Saat mengetahui atau mendengar kasus pemerkosaan, kita bisa mendampingi korban dan melaporkan kasusnya ke pihak berwajib. Namun, ada juga saksi yang memilih diam. Apa alasannya?
Belum lama ini, muncul kabar tidak menyenangkan dari Padang, Sumatra Barat. Dua anak di bawah umur diketahui menjadi korban pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri. Anak berusia 5 dan 7 tahun tersebut diperkosa oleh kakek, paman, kakak, serta dua orang tetangga korban. Keluarga yang seharusnya melindungi anak-anak malah menjadi pelaku kejahatan seksual yang membahayakan mereka.
Setelah diperkosa, kedua korban yang kebingungan dan ketakutan, menceritakan hal tersebut ke tetangga dan mengaku tidak berani kembali pulang ke rumah. Selanjutnya, sang tetangga melaporkannya ke Ketua RT dan kasus dilanjutkan ke polisi.
BACA JUGA: Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi Tapi Penyelidikan Dihentikan
Sementara itu, berdasarkan keterangan tetangga, ibu korban tidak tinggal di rumah tersebut. Namun, ia sempat datang ke Polresta setelah mengetahui kasus pemerkosaan yang dialami anaknya. Sayangnya, menurut Desi, tetangga, sang ibu sempat menghalangi warga yang ingin melaporkan kejadian tersebut ke polisi.
“Dia menganggap anaknya mengada-ngada agar salah satu pelaku yang merupakan ayah si ibu tidak ditahan. Dia malah bilang ke saya kalau anaknya itu ngelantur karena pernah jatuh dari lantai dua rumahnya,” papar Desi, dilansir dari HaluanPadang.com.
Pihak kepolisian juga mengatakan bahwa sang ibu sempat menolak memberikan keterangan kepada polisi, padahal kedua anaknya menjadi korban dalam kasus ini.
“Kami sudah melakukan pemanggilan terhadap ibu korban. Tapi ibu korban menolak memberikan keterangan,” kata Kasat Reskrim Polresta Padang, Rico Fernanda seperti dikutip dari langgam.id, pada Kamis (18/11).
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa respons setiap orang saat mendengar atau mengetahui kasus pemerkosaan bisa sangat berbeda. Menurut Risky Adinda, M.Psi., Psikolog, psikolog klinis dari Biro Psikologi Sadari, respons yang muncul umumnya emosional, seperti terkejut, marah, atau sedih terlebih dulu.
“Terkejut akibat mendengar peristiwa negatif yang tidak terduga, merasa marah pada pelaku atau keadaan, hingga merasa sedih dan bersalah karena merasa tidak dapat melindungi korban. Wajar juga jika seseorang kemudian menjadi merasa kebingungan dan khawatir akan kondisi korban. Mereka juga bingung bagaimana cara untuk mendampingi atau memberikan keamanan pada korban,” papar psikolog yang biasa dipanggil Dinda ini.
Selain respon emosional, ia menambahkan, biasanya muncul pula respon tingkah laku berupa tindakan-tindakan yang berupaya untuk mendampingi dan melindungi korban, seperti mengadvokasikan kasus tersebut ke jalur hukum.
Namun, karena kasus perkosaan merupakan situasi yang dapat memicu stres pada manusia, maka proses psikologis yang terjadi pada setiap orang juga berbeda-beda. Biasanya, ketika menghadapi stres (dalam kasus ini mendengar tentang berita perkosaan), diri kita secara otomatis akan melakukan penilaian seberapa besar tingkat stres yang muncul dari situasi ini dan seberapa mampu kita akan mengelolanya.
Dalam ilmu psikologi, respon yang dapat muncul ketika menghadapi situasi penuh stres adalah fight (melawan–ketika kita merasa mampu mengelola masalahnya), flight (kabur–karena memandang masalah dapat dikelola dengan melarikan diri darinya), atau freeze (berdiam diri–diri merasa tidak mampu mengelola masalahnya dengan cara apa pun, baik dengan melawan maupun melarikan diri).
Mengapa setiap orang bisa memiliki reaksi yang berbeda-beda seperti fight, flight, atau freeze? Dinda mengatakan, itu bisa dipengaruhi oleh faktor situasinya sendiri (seberapa serius masalahnya, seberapa besar ancaman yang dikhawatirkan akan timbul pada korban atau diri kita yang mengetahui peristiwanya), faktor kemampuan diri (seberapa paham kita akan perkosaan yg dialami korban, seberapa paham kita akan advokasi hukum yang dapat ditempuh, seberapa mampu kita untuk mendampingi dan membantu korban baik secara emosional, material, maupun hukum), juga faktor lingkungan (seperti apa sikap lingkungan terhadap kasus perkosaan, apakah kita menilai lingkungan sekitar dapat melindungi korban atau tidak, atau apakah lingkungan mendukung seseorang untuk mendampingi dan membantu korban perkosaan).
Mungkin mudah bagi kita untuk menghakimi saksi atau orang terdekat yang memilih diam meskipun tahu tentang kasus pemerkosaan yang dialami korban. Namun, menurut Dinda, kita tidak dapat menentukan satu atau beberapa latar belakang saja untuk alasan mengapa seseorang memilih untuk menutupi kasus perkosaan yang diketahuinya.
“Kita sebagai masyarakat sebaiknya juga tidak serta-merta memberikan penilaian ataupun berasumsi negatif akan apa yang melatarbelakangi seseorang untuk menutupi kasus perkosaan yang diketahuinya. Sebab, setiap individu memiliki perbedaan (individual differences) yang dapat memengaruhi pilihan atau tindakannya,” ungkapnya.
Psikolog yang juga berpraktek di Biro Psikologi Attentive ini, mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang membuat seseorang diam meskipun mengetahui kasus pemerkosaan. Berikut di antaranya:
Sementara itu, pada kasus perkosaan terhadap anak di bawah umur yang terjadi di Padang, pelaku merupakan ayah dari ibu kedua korban (kakek korban). Dinda mengatakan, pada konteks tersebut, sangat mungkin ada faktor relasi kuasa yang berperan dalam tindakan sang ibu untuk menyangkal kasus perkosaan yang dialami anaknya sendiri. Ia mungkin takut akan konsekuensi negatif yang akan diterima dari pihak keluarganya.
“Relasi kuasa merupakan salah satu faktor kuat yang memengaruhi korban maupun keluarga untuk menghindari melapor atau menempuh jalur hukum. Seseorang juga sangat mungkin memilih menutupi kasus perkosaan yang dialami dirinya atau orang terdekatnya karena takut disalahkan oleh lingkungan sosialnya,” jelas Dinda.
Oleh sebab itu, perlu pendampingan dan pemeriksaan psikologis lebih lanjut kepada orang terdekat korban untuk mengetahui lebih jelas apa yang membuat mereka memilih untuk menutupi kasus pemerkosaan.
BACA JUGA: Saat Menjadi Korban Kekerasan Seksual, Apa yang harus Dilakukan?
Selain itu, saat mendengar atau mengetahui kasus pemerkosaan—apalagi jika terjadi kepada orang terdekat—sangat mungkin jika kita ikut merasakan emosi-emosi negatif yg dirasakan oleh korban. Terjadinya peristiwa perkosaan pada orang terdekat juga dapat menimbulkan rasa takut atau kecemasan pada diri sendiri karena berpikir pengalaman buruk itu bisa kita alami sendiri.
“Jika orang terdekat kita (seperti pasangan, sahabat, atau keluarga) ada yang menjadi korban pemerkosaan, pahami bahwa mendengarkan atau mengetahui pengalamannya juga dapat berdampak pada kondisi psikologis kita. Jika hal tersebut terjadi, selain membantu mereka, jangan ragu untuk meminta bantuan profesional untuk diri sendiri juga,” pungkas Dinda.