Kita punya hak untuk mendapatkan drama yang bergizi dan menaikkan derajat selera kita, di televisi nasional kita.
Setelah sekian lama tidak nonton sinetron, akhirnya gatal juga untuk ikutan mengintip sinetron Suara Hati Istri – Zahra yang sedang ramai diomongin. “Ooh, ini Zahra!” Sinetron yang baru 12 episode ini menjadi sorotan karena banyak pihak yang mengecam. Hukum pasar, semakin sensasional suatu tayangan, ratingnya justru semakin naik. Sinetron ini pun kabarnya menduduki peringkat 5 rating pemirsa, artinya mereka yang menyukai cerita semacam ini juga tidak sedikit. Kenapa selera kita semakin rendah?
Zahra, dalam cerita ini digambarkan sebagai gadis yang baru lulus SMA. Ia dipaksa menikah dengan Tirta (39 tahun), karena keluarganya terbelit utang. Tirta mengenal Zahra sebagai pacar anaknya, tapi kemudian dia sendiri jatuh cinta pada Zahra. Walaupun sudah memiliki dua istri, ia memperistri Zahra sebagai istri ketiga. Zahra tidak punya pilihan selain menuruti kemauan orangtuanya.
Potret anak di bawah umur yang dipaksa menikah karena kondisi ekonomi, seperti Zahra, banyak terjadi di masyarakat kita. Pun juga dengan poligami. Di satu sisi, masyarakat kita mengecam perselingkuhan, di sisi lain, poligami lebih diterima karena dalih agama, dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Di satu sisi, pernikahan di bawah umur dikecam, di sisi lain, materialisme dijadikan kiblat. Secara sosial, untuk menjadi kelas yang dihormati harus kaya, apa pun caranya, meski harus ‘menjual’ anak sendiri.
Baca juga: Saat Anak-anak dari Ayah yang Poligami Angkat Suara
Paling kencang suaranya saat melihat dosa orang lain, tapi saat diterapkan untuk diri sendiri? Eits, nanti dulu. Kalau melihat orang lain mau jadi istri kedua, kita bisa julid sejulid-julidnya, tapi coba seandainya kita yang diiming-imingi status dan harta dengan gampang, dengan syarat mau jadi istri kedua? Hemm…sounds tempting. Artinya, moralitas ibarat karet yang bisa ditarik ulur sesuka hati. Melihat orang korupsi? Benci. Tapi, jika dia terlihat baik dan dermawan, dimaafkan dan dipuja karena hartanya.
Ada yang salah dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat kita. Apa yang tampak dalam Sinetron Zahra itu semakin meyakinkan bahwa realita di masyarakatnya sendiri sudah sakit. Pemeran Zahra yang baru berusia 15 tahun, sudahlah berperan sebagai istri ketiga, mesti memerankan banyak adegan di kamar. Duh (tepok jidat!). Lebih sakit lagi, setelah tahu bahwa tayangan (sampah) itu ternyata malah disukai. Dianggap sebagai romance yang bikin baper, sebaper drakor berepisode-episode. Drama layar kaca memang sebuah katarsis, pelarian dari tekanan hidup yang kian berat.
Di drakor, tak ada poligami, Zahra ‘hanyalah’ sentuhan lokal dari kisah cinta yang dibuat mengikat emosi ala drakor. Situasi benci lalu lama-lama tumbuh cinta, sebel-sebel ngangenin, hidup dalam tekanan dan penuh prasangka dari orang lain jadi bunga-bunga yang menguatkan cinta dua insan, formula romance yang diharapkan produser akan disukai penonton. Tapi formula ini sangat tidak senonoh dalam relasi Zahra – Tirta, yang lebih mirip anak dan bapak.
Baca juga: Hai Orang tua, Ini 15 Alasan Pernikahan di Bawah Umur Jangan Dilakukan
Apa yang salah dengan sinetron Zahra? Tidak ada yang salah dengan fiksi yang mencoba mengangkat realita dalam masyarakat. Tidak gampang mengubah masyarakat yang sudah sakit ini. Begitu juga, mengedukasi selera masyarakat, untuk tidak menonton tayangan yang buruk. Akan tetapi, pihak televisi sebagai media, punya tanggung jawab besar untuk tidak memperparah penyakit masyarakat hanya demi rating semata. Masih ada cara lain mencari rating dengan lebih bermartabat.
Penyakit masyarakat itu kalau saya ibaratkan sebagai sampah dapur di rumah, kotor dan bau. Kalau sampah dibuang begitu saja, akan tetap menjadi sampah, busuk dan bikin penyakit. Realita sosial kalau diangkat sebagai fiksi mentah-mentah, dengan eksekusi yang buruk, skrip yang isinya penuh cerita menabrak logika dan menghina nalar kita- menjadi karya yang busuk.
Akan tetapi, sampah bisa menjadi sesuatu yang berfaedah jika diolah dengan tepat. Taruh ke dalam komposter, berikan campuran akselerator, lalu fermentasikan, sehingga ia menjadi punya nilai guna tinggi. Produser di sini berperan sebagai akselerator, dia harus mampu memberikan added value, proses fermentasi adalah proses penggodokan kreatif. Realita sosial -sebusuk apa pun- jika ditulis dan dieksekusi dengan serius, mampu menjadi sebuah tontonan yang menarik dan bergizi.
Mungkin terlalu jauh kalau saya mengambil perbandingan dengan serial The Handmaid’s Tale. Tapi ini sebuah contoh yang menarik dan memberi harapan bahwa kita pun mampu melakukannya. Tayangan ini juga mengangkat kebobrokan moral di negeri dystopia, di dalamnya mengandung kisah pemerkosaan, kekerasan terhadap perempuan, pernikahan dini, merendahkan martabat perempuan, namun menjadi sebuah karya yang sangat memikat. Masterpiece. Brutally beautiful!
Apa yang bisa kita lakukan? Meski, saya yakin para pembaca di sini juga bukan segmen penonton Zahra, produser dan TV yang nakal model begini memang perlu dijulidin, dijewer, biar kapok. Sebab, kita punya power dengan suara kita untuk memprotes kebusukan yang dipertontonkan pada kita. Minimal, ikut mengecam. Tidak sampai ikut-ikutan kepo, lalu tanpa sadar selera kita kebawa rusak. Kita punya hak untuk mendapatkan drama yang bergizi dan menaikkan derajat selera kita, di televisi nasional kita.
Photo by Sven Scheuermeier on Unsplash