banner-detik
SELF

Mirisnya Menjadi Perempuan di Indonesia

author

Ficky Yusrini07 Dec 2021

Mirisnya Menjadi Perempuan di Indonesia

Menjadi perempuan di Indonesia butuh keberanian luar biasa, jika suatu saat menjadi korban kejahatan dan kekerasan seksual.

Kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus. Itupun yang terlaporkan. Ironisnya, seringkali melapor pun tidak menjadi solusi yang memberikan rasa keadilan pada korban. Sampai kapan kita akan terus diam saja?

Baru minggu lalu, suami mengatakan, ingin membelikan saya pepper spray. Mendadak, ia masygul membayangkan saya kalau harus keluar rumah sendirian, naik transportasi umum atau pulang larut malam. “Helo…! Kemana aja selama ini?” timpal saya. Belasan tahun jadi istri sudah biasa kemana-mana sendiri, nggak pernah ditanya. “Apa yang kamu lakukan kalau ada yang melakukan pelecehan seksual ke kamu? Gimana cara kamu jaga diri?” tanya suami, cemas.

Pelecehan seksual di jalan pernah beberapa kali saya alami. Sekali, waktu bersepeda. Ada orang di jalan yang bisa-bisanya tiba-tiba mengulurkan tangannya menyentuh dada saya. Sekali di kereta Commuter Line, saat sedang penuh-penuhnya.

Lalu, ketika di berita saya mendapati ternyata sering sekali kasus pelecehan seksual di kereta, mirip seperti yang pernah saya alami, saking seringnya saya sempat berpikir bahwa pelecehan seksual adalah hal yang normal yang harus dihadapi perempuan sehari-hari.

Target Kejahatan
Risiko yang dihadapi perempuan tidak hanya kejahatan seksual, tapi juga kriminalitas. Perempuan kerap dianggap lemah fisik dan lengah kewaspadaan sehingga mudah jadi target penjahat. Modusnya, dari jambret tas, hipnotis, copet, dan sebagainya. Maaf-maaf, jika ada orang yang tidak saya kenal mendekati saya, walau maksudnya sekadar untuk bertanya karena tersesat jalan, saya sudah parno duluan.

Di luar sana, ternyata yang dihadapi perempuan jauh lebih buruk. Beberapa minggu terakhir ini, berita tentang pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan muncul bertubi-tubi. Saking sesaknya, ada satu berita yang saya sampai tak berani baca sendiri. Hanya sekilas dengar dari cerita suami, sudah sukses bikin saya sesenggukan, ikut merasakan trauma korban. Kisah ibu tunggal di Luwu, Sulawesi, yang tiga anaknya diperkosa oleh ayah kandungnya sendiri. Lalu, ada anak 12 tahun di Jombang, yang hamil karena diperkosa.

Kemana Melapor?
Saat perempuan menjadi korban, dalam ketidakberdayaannya, satu-satunya harapan hanyalah mendapatkan keadilan dengan melaporkan kasus yang dialami. Namun boro-boro mendapat keadilan, seringkali dalam proses hukum yang dijalani, korban justru disudutkan. Pengalaman inilah yang dialami si ibu di Luwu. Setelah melaporkan perbuatan mantan suaminya, si ibu malah dituding punya motif dendam. Ia juga diserang sebagai orang yang mengalami gangguan kejiwaan.

Begitu pula, bocah 12 tahun di Jombang, dalam proses konseling, diputuskan untuk aborsi. Namun, keputusan tersebut ditolak oleh Kepolisian. Anak ini pun dipaksa oleh sistem untuk melanjutkan kehamilan. Ia harus menanggung beban psikologis yang panjang akibat peristiwa traumatis yang dialaminya.

Di Palembang, tiga mahasiswi Unsri yang melaporkan pelecehan seksual , malah berakibat dicoretnya mereka dari daftar yang diperbolehkan mengikuti yudisium. Kasus ini mengingatkan saya pada kejadian di kampus dulu. Keberadaan dosen yang genit pada mahasiswi, hanya sebatas curhatan dari mulut ke mulut. Tidak pernah terungkap dan diproses secara hukum. Andai, para korban dulu seberani tiga mahasiswi Unsri, tidak akan ada lagi jatuh korban-korban berikutnya.

Terbaru, kasus yang dialami Novia, mahasiswi Universitas Brawijaya. Ia ditemukan bunuh diri di makam ayahnya dengan meminum racun sianida. Dalam jejak digitalnya, Novia menceritakan pengalamannya, pernah diperkosa oleh pacarnya, lalu diminta menggugurkan kandungan. Novia juga menceritakan perlakuan keluarga pelaku yang melindungi perbuatan pelaku. Beban psikologisnya bertambah karena pamannya sendiri mengancam akan membunuhnya karena dianggap membawa aib keluarga. Seluruh keputusasaannya itu ia tuangkan di media sosial, sampai akhir hidupnya.

Novia telah melaporkan kejahatan yang dialaminya, namun laporannya tak kunjung mendapat tanggapan. Butuh efek viral dulu sampai laporannya ditindaklanjuti dengan serius. Meski sekarang sudah sangat terlambat, karena tak bisa mengembalikan hidup Novia lagi.

Lagipula, jika saja Novia tak punya jejak digital, mungkin tak akan pernah terungkap penyebab keputus-asaannya hingga ia memutuskan bunuh diri.

Butuh hati sekuat baja untuk bangkit dari keterpurukan.

Butuh keberanian luar biasa untuk menjadi perempuan di negeri ini, jika suatu saat menjadi korban kejahatan dan kekerasan seksual.

Keberanian untuk bilang,”Ini tidak wajar!” dan “Ini kejahatan!”.

Keberanian untuk menjadi martir, demi perempuan lain agar tak lagi menjadi korban. Keberanian untuk menghadapi tudingan-tudingan yang menyalahkan dan akan menelanjangi kita sebagai korban. Siap mental saat kasusnya diramein di media. Siap menghadapi cercaan keluarga besar, karena seringnya oleh keluarga malah dianggap memalukan dan bikin aib. Butuh kesabaran ekstra untuk melewati proses pelaporan yang berbelit dan tidak sensitif terhadap penderitaan korban.

Jadi, berhentilah menyalahkan korban. Sebab, mereka adalah…para pahlawan.

Berkaitan dengan meningkatnya kejahatan pada perempuan dan juga anak-anak, maka pada tanggal 17 Desember 2021, Mommies Daily akan mengadakan Self Defense Class yang akan melatih kita serta anak-anak bagaimana caranya melawan ketika menjadi korban tindak kejahatan. Acaranya online kok, jadi bisa diikuti oleh siapa saja dari daerah mana saja. Untuk link pendaftarannya, bisa meluncur ke sini ya.

Share Article

author

Ficky Yusrini

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan