Sorry, we couldn't find any article matching ''
Bystander: Menjadi Saksi Pelecehan Seksual, Apa yang Bisa Dilakukan?
Sebagai saksi pelecehan seksual, kita bisa turut mencegah terjadinya kejahatan seperti kekerasan seksual jika peristiwa itu terjadi di depan mata kita.
Seorang perempuan muda hendak menyeberang jalan, ia menunggu kesempatan kosongnya kendaraan. Tiba-tiba dari arah kanan dua orang pria berboncengan motor menuju ke arahnya. Pria yang di belakang menyentuhkan tangannya ke payudara si perempuan, lalu motor mereka melaju cepat. Perempuan itu diam membisu, tak sedikit pun berteriak. Saya yang melihat kejadian tersebut dari kejauhan, sama bekunya. Semua terjadi dalam hitungan detik.
Orang seperti saya dalam ranah hukum bisa disebut sebagai bystander atau saksi pelecehan seksual. Orang yang hadir dan menyaksikan ketika suatu peristiwa terjadi tetapi tidak terlibat secara langsung. Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi pada tahun 2020 yakni sekitar 7.191 kasus. Sementara pada 2020, jumlah kasus kekerasan pada anak dan perempuan mencapai 11.637 kasus.
Mengingat masih tingginya kasus, sudah menjadi tugas setiap orang untuk ikut menjaga keselamatan satu sama lain. Kita bisa berperan, antara lain, dengan cara-cara sebagai berikut:
Kritis pada humor seksis
Kekerasan seksual dimulai dari pembiaran terhadap lelucon-lelucon yang merendahkan dan melecehkan. Niatnya humor, tapi tujuannya merendahkan, menghina, memberikan stereotip, memperdaya, dan menjadikan individu sebagai objek berdasarkan gender mereka. Humor seksis juga termasuk humor penghinaan, atau disparagement humor artinya merendahkan beberapa kelompok sosial. Jika mendengar teman melontarkan humor-humor seksis semacam itu, perlu diingatkan agar ia menyadari apa yang dilakukannya tidak tepat.
Pasang ‘antena’
Miliki kepekaan, kewaspadaan, dan kepedulian jika melihat situasi yang tidak beres. Butuh kemampuan membaca gelagat dan gerak-gerik seseorang yang punya niat buruk terhadap orang lain. Tidak semua orang punya kemampuan ini. Terlebih di masa sekarang, setiap orang melakukan mobilitasnya dengan bergegas dan kedua telinga tertutup earphone Bluetooth dengan handphone di tangan yang bolak-balik dicek, tidak lagi punya waktu untuk melihat orang yang sekiranya perlu pertolongan.
Lakukan intervensi
Kunci untuk menjaga korban (atau calon korban) tetap aman adalah belajar bagaimana mengintervensi dengan cara yang sesuai dengan situasi dan tingkat kenyamanan Anda. Hindari perlawanan frontal yang bisa membahayakan keselamatan. Menurut situs RAINN (Rape, Abuse & Incest National Network), Anda bisa mengintervensi dengan membuat distraksi. Pengalih perhatian dapat memberi orang yang berisiko kesempatan untuk pergi ke tempat yang aman. Cara merespons situasi yang mengarah ke serangan kekerasan seksual juga bisa dipelajari di situs-situs internet, ada baiknya membekali diri dengan pengetahuan ini.
Melaporkan
Siapa pun yang menyaksikan atau mengetahui kemungkinan terjadinya pelecehan seksual ada baiknya segera melaporkan kepada yang berwenang. Jika pelecehan terjadi di tempat kerja, laporkan kepada atasan yang bertanggungjawab. Anda bisa melaporkan ke kantor polisi terdekat. Bisa juga ke instansi seperti Komnas Perempuan, Kementrian Hukum dan HAM, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Sekarang juga sudah ada Platform Cloud Contact Center untuk penanganan atas kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan untuk memudahkan pelaporan.
Baca juga: Langkah Hukum Jika Menjadi Korban Pelecehan Seksual
Mendampingi
Tidak semua korban tahu apa yang harus dilakukan saat mengalami kasus kekerasan maupun pelecehan seksual. Sebagai saksi, Anda bisa berperan dengan menemani korban. Minta ia menenangkan diri, menyiapkan bukti-bukti, dan tawarkan untuk mendampingi korban melakukan visum ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan. Visum sangat penting untuk memproses pelaku secara hukum.
Baca juga: Agar Anak Laki-laki Berani Speak Up Jika Mengalami Pelecehan
Sayangnya, tidak semua orang ‘berdaya’ dan paham perannya sebagai saksi saat melihat suatu kejadian. Beberapa alasan umum, meliputi:
"Aku tidak tahu harus berbuat apa atau berkata apa."
"Aku tidak ingin membuat keributan."
"Itu bukan urusanku."
"Aku tidak ingin temanku marah padaku."
"Ah, sudah ada orang lain yang bantu ini."
“Aku tidak mau berurusan dengan polisi.”
Dan sebagainya.
Punya pemikiran seperti itu tentu sah-sah saja. Semua kembali ke diri kita sendiri, saat kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan bisa berdampak besar untuk membuat dunia menjadi lebih aman bagi seluruh perempuan, masihkah kita menutup mata?
Photo by Airam Dato-on on Unsplash
Share Article
COMMENTS