7 Hal yang Harus Jadi Pelajaran Saat Anak Mengalami Kegagalan

Kids

RachelKaloh・28 Jan 2022

detail-thumb

Kegagalan tidak bisa ditolak, tapi dari situ anak belajar banyak. Di antaranya, 7 hal ini.

Betapa sering meme yang menggambarkan situasi antara ekspektasi vs realita (yang memang seringnya nggak sinkron) ini nongol di timeline. Umumnya, orangtua sudah jauh lebih mahir dalam mengatur ekspektasi ketika mencoba hal baru, nggak muluk-muluk, nggak selalu hasilnya harus sesuai impian. Bagaimana dengan anak, yang punya mimpi, yang ketika merasa sudah berusaha maksimal, kemudian tetap gagal juga? Wajar, nggak, sih, kalau anak merasa it’s the end of their wold? Atau justru, jadi ajang buat belajar lebih giat lagi? Keduanya wajar dan perlu anak hadapi. Anak perlu memahami perasaan sedihnya, tetapi perlu tahu kapan harus bangkit lagi.

It sucks, but that’s life!

Kalimat ini mungkin rasanya savage, ya, buat sebagian orang. Tetapi, sebetulnya orangtua memang tidak perlu membungkus sebuah kenyataan pahit dengan sesuatu yang manis. Biarkan saja anak menghadapi kegagalan, meski kita tahu betul usaha yang anak lakukan itu besar. Terkadang, hidup memang tidak sesuai dengan ekspektasi, tetapi kesempatan untuk berhasil selalu ada di depan mata. Belajar menerima kegagalan membuat anak lebih mudah move on

Gagal adalah pintu buat naik kelas 

Peran orangtua, selain tetap memvalidasi perasaan sedih yang anak alami ketika merasa gagal, juga sebagai pengingat bahwa dengan melewati kegagalan, anak akan berjumpa dengan sebuah pintu menuju tingkat yang lebih tinggi (improvement). Ke depannya, anak akan tahu bahwa ia perlu berlatih lebih keras lagi dari sebelumnya. 

Belajar problem solving

Saat anak merasa gagal, artinya ia akan mencoba mencari tahu alasan kenapa ia bisa gagal. Ketika ia mencoba lagi, tentunya ia akan berusaha lebih keras lagi dari sebelumnya dan mencari cara untuk tidak gagal lagi. Sesungguhnya, saat itu anak belajar problem solving.

Baca juga: Ini 8 Tanda Gangguan Kecemasan Pada Anak yang Mungkin Dialami Si Kecil

Character Building

Kegagalan adalah salah satu cara membentuk karakter anak. Namun, perlu digaris bawahi, ya, bahwa peran orangtua juga menentukan karakter yang terbentuk. Kalau anak benar-benar mengalami kegagalan, ia akan mencari cara untuk berusaha lebih kuat lagi dari sebelumnya. Akan tetapi, bila orangtua melihat kegagalan sebagai hal yang tidak seharusnya anak alami, kemudian malah tidak terima, maka karakter anak yang terbentuk adalah berlawanan dari itu. Anak akan merasa ia tidak butuh usaha dan kerja keras, karena ia akan cenderung menyalahkan pihak lain, bukan introspeksi diri sendiri. 

Baca juga: 126 Kata-kata Manis untuk Bantu Memompa Semangat Anak

Courage

Di atas segala kemampuan yang anak miliki, akan sia-sia bila dirinya tidak punya keberanian dan keyakinan terhadap kemampuannya tersebut. Tantangan yang anak hadapi ketika lomba maupun saat menjalani ujian adalah saat untuk membuktikan kemampuannya. Bila gagal ketika diuji, tantangan berikutnya adalah to keep trying, bukan lantas berhenti. 

Resilience

Resilience is the ability to bounce back after challenges and tough times (raisingchildren.net). Memang, penting untuk tetap menvalidasi perasaan anak saat menghadapi kegagalan. Tangisan karena kecewa maupun rasa sakit yang dialami selama berlatih adalah wajar untuk dilalui anak. Yang perlu kita pastikan adalah anak tidak trauma ketika gagal. Resilience atau ketangguhan; sifat tahan banting (kuat secara mental) ini bisa terpupuk dengan cara melewati kegagalan tersebut. Awalnya memang berat untuk diterima, tapi, layaknya latihan, lama kelamaan semua yang berat akan terbiasa dijalani. 

Perseverance

Sifat tekun atau gigih dalam berusaha juga menjadi bagian menuju sebuah sukses. Namun, tidak ada yang bisa memastikan bahwa kegigihan anak selalu akan berujung pada sukses. Ia akan menjumpai juga saat-saat di mana ia sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi tetap gagal. Namun, bila sifat tekun ini sudah tertanam di dalam benak anak, maka biasanya hasil bukan lagi yang menjadi tolok ukur. Hasil atau nilai itu adalah sebuah standar yang diciptakan, ditarik berdasarkan rata-rata. Tidak semua hal memerlukan nilai yang kongkret. Tidak semata-mata yang namanya latihan dilakukan demi sebuah kemenangan. Latihan dan usaha yang ekstra kita lakukan demi menghindari kesalahan yang bisa menyebabkan kegagalan. Tanpa diakui sebagai pemenang, anak sangat bisa memenangkan battle dengan dirinya sendiri, karena berhasil menjadi dirinya dalam versi yang lebih baik. 

“After all, apparently it’s just a bad day, not a bad life.”