Coba ingat, sebagai orang tua, apakah ucapan-ucapan kita setiap hari sudah membantu anak untuk tumbuh kuat dan berdaya? Jika belum, katakan 7 hal ini!
Mommies ngerasa nggak, sih, kalau kita lebih sering memberi perintah atau instruksi kepada anak-anak, ketimbang mengajaknya berdiskusi atau bertanya tentang apa yang mereka rasakan atau inginkan?
Nak, ayo mandi, makan, lalu sekolah, ya!
Yuk, kerjakan PR-mu biar cepat selesai, yuk..
Waktunya tidur, nak. Gosok gigi, cuci kaki, cuci tangan sekarang, ya.
Hari-hari anak dipenuhi dengan kewajiban, instruksi dan keharusan yang dilakukan sekedar memenuhi “apa kata mama papa”. Bukan dengan kesadaran dan keberdayaan penuh. Lama-lama anak merasa jenuh dengan rutinitasnya. Merasa bahwa berbagai hal dikerjakan bukan atas kehendaknya sendiri. Nggak heran, ujungnya anak jadi tidak taat, membantah atau ogah-ogahan. Anak nggak taat, ortu makin nge-push. Orang tua dan anak sama-sama stres, lalu terjadi power struggle. Situasi ini pasti relatable dengan kebanyakan ibu, (termasuk saya hehehe). Betul, nggak?
Memang, sih, dasar dan alasan di balik segala instruksi itu untuk melatih dan membentuk anak menjadi pribadi yang disiplin, mandiri dan bertanggung jawab. Tapi tanpa sadar, kita nggak lagi sekedar in charge atas diri anak, melainkan in control! Akibatnya anak kerap merasa marah, nggak didengar dan merasa nggak berdaya, karena semua-semua harus nurut orang tua!
Jadi, gimana, sih, caranya agar anak-anak bisa memahami bahwa apa yang orang tua lakukan adalah untuk kebaikan bagi anak?
Barbara Abramson berbagi pengalamannya tentang bagaimana ia mulai merubah cara berkomunikasi dengan anaknya ketika sang anak berusia 10 tahun. Hubungan dengan anaknya jadi lebih baik, dan kini sang anak tumbuh menjadi pria dewasa yang kuat dan berdaya. Dia melakukan ini: bertanya kepada anak ketimbang memberi banyak perintah. Dengarkan anak, dampingi mereka, dan berikan ruang bagi mereka untuk bertumbuh. Bangun hubungan dengan anak dengan cara yang bisa membuat anak tahu bahwa mereka memiliki kekuatan untuk bisa berdaya melakukan segala sesuatu atas kehendaknya sendiri.
“Menurut pendapatmu gimana, nak?”
Kalimat pertanyaan semacam ini dapat memberi mereka ruang untuk berpendapat. Nggak ada paksaan untuk sepaham dengan orang tua yang membuat anak enggan untuk menjawab. Ini juga membangun kepercayaan anak kepada orang tua, bahwa pendapatnya pasti didengar.
“Kira-kira bagaimana caramu untuk mengatasinya?”
Pertanyaan ini bisa mommies lontarkan kepada anak yang sudah duduk di bangku SD ke atas. Mungkin pertanyaan ini terkesan agak berat, ya. Namun, cara ini tetap lebih baik ketimbang mendikte anak tentang apa yang harus dilakukan – yang mana lebih berpotensi untuk bikin anak menolak atau memberontak. Anak jadi punya kesempatan untuk memilih solusi baginya sendiri.
“Kamu sudah mempertimbangkan pilihanmu?”
Menyodorkan beberapa pilihan memberikan anak kesempatan untuk eksplor dan melihat sendiri hasil dari apa yang dia pilih. Kalaupun apa yang dipilih kurang tepat pada akhirnya, itu akan memberi suatu pembelajaran baru baginya.
Baca juga: Walau Terdengar Manis, Sebaiknya Hindari 10 Kalimat Ini ke Anak
“Kamu mau membicarakannya sama mama?”
Lagi-lagi, ini memberi mereka pilihan untuk berbicara karena memang mereka bersedia, bukan dipaksa. Pertanyaan ini bakal membuat anak merasa aman dan nyaman. Anak pun akan lebih terbuka. Namun, jika anak memilih untuk nggak bicara sekarang, biarkan saja. Beri ruang anak untuk menyiapkan dirinya sendiri terbuka pada orang tua, tanpa tuntutan.
“Mama/papa bangga atas usahamu (mengerjakan sesuatau).”
Seringkali pujian sederhana ini lupa kita katakan kepada anak. Padahal, setiap anak ingin tahu bahwa orang tua mereka bangga pada mereka. Ini meningkatkan rasa percaya diri dan memperkuat keterampilan baru dalam mengerjakan sesuatu untuk diri mereka sendiri, serta memampukan mereka untuk membuat pilihan-pilihan yang bijaksana.
“Bagaimana rasanya?”
Setelah mereka berbagi, mommies bisa tanyakan hal ini kepada anak sebagai respon bahwa mommies tertarik dengan apa yang mereka ceritakan. Menanyakan perasaan menunjukkan empati dan keterlibatan orang tua dengan anak. Ini membuat mereka merasa aman, kuat, mandiri dan siap menghadapi kehidupan.
Hempaskan kebiasaan merespon anak dengan “ok” dan “he-eh”. Ini menunjukkan bahwa kita nggak benar-benar hadir dan terhubung dengan anak. Semakin kita membuka ruang bagi mereka untuk mengekspresikan diri, semakin mereka akan berbagi dengan kita.
“Mama/papa di sini jika kamu butuh kami.”
Tak lupa, ingatkan mereka selalu bahwa kita akan selalu ada buat mereka. Ini nggak berarti mereka jadi nggak mandiri. Melainkan, memberikan mereka keyakinan bahwa mereka selalu punya kita sebagai tempat bertanya, berdiskusi, bertukar pikiran, bahkan berkeluh kesah. Hubungan orang tua-anak yang dibangun di atas rasa aman akan membuat anak semakin kuat.
Jadi, mulai sekarang, yuk, moms, stop melontarkan ribuan perintah saklek kepada anak, dan lebih banyak memberi pertanyaan yang bisa merangsang daya pikir anak. Itu akan mengeluarkan kekuatan anak yang kita nggak pernah duga sebelumnya. Niscaya, anak tumbuh kuat dan berdaya. Hubungan kita dengan anakpun akan erat hingga mereka dewasa. Hasilnya, kita bakal bisa melihat mereka memberdayakan anak-anak mereka juga saat mereka dewasa kelak. Diterapkan, ya, moms!
Baca juga: Jangan Anggap Remeh, 6 Ucapan Orang Tua Ini Bisa Menggangu Psikologis Anak!