Walau Terdengar Manis, Sebaiknya Hindari 10 Kalimat Ini ke Anak

Parenting & Kids

Sisca Christina・30 Aug 2021

detail-thumb

Ternyata, kalimat yang sedap didengar, maknanya tak selalu baik. Yuk, lebih selektif memilih kata-kata dan hindari ucapkan kalimat ini ke anak.

Kalau lagi merasa bangga banget sama anak, seringkali kita spontan melontarkan kalimat-kalimat pujian hiperbolis kepada mereka. Sebetulnya wajar, karena terkadang ada momen-momen dimana orang tua takjub melihat perkembangan anak. Sayangnya, kalimat-kalimat manis tersebut tak selalu punya makna yang baik pula, apalagi bila terlalu sering diucapkan. Alih-alih baik untuk anak, malah dapat berdampak negatif pada psikologis anak. Minimal satu dari 10 kalimat ini pasti pernah kita ucapkan kepada anak.

Ini 10 Kalimat Sebaiknya Orang Tua Hindari ke Anak

“Anak mama cantik/ganteng banget.”

Mommies pasti familiar dengan kalimat tersebut. Nggak kita sendiri, nggak kerabat saat bertemu anak kita, seringkali kalimat sapaan yang pertama kali terlontar ialah: “Hai cantik,” atau “Wah ganteng banget pakai baju Spiderman,” atau “Kamu manis banget, deh…” dan seterusnya. Pendeknya, anak dibanjiri dengan pujian terkait fisiknya. Salah? Tidak, jika dan hanya jika nggak berlebihan! Mengutip Detik.com, psikolog anak dan remaja Sutji Sosrowardojo menjelaskan, pujian yang menonjolkan fisik secara berlebihan dapat berdampak negatif pada beberapa anak. Ada anak yang sering disapa dengan sebutan cantik di rumah, ketika di luar, dia merasa menjadi pusat perhatian dan semua orang melihat dirinya cantik. Akibatnya, dia hanya menghargai dirinya dari sisi fisik semata.

“Kamu bidadari kecil mama yang sempurna”

Mungkin orang tua sering mengucapkan ini dalam bahasa Inggris: “Oh, you’re my perfect little angel”. Oke, pertama-tama kita harus kembali ke prinsip bahwa “Sempurna hanyalah milik Tuhan.” Manusia pasti punya kekurangan, termasuk anak kita. Mengumbar kata sempurna bisa membuat anak terlalu percaya diri. Sebaliknya, itu juga dapat membuat mereka cenderung tidak mengambil risiko dan mencoba hal-hal baru karena takut gagal, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Psychological Science.

“Ya ampun, kamu pintar banget, sih, Nak?

Memuji anak ketika berhasil meraih sebuah pencapaian itu lumrah. Namun jika digunakan secara berlebihan, itu mengajarkan anak-anak bahwa mereka bisa bukan karena upaya atau kerja keras. Beberapa anak kemudian akan menghindari situasi yang tidak mereka sukai karena tidak yakin mereka akan berhasil dan khawatir dianggap tidak begitu pintar. Kita bisa ganti kalimat tersebut dengan: “Kamu berhasil meraihnya karena terus berusaha, tetap semangat ya, Nak!”

“Mama dan papa ingin kamu bahagia”

Ketika mengucapkan ini, pastikan maknanya bukan kebahagiaan yang bersifat materiil atau lahiriah semata, ya, mommies. Sebab jika demikian, dalam mewujudkan kebahagiaan tersebut, orang tua jadi cenderung memberikan segala permintaan anak, tak ingin anak bersedih, dan seterusnya. Anak bisa menjadi mudah kecewa ketika menemukan sesuatu yang nggak sesuai dengan keinginannya. Kita bisa juga lho mengajarkan anak untuk berbahagia melalui berbagi, memberi atau menolong.

“You’re the best!

Setiap anak pasti istimewa bagi orang tuanya. Tapi, menganggap anak kita yang terbaik atau lebih baik dari teman-temannya bisa mengarah pada narsisme. Ini bisa berdampak tidak baik dalam kehidupan sosial anak, ketika mereka mulai percaya bahwa dirinya yang terbaik dan menganggap temannya yang lain tidak

“Great job!”

Seringkali anak berhasil menghabiskan makanan, mengerjakan PR dengan benar, membantu menyapu rumah, atau pekerjaan biasa-biasa lainnya dianggap sesuatu yang hebat. Padahal, itu tak lain adalah bagian dari latihan untuk mandiri dan bertanggung jawab. Akhirnya, kata “hebat” kehilangan maknanya. Hadir bagi anak dan benar-benar mengamati perkembangannya lebih bermanfaat untuk membangun kecerdasan anak ketimbang mengulangi kata-kata pujian yang akhirnya bermakna kosong.

“Sini, sini, mama bantu”

Si kecil perlu belajar mengomunikasikan keinginan dan kebutuhan mereka. Ketika orang tua mendahului kebutuhan anak-anak, ini artinya orang tua telah mengambil kesempatan bagi anak-anak untuk belajar dan berlatih meminta bantuan, bahkan mengerjakan pekerjaannya sendiri.

“Nggak apa-apa Nak, nggak usah sedih, ya” atau “Nggak usah takut, ya”

Faktanya, anak-anak boleh banget sedih. Mereka belajar memahami dan mengelola kesedihan ketika bukunya sobek, krayonnya rusak, mainannya hilang, hewan peliharaannya mati, atau bahkan saat merasa nggak berdaya mengerjakan PR! Hal yang perlu kita lakukan sebagai orang tua adalah memvalidasi perasaan mereka dan membantu mereka mengelolanya. Jangan mengabaikan, apalagi membuat mereka menyangkal perasannya.

“Semangat, Nak, kamu pasti bisa dapat 100!”

Memang sih, kedengarannya memberi semangat, tapi di saat yang bersamaan kalimat ini mengandung tuntutan untuk mendapat nilai sempurna. Bukan tak mungkin anak malah jadi tertekan.

“Kamu bisa jadi apapun yang kamu inginkan”

Masalahnya bukan pada mendorong anak memiliki cita-cita besar. Namun, memberi keyakinan bahwa mereka bisa menjadi apa pun yang mereka inginkan, tak selalu bijaksana. Penelitian menunjukkan bahwa mengejar tujuan yang terlalu ambisius bisa berbahaya, efek negatifnya bisa sampai mendorong perilaku tidak etis. Psikolog Erica Reishcher menulis, "Memberitahu anak-anak bahwa mereka dapat melakukan apa saja – apakah didorong oleh imajinasi atau kerja keras – mengaburkan peran penting peluang dalam kesuksesan. Realitanya, tidak setiap anak yang ingin menjadi ahli bedah dapat menjadi ahli bedah, bahkan jika mereka bekerja keras untuk itu.”

Jadi, bukan hanya kalimat-kalimat kasar saja yang harus dihindari untuk diucapkan ke anak. Kalimat-kalimat manis pun, ternyata harus kita saring sebelum diucapkan.

Baca juga: Jangan Anggap Remeh, 6 Ucapan Orang Tua Ini Bisa Menggangu Psikologis Anak!