Sorry, we couldn't find any article matching ''
Cara Mengatasi Emosi Anak Sesuai Usia
Mengatasi emosi anak memang tidak mudah. Kalau sumbu lagi panjang, kita bisa saja sabar, tapi, kok, rasanya lebih mudah pakai urat, ya? Harusnya, bagaimana?
Menghadapi emosi anak, ya balita, ya remaja, pasti paham, dong, gimana rasanya. Pinginnya, sih, bisa panjang sabar ala Mommy Jen (Jennifer Bachdim) --hahaha, kok, sering banget, saya bawa-bawa nama dia--, karena memang dia panutan, sih, nggak pernah marahin anak-anaknya. Tapi, sebenarnya, bisa nggak, sih, kita sepanjang itu sabarnya? Bisa, kalau kita selalu menerapkan conscious parenting. Selain itu, pelajari cara mengatasi emosi anak sesuai dengan usianya.
Baca juga: Berkenalan dengan Conscious Parenting
Usia 2-3 tahun
Perkembangan emosi: Sudah mampu menjelaskan perasaannya lewat kata-kata, masih sering tantrum, senang melihat reaksi orang lain, termasuk melihat kita marah, dan belum bisa memahami emosi abstrak.
Saran dari banyak psikolog, yang paling utama adalah orangtua wajib memvalidasi perasaan anak. Kemampuan mengenal berbagai perasaan adalah hal yang patut anak miliki. Ia perlu paham bahwa ia punya hak untuk marah, ia boleh bersedih dan menangis, sama halnya dengan ia boleh tertawa saat merasa bahagia. Menghadapi anak tantrum dengan kesabaran memang mustahil, tetapi menjaga emosi kita di hadapan anak dan menghadapinya dengan kesadaran penuh tidaklah mustahil untuk dilakukan.
Baca juga: Ketimbang Menghukum, Terapkan 5 Jenis Konsekuensi yang Mendidik Saat Anak Melakukan Pelanggaran
Usia 4-5 tahun
Perkembangan emosi: Mulai mandiri, tegas menyatakan keinginannya, bisa mengontrol emosi, bisa bicara sama diri sendiri sebagai cara untuk mengontrol perilakunya, dan sudah paham akan konsekuensi dari tindakannya.
Di usia ini, sangat mungkin untuk menerapkan aturan rumah serta konsekuensi bila aturan tersebut dilanggar. Namun, sebaiknya aturan tersebut dibuat berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, yakni anak dan orangtua. Sehingga, akan lebih mudah menyelesaikan masalah ketika kita mendapati anak melanggar aturan yang dibuat. Ingat, ya, kita sendiri juga patut mengikuti aturan yang dibuat bersama.
Usia 6-8 tahun
Perkembangan emosi: Sudah nyaman ketika berpisah dengan orangtua, seringkali merasa malu ketika harus sayang-sayangan dengan orangtua di depan teman-temannya, bisa menjelaskan pendapat, pengalaman dan perasaannya, sudah bisa lebih taat aturan, menunjukkan peduli, dan sudah bisa merasa sungkan.
Butuh ketenangan saat berbicara dengan anak di usia ini, khususnya ketika ia meluapkan emosinya dengan perilaku yang tidak baik. Selain itu, perlu memilih waktu yang tepat untuk mengutarakannya. Misalnya, langsung ketika anak kedapatan mengumpat di hadapan Anda. Saat ia ketangkap berbicara yang tidak sopan, hindari langsung memarahinya dengan bilang kalau hal itu nggak sopan, melainkan jelaskan efek dari kata-katanya tersebut, “Mama sedih, lho, kalau dengar kamu ngomong begitu ke Mama, atau ke orang lain!”
Usia 9-15 tahun
Perkembangan emosi: Moody, sensitif, self-conscious, impulsif dan labil.
Ingat Riley di film Inside Out? Khususnya, adegan saat makan malam bersama ibu dan ayahnya, Riley di situ kesal sekali lantaran suasana di tempat yang baru jauh dari ekspektasinya selama ini. Di situ, digambarkan Riley mulai bisa berontak ke orangtuanya. Relate, ya?
Dari Psychologytoday.com, disebutkan bahwa remaja memang cenderung mudah memancing reaksi negatif orangtua. Namun, semakin kita menunjukkan power kita dengan merespons melalui amarah, justru anak akan semakin terpancing untuk menunjukkan perlawanannya. Sebelum memberikan masukan apapun, tanyakan pada anak apakah ia bersedia mendengarnya. Jika tidak, ya sudah, tetaplah di sana untuk mendengarkan.
Tidak ada salahnya juga, lho, Mommies, untuk menyampaikan kekhawatiran akan perilaku anak pada psikolog, bila hal ini dapat membantu Mommies untuk bisa lebih memahami anak. Semangat, ya!
Share Article
COMMENTS