Sorry, we couldn't find any article matching ''
Adjie Santosoputro: Saya Ingin Bunuh Diri Karena Tumbuh di Rumah dengan Orangtua yang Tidak Rukun
Adjie Santosoputro, Mindfulness Practitioner ternyata pernah bergelut dengan keinginan bunuh diri di fase usia yang berbeda-beda. Apa penyebabnya dan apa yang menyelamatkan dia?
Dalam artikel Selamat dari Percobaan Bunuh Diri, Kania sudah sampai tahap action, Mas Adjie Santosoputro baru ada di fase terpikirkan bunuh diri. Namun hal ini bukan berarti bisa dianggap enteng. Harus ada keinginan besar untuk keluar dari bisikan negatif yang ia dengar berulang kali.
Simak wawancara Mommies Daily, untuk tahu lebih lanjut perjuangan Mas Adjie Santosoputro terbebas dari keinginan bunuh diri, dan akhirnya malah bisa menginspirasi orang lain untuk “kenal” lebih dalam dengan diri sendiri lewat profesinya sebagai Mindfulness Practitioner.
Masalah apa yang paling mendominasi hingga mempunyai keinginan bunuh diri?
Saya sering dihantui kenangan masa kecil dan remaja. Lahir dan bertumbuh di rumah dengan orang tua yang tidak rukun. Secara berkala menjadi saksi pertengkaran, mendengar bentakan, melihat pecahan kaca berserakan diiringi suara teriakan. Tidak ada rasa damai di rumah. Dan karena saya termasuk orang yang peka dalam merasa, dengan hubungan bapak-ibu seperti itu, saya jadi sulit merasa nyaman di rumah.
Karena inilah, saya sedikit banyak bisa ikut merasakan betapa pedihnya perasaan anak-anak yang menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar, apalagi sampai melibatkan tindakan kekerasan. Seiring bertambah usia, rasa pedih itu seperti bola salju, menggelinding cepat, membesar di luar dugaan, dan menyakiti diri saya sendiri.
Kapan tepatnya keinginan bunuh diri muncul?
Keinginan suicide atau terpikir untuk suicide muncul berulang kali di waktu dan usia yang berbeda-beda.
Bagaimana akhirnya bisa selamat dari peristiwa tersebut dan siapa orang pertama yang dihubungi?
Dulu saya berusaha mengalihkan perhatian ketika keinginan bunuh diri itu muncul. Entah dengan menyibukkan diri dengan melakukan hobi, jalan sama teman, termasuk melupakan hal-hal yang negatif. Tapi, mengalihkan perhatian itu sifatnya hanya sementara. Karena keinginan suicide itu muncul lagi, lagi, dan lagi. Bahkan rasanya keinginan itu menguat ketimbang sebelumnya. Yang benar-benar menyelamatkankan saya adalah latihan meditasi.
Saya belajar hanya mengamati dirik saya sendiri, hanya menyadari pikiran, perasaan, dan keinginan itu. Dan ternyata, ketika keinginan itu hanya diamati dan disadari, keinginan itu mereda dan hilang dengan sendirinya.
Baca juga: Kenali Tanda-tanda Anak Ingin Bunuh Diri
Selama proses healing, hal apa yang paling memotivasi untuk tidak mengulangi hal tersebut?
Saya sadar bahwa kita tidak bisa benar-benar mengendalikan pikiran dan keinginan. Termasuk keinginan suicide. Yang paling memotivasi saya adalah, kesadaran bahwa seseorang yang merasa hidupnya begitu menyebalkan, sangat benci dirinya sendiri, ingin bunuh diri, kemungkinan benar-benar pulih dari luka batinnya, kemungkinan tersadar, "bangun", eling, dan mengalami pencerahan malah lebih besar. Kenapa?
Karena niat dan tekadnya untuk keluar dari situasi menderita itu jadi lebih kuat, ketimbang orang pada umumnya. Sederhananya, seperti orang yang selalu bermimpi indah, asalkan indah dan bikin gembira, dia nggak peduli kalau itu hanya sebatas mimpi, ilusi. Namun, ketika bermimpi buruk, nggak bisa lagi menikmati mimpinya, maka dia ingin sekali bangun dan tersadar dari mimpi itu. Setiap mimpi buruk, pengalaman yang membuat kita meneteskan air mata, adalah guru yang mengajarkan kita perihal sebenar-benarnya ikhlas dan bahagia.
Siapa sosok paling berjasa yang membuat Anda mampu melalui ini semua?
Saya bukanlah orang yang terbiasa berkeluh kesah, tapi beberapa orang ini membuat saya merasa punya teman dan tidak sendirian: ibu, istriku, keluarga, Abdi Hening (teman-teman yang pernah ikut belajar emotional healing bareng saya), Lentera Djiewa (teman-teman yang gemar baca tulisan-tulisan saya dan menghargai karya saya), yang mereka lakukan sederhana: mengingatkan bahwa saya tidak sendirian.
Untuk orang yang pernah ingin bunuh diri, apa yang sebenarnya dibutuhkan dari orang lain?
Orang-orang yang bersedia mendengarkan saya, tanpa menghakimi, yang mampu memberikan rasa bahwa saya tidak sendirian. Tidak tergesa-gesa memberikan nasihat yang bertubi-tubi.
Pelajaran berharga apa dari peristiwa tersebut yang bisa diambil?
Sebagian penyebab keinginan bunuh diri saya adalah, karena kenangan masa kecil yang buruk. Tapi kalau masa kecil saya sangat manis, kalau saya tidak mengalami ini, saya tidak akan menjadi saya yang sekarang. Saya tidak akan menuliskan ini. Kalau di dalam diri saya tidak muncul keinginan untuk bunuh diri, maka saya hanya akan terus hidup di alam mimpi, ilusi, dan nggak bangun dari mimpi.
Kejadian yang begitu pahit, layaknya mimpi buruk. Kalau mimpi buruk membangunkan diri kita dari lelapnya tidur. Kalau kejadian yang begitu pahit, akan membangunkan kesadaran kita untuk mulai menengok ke dalam diri. Mulai bertanya ke diri sendiri, "Apa yang perlu saya ikhlaskan? Harapan apa yang selama ini mengekang, dan perlu saya kendurkan?" Pengalaman seperti ini merupakan sebuah undangan agar kita berhenti melawan kenyataan. Sekaligus agar kita semakin menerima diri apa adanya. Ternyata, kita ini nggak sejelek yang kita kira. Dengan lebih menerima diri sendiri, kita akan lebih berbahagia.
Saya sangat bersyukur, memiliki cerita hidup yang membuat jatuh tersungkur. Kenapa? Karena dengan jatuh tersungkur, ego yang saya punya, diberi kesempatan untuk pecah. Dengan benar-benar jatuh tersungkur terpuruk ke dasar terdalam, maka satu-satunya pilihan adalah beranjak ke atas, yaitu terbang. Hidup saya jadi tak sama lagi, langkah saya jadi lebih ringan.
Images: IG @adjiesantosoputro
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS