banner-detik
PARENTING & KIDS

Anakku Meninggal Karena Imunodefisiensi, Kenali Gejalanya dan Penanganan Terbaik

author

Katharina Menge17 Feb 2022

Anakku Meninggal Karena Imunodefisiensi, Kenali Gejalanya dan Penanganan Terbaik

Satu malaikat kecil berpulang karena penyakit imunodefisiensi di akhir tahun 2021 lalu. Sang ayah pun ingin berbagi kisahnya sekaligus memberi sosialisasi kepada para orang tua lain di luar sana tentang penyakit ini.

Keputusan Dimas Adhi Sugiharto dan sang istri, Nurul Hudayanti, untuk menjadi pengurus inti Yayasan Pasien Imunodefisiensi Indonesia atau Indonesia Primary Immunodeficiency Patients Society (IPIPS) bukan tanpa alasan. Hati mereka tergerak untuk berbagi informasi tentang penyakit yang diderita buah hati mereka, Razqa Aakarshan Sugiharto, yang berpulang pada November 2021 silam.

BACA JUGA: Pertolongan Pertama pada Anak Sakit Saat Pandemi

Bagaimana cerita awal Razqa terdiagnosa mengidap imunodefisiensi?

Razqa lahir tanggal 26 Januari 2015 dan sekitar usia tiga bulan dia diberikan vaksin BCG. Lalu di usia enam bulan dia mengalami panas tinggi panas tinggi selama 10 hari dan sering timbul benjolan-benjolan di kelenjar getah bening. Setelah diberi obat kondisinya memang membaik, tetapi kondisi pembengkakak di kelenjar getah beningnya berulang, ditambah abses dan infeksi telinga.

Dokter anak yang menangani Razqa kebetulan peka terhadap kondisi imunodefisiensi. Dia melihat kondisi itu tidak umum diderita anak-anak dan curiga Razqa mengidap penyakit imunodefisiensi primer (primary immunodeficiency disease/PID). Dia pun membantu memberikan referensi untuk pemeriksaan di Singapura. Setelah menjalani beberapa tes, akhirnya Razqa didiagnosa menderita Chronic Granulomatous Disorder (CGD).

Apa saja dampak penyakit tersebut pada Razqa?

Razqa jadi sangat mudah sekali terinfeksi sama bakteri dan jamur. Sehingga banyak hal yang waktu itu harus dia hindari, contohnya seperti main-main sama tanah, pergi ke tempat yang lembap, sampai berenang di tempat yg tidak ada kaporitnya.

Semua itu disebabkan karena ketidakmampuan tubuh dia untuk melawan infeksi bakteri dan jamur. Setiap hari pun Razqa terpaksa minum dua jenis obat, yaitu obat anti bakteri dan obat anti fungal untuk melawan jamurnya. Semua itu adalah penaangan terbaik yang bisa diberikan untuk menjaga pertahanan minimum tubuhnya.

Sebulan sekali dia juga rutin untuk cek ke rumah sakit dan sepanjang hidupnya Razqa juga mengalami banyak episode yang membuat dia dirawat. Bahkan dia sudah pernah dioperasi lima kali untuk mengangkat abses yang kembali muncul. Karena jika didiamkan maka bisa menyebar kemana-mana dan menyebabkan infeksi yang lebih mengkhawatirkan.

Apa saja tanda-tanda imunosefisiensi yang harus banget diwaspadai oleh orang tua?

imunodefisiensi

Ada 10 sign warnings atau 10 tanda imunodefisiensi primer yang sangat mudah diketahui dan bisa dilihat oleh orang tua. Di IPIPS kami selalu mensosialisasikan hal ini.

  1. Infeksi kuping sebanyak 4 kali atau lebih dalam setahun
  2. Dua kali atau lebih infeksi sinus serius dalam setahun
  3. Penggunaan antibiotik selama dua bulan atau lebih tapa efek
  4. Dua kali atau lebih pneumonia dalam setahun
  5. Berat badan tidak naik atau gagal tumbuh pada bayi
  6. Abses berulang pada organ atau jaringan kulit
  7. Infeksi jamur yang menetap pada kulit dan mulut
  8. Perlu antibiotik intraverna untuk membasmi bakteri
  9. Dua kali atau lebih infeksi dalam termasuk sepsis
  10. Jika ada riwayat keluarga dengan imunodefisiensi primer

Jika semua tanda itu sudah ditemukan, maka orang tua wajib waspada dan segera lakukan pengecekan ke dokter.

Bagaimana cara mengobati penyakit ini?

Penyakit imunodefisiensi primer atau lebih tepatnya CGD yang dialami Razqa bisa diobati hanya dengan satu cara, yaitu transplantasi sumsum tulang belakang atau Bone Narrow Transplant (BNT). Sederhananya proses operasi ini adalah mematikan antibodi yang dimiliki pasien dan diganti sama antibodi yang baru.

Untuk hasil maksimal, semakin cepat operasi dilakukan maka akan semakin baik hasilnya. Disarankan operasi dilakukan di masa golden age atau sebelum usia 6 tahun, maksimal 7 tahun. Sebab semakin tua usianya maka komplikasi infeksinya semakin banyak.

Proses mencari donor ini juga tidak mudah karena harus mencari donor yang kecocokannya tinggi. Saya sendiri dan istri hanya cocok 50 persen. Sayangnya belum sempat mendapatkan donor yang tepat, Razqa sudah lebih dulu berpulang di usia 6 tahun 10 bulan.

BACA JUGA: 33 Daftar Rumah Sakit di Jakarta yang Memiliki NICU

Apa tantangan yang dihadapi sebagai orang tua dan pengaruhnya terhadap hubungan dengan pasangan?

Tantangan terbesar itu ada tiga, yaitu pertama menegakkan diagnosa yang tepat. Sebelum menemukan dokter yang tepat, kami seperti dilempar ke mana-mana. Itu karena infrastuktur di Indonesia belum sampai sana untuk testing, diagnosa, dan lainnya.

Lalu yang kedua adalah menjaga psikologis kami tetap positif. Kami selalu percaya there is always a bright side in every thing. Kalau terus bertanya kenapa dan kenapa ke atas pasti tidak akan ada habisnya. Aku selalu bilang sama Nurul, terlepas kesulitan kita sama Razqa, Tuhan memudahkan perjalanan kita. Jadi kami mencoba tetap positif, terlepas dari financialnya bagaimana itu jadi nomor sekianlah. Sebab rezeki dari Tuhan selalu ada. Hubungan kami berdua justru semakin solid dan kuat demi Razqa.

Terakhir itu tantangannya adalah menimbulkan rasa optimis ke Razqa. Kami selalu menekankan sejak kecil bahwa dia memang ada kondisi spesial tapi dia tidak punya batasan untuk melakukan apa yang diinginkan. Aku selalu bilang kalau limitnya itu hanya ada di kepala dia saja limitnya.

Kami juga mendukung apapun yang mau dilakukan Razqa. Dia mau belajar bahasa Cina, kami daftarkan. Mau belajar coding, kami dukung. Tidak ada batasan untuk dia. Kami pun cukup bahagia karena di akhir-akhir hidupnya Razqa bahkan masih semangat belajar walau dari rumah sakit.

Apa pesan untuk orang tua yang memiliki anggota keluarga dengan kondisi imunodefisiensi?

Kalau boleh berbagi dengan orang tua lainnya, sebenarnya ini bukan tentang limit. Jangan membuat anak berpikir dia memiliki batasan untuk melakukan banyak hal dengan kondisi yang dialami. Jika tidak bisa melakukan satu hal, bisa diganti dengan yang lain yang bisa dia lakukan.

Peka juga dengan 9 sign warnings supaya bisa menegakkan diagnosa dengan tepat dan cepat. Lalu bergabunglah dengan support system di sekitar, seperti komunitas IPIPS. Sebab support sistem bisa membantu banyak hal, mulai dari informasi, akses ke dokter, penanganan, dan banyak lainnya.

Saya sendiri sangat bersyukur, terlepas dari Razqa yang berpulang, kami berobat itu sangat mudah karena kami adalah bagian dari IPIPS. Jangan ragu untuk bergabung bersama IPIPS karena kami punya banyak kegiatan rutin yang bisa mengedukasi serta jadi tempat bertukar informasi dengan sesama keluarga dan juga dokter yang ahli di bidangnya.

Apakah ada dukungan yang diharapkan dari pemerintah?

Kami, saya dan anggota IPIS, sangat berharap sekali adanya dukungan dari pemerintah, terutama untuk pembiayaan obat-obatan dari BPJS. Sebab sampai saat ini jenis penyakitnya belum masuk BPJS sehingga untuk pembelian obat-obatan yang dikonsumsi, terutama untuk manajemen penyakit imunodefisiensi primer, masih harus dari dompet sendiri.

Berkaca dari kasus Razqa, untuk proses transplantasi bisa memakan biaya sekitar Rp2-3 Miliar dan dilakukan di luar negeri. Sedangkan untuk manajemennya sendiri untuk obat selama satu tahun bisa menghabiskan sekitar Rp20-30 juta, belum termasuk perawatan di rumah sakit.

Pengidap penyakit ini memang tidak banyak, tetapi kami layak juga untuk diperhatikan dan diberikan bantuan untuk memperbaiki kualitas hidup. Tentu ini akan sangat membantu pasien-pasien yang kurang mampu supaya mendapatkan pengobatan maksimal.

BACA JUGA: 

Untuk informasi lengkap tentang IPIPS, klik di sini!

Share Article

author

Katharina Menge

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan