Frenemies and toxic friendship juga terjadi para anak remaja. Jangan sampai anak kita menjadi pelaku, atau sebaliknya, menjadi korban.
Masih belum bosan, kan, sama istilah toxic? Salah satu teman saya ada yang curhat tentang tingkah laku anak gadisnya. Saking terkejut dengan kenyataan, ia sampai bilang, “Percuma saya mendidik anak dengan tegas dan memiliki hubungan sedekat itu dengan anak, kalau pada kenyataannya saya nggak tahu bahwa dia menjadi teman yang toxic di sekolah.” Siapa, sih, yang mau kalau anak remajanya menjadi toxic friend atau frenemies di antara teman-teman seusianya? Seberapa jauh kita bisa bertindak agar anak bisa menjadi teman yang baik? Kalau sudah telanjur jadi korban, apa yang bisa kita lakukan?
Persahabatan remaja bisa berubah menjadi ‘beracun’
Yeap, Anda nggak salah dengar. Toxic friendship bahkan bisa terjadi dari usia remaja. Kemungkinan yang terjadi, antara anak menjadi the toxic friend, berteman dengan sekelompok anak-anak yang jahat kepada teman lainnya, atau, ya, jadi korban. Memangnya, bisa separah apa, sih, teman beracun itu?
Seorang teman seharusnya bisa membuat temanya merasa baik, merasa terbantu dan yang paling penting, merasa diterima. Sementara seorang remaja yang toxic biasanya dapat menyebabkan temannya merasa buruk terhadap dirinya sendiri atau orang lain. Tidak hanya itu, yang lebih mengerikan adalah seorang yang toxic cenderung menjatuhkan, memanipulasi, meninggalkan temannya, berperilaku kejam, baik secara langsung maupun di dunia social media.
Apa yang bisa kita lakukan agar anak bisa menghindari, mengelola, atau mengakhiri pertemanan yang beracun?
Meski dari pengalaman teman saya, frekuensi obrolan yang kita jalin dengan anak saja rasanya tidak cukup untuk membuatnya paham bahwa dirinya menjadi pelaku pertemanan beracun. Kita mungkin perlu lebih dalam menggali ketika sedang mengobrol dengan anak.
Bagaimana bila anak yang menjadi korban dari toxic friendship?
Dengan pembicaraan yang dalam bersama anak setiap harinya, percayalah, kita juga akan lebih mudah menanamkan anak cara menangani situasi, termasuk ketika menghadapi teman-teman yang beracun. Salah satu kerabat dekat saya cerita bahwa anaknya pernah ditinggal oleh sekelompok teman-temannya, alasannya, karena orangtuanya bercerai. Namun, anak ini tahu ke mana ia harus berpaling. Pun akhirnya, yang benar sahabat akan tetap bertahan di sampingnya.
Mengakhiri pertemanan beracun
Dari kasus di atas, yang perlu digarisbawahi adalah kemampuan anak untuk berpaling dari pertemanan beracun tersebut. Menjadi PR buat orangtua untuk bisa memastikan anak memilih untuk berpaling, bukan berdiam diri dan menghabiskan masa remajanya menjadi korban, hanya karena ia tidak sanggup berpaling dari pertemanan tersebut. Anak perlu memiliki kemampuan untuk bersikap tegas pada dirinya sendiri untuk menjauh dari lingkungan yang beracun.
Berani berbicara dan menyampaikan perasaan anak pada teman yang toxic tentu butuh keberanian. Kita pun, sebagai orangtua, perlu siap seketika anak mengakhiri hubungannya dengan sahabat dekatnya yang ternyata toxic. Bukan tidak mungkin, si temannya yang toxic itu mempersulit kehidupan anak, membuat anak kita justru merasa guilty. Jika teman anak yang toxic tersebut sudah berlaku di luar yang seharusnya, seperti mem-bully anak atau mengancam, jangan ragu untuk melaporkannya ke pihak sekolah.
School photo created by master1305 – www.freepik.com