s Day (IWD), tahun ini mengangkat tema “Break The Bias”. Benarkah kita masih dikepung bias terhadap gender?
Coba jawab pertanyaan ini dengan jujur: Siapa yang paling repot saat pandemi COVID-19 semua orang harus WFH dan sekolah tutup? Yup, perempuan. Tanggung jawab yang diambil perempuan di rumah—termasuk tugas-tugas rumah tangga dan merawat anak-anak—bisa dibilang sebagai pekerjaan yang tidak dibayar (unpaid work).
Sementara perempuan menghadapi ketidaksetaraan di dunia kerja, kita juga menghadapi ketidaksetaraan di rumah. Di seluruh dunia, perempuan melakukan tiga kali lebih banyak unpaid work daripada pria. Ibarat kerja double shift. Di kantor kerja, pulang ke rumah lanjut shift kerja di rumah. Sebuah survei terbaru menunjukkan, sebanyak 60,4% pekerja perempuan melaporkan bahwa pandemi telah menambah tanggung jawab rumah tangga mereka (OECD, 2020).
Pekerjaan itu jika dirinci mengerucut pada empat tugas, yakni bersih-bersih, menyiapkan makanan, berbelanja, dan mengasuh anak. Pembagian kerja yang sebetulnya sudah terjadi sejak sebelum pandemi, tapi tekanannya jadi dirasakan lebih tinggi karena sebagian perempuan masih harus melakukan pekerjaan untuk mata pencaharian mereka juga.
Secara global, 75% unpaid work dilakukan oleh perempuan, yang menghabiskan antara 3-6 jam per hari untuk itu, dibandingkan dengan rata-rata pria yang melakukan unpaid work selama 30 menit – 2 jam. Selain itu, pria juga lebih sedikit dalam mengambil peran pekerjaan perawatan lansia. Di Inggris, misalnya, 70% dari caregiver demensia yang tidak dibayar adalah perempuan.
Sementara itu, pria lebih leluasa melakukan kegiatan rekreasional, seperti menonton TV, berolahraga, menjalankan hobi, atau bermain game komputer. Di Inggris, kaum prianya punya waktu luang 5 jam lebih banyak setiap minggunya, daripada perempuan.
Situasi unpaid work yang tidak berimbang ini menjelaskan kenapa di dunia kerja angka partisipasi perempuan cukup rendah dibandingkan pria, yakni 54%, sedangkan partisipasi pria 85%.
Kenapa kesenjangan (terutama di dunia kerja) itu masih terjadi? Dari segi tingkat pendidikan, tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Sebab, kesenjangan itu sumbernya ada di bias. Bias adalah konsep yang berkaitan dengan sikap, perilaku, atau pandangan seseorang. Bias yang berkaitan dengan gender seringkali muncul dari bawah sadar.
Iyalah, dari kita lahir, kita sudah menerima perlakuan berbeda dari jenis kelamin. Dekorasi kamar, misalnya, dinding pink jika yang lahir perempuan dan biru jika laki-laki. Selanjutnya, mainan pun dibedakan. Boneka untuk anak perempuan dan mobil-mobilan untuk anak laki-laki. Rok untuk perempuan dan celana untuk laki-laki. Karakter princess untuk perempuan, dan superhero untuk laki-laki. Seiring bertambah usia, makin terbentuk stereotip. Anak perempuan tidak boleh ikut serta dalam permainan sepak bola atau bahwa anak laki-laki tidak seharusnya menyukai warna ‘perempuan’ seperti pink.
Anak perempuan perlu pendiam, sementara anak laki-laki harus tegas dan blak-blakan. Anak perempuan harus lebih sering berada di dapur dan harus bisa memasak, sementara anak laki-laki harus keluar dan aktif. Anak laki-laki tidak boleh sensitif atau menunjukkan emosi, dan sebagainya. Dan ini hanyalah puncak gunung es.
Berikutnya, ada stereotip gender yang tertanam kuat dalam masyarakat kita, misalnya, menganggap memasak dan bersih-bersih sebagai ‘pekerjaan perempuan’, memimpin dan mencari nafkah identik dengan pekerjaan laki-laki.
Baca juga: Ajarkan Anak Perempuan Untuk Berani Bersuara
Perempuan menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Di luar itu, adalah peran sosial. Sudah saatnya kita melepaskan konsep gender untuk peran sosial dan menghapus stereotip negatif tentang gender ini. Pemisahan peran gender dari sisi sosial ini menjadi akar masalah karena gagasan ini menetapkan harapan dan aturan tentang bagaimana orang harus berperilaku berdasarkan jenis kelamin.
Padahal, banyak orang yang merasa tidak cocok dengan peran gendernya. Ada perempuan yang tidak suka memasak, lebih suka naik gunung. Ada laki-laki yang ingin jadi guru TK. Dalam peran sosial, laki-laki dan perempuan punya kesempatan dan kemampuan yang sama.
Bagaimana melepas strereotip yang terlanjur mengakar ini agar tercipta kesetaraan gender? Kita perlu memikirkan kembali nilai-nilai yang pernah kita dapat dan ditanamkan oleh orang tua dan masyarakat sejak kita masih bayi atau istilahnya unlearn. Tanpa sadar, bias gender itu sudah terlanjur menjadi nilai yang kita anut. Hanya dengan merefleksikan kembali, bahwa dalam peran sosial, tidak ada pembagian kerja yang bersifat feminin atau maskulin. Semua bisa melakukannya.
Photo by Library of Congress on Unsplash