Jika sekolah online berlanjut, saya ingin menyumbang saran untuk para guru tentang harapan dari kacamata orangtua awam, bagaimana berbenah dalam membawakan pembelajaran online yang lebih optimal.
Setelah setahun lebih anak menjalani persekolahan online, sebagai orangtua, saya turut mengamati dinamika bagaimana sekolah-sekolah melangsungkan pembelajaran online. Tidak bermaksud julid, tapi jujur, ada banyak yang dikeluhkan anak. Seringnya miskomunikasi, masalah teknis gara-gara sinyal, mindset yang belum berubah, kebetean guru dibawa di sesi online, ketidakjelasan SOP digital, kegagapan guru dalam menyiapkan materi, dan banyak lagi.
Di antara wacana hybrid learning, back to normal, atau entah ketidakpastian apalagi nantinya, saya ingin turut menyumbangkan saran untuk para guru tentang harapan saya -dari kacamata orangtua yang awam- bagaimana sebaiknya berbenah dalam membawakan pembelajaran online yang lebih optimal.
Kreativitas
Skill ini mutlak dimiliki guru di era online. Sekarang sudah tidak relevan lagi menuntut tingkat kehadiran dan agar siswa fokus menyimak dengan cara mengancam atau iming-iming nilai, ngomel atau ceramah panjang lebar agar siswa memperhatikan pelajaran, memaksa aktifkan video, anak harus duduk diam di depan layar. Jika ingin apa yang disampaikan didengar oleh siswa, berikan materi yang menarik sehingga siswa mau hadir karena ketertarikan dan keinginan untuk belajar.
Interaktif
Dalam kelas online, penyampaian secara monolog akan membuat siswa yang rentang fokusnya pendek, menjadi mudah bosan. Guru perlu memiliki kemampuan berdialog secara interaktif. Untuk itu, perlu ditunjang oleh ilmu public speaking dan psikologi. Itu juga yang membedakan antara sesi belajar bersama guru dengan belajar dari Youtube. Sebab, di era online, kalau sekadar mencari referensi belajar, di Youtube juga melimpah. Guru harus memberikan nilai lebih yang bisa didapatkan dibanding anak belajar dari Youtube.
Dialektika Sokrates
Di luar negeri, ada beberapa cerita tentang guru yang menerapkan dialektika Sokrates di sesi online. Istilahnya Remote Socratic Seminars, yang sudah mulai diadopsi di tingkat SMP dan SMA. Sesi pembelajaran ini menekankan bagaimana merangsang proses berpikir siswa dengan lebih banyak berdiskusi. Metodologi yang dipopulerkan oleh filsuf Yunani Sokrates ini membutuhkan skill untuk memancing, memantik, membuat pertanyaan-pertanyaan, memeriksa suatu pendapat secara logis, seringkali dengan metode tanya jawab, untuk menentukan validitas suatu pendapat atau ide. Menurut Sokrates, memancing pertanyaan adalah kekuatan pendorong dalam berpikir.
Memahami kebutuhan dan potensi individual
Salah satu kesalahan terbesar sekolah adalah generalisasi. Semua siswa dianggap punya kemampuan dan kepribadian sama, sehingga semua dituntut untuk punya pemahaman dan pencapaian yang sama. Kenyataannya tidak, bukan? Ada anak yang daya tangkapnya lebih lambat, bukan karena tidak pintar. Kalau sekadar mengajar sebagai sebuah proses transfer pengetahuan, rasanya itu bisa digantikan oleh buku, Youtube, dan aplikasi pendidikan digital. Di sinilah pentingnya peran guru, yakni sisi manusia, peran mengenali potensi kecerdasan siswa masing-masing, termasuk kekurangan dan kelemahannya, lalu mencari solusi pendekatan yang terbaik untuk setiap individu.
BACA JUGA: PERKEMBANGAN PSIKOLOGI ANAK USIA SEKOLAH
Skill membuat sistem yang rapi
Ada yang suka mepet-mepet kasih tugas ke siswa, dengan deadline yang mepet pula, lalu keesokannya revisi tugas alias plin plan. Di era online ini, tugas guru pasti banyak sekali, termasuk menyusun sendiri kurikulum, modul, tugas, memeriksa tugas, sampai memproduksi video sebagai konten belajar untuk siswa. Mendadak Youtuber. Terbayang repotnya. Guru selama ini tidak pernah jadi content creator. Saran saya, jika tidak punya cukup waktu, lupakan membuat video konten sendiri, sebab di internet sudah banyak sekali sumber belajar dalam media video yang bagus kualitasnya. Alangkah lebih baik jika guru bisa menyusun prioritas, mana yang dianggap penting. Untuk konten, tidak perlu gengsi merekomendasikan anak ke konten-konten video belajar yang bagus.
Menyusun kurikulum yang relevan
Mendikbud sudah memberi lampu hijau agar guru berkreasi menyusun kurikulum sendiri -yang dianggap sebagai kurikulum darurat- yang difokuskan pada materi yang dianggap sebagai fondasi ke jenjang kompetensi berikutnya. Tidak perlu terpaku pada banyaknya materi yang harus diselesaikan. Guru bisa bekerja sama dengan orangtua untuk menyusun panduan belajar buat anak, tanpa harus melabeli embel-embel tugas yang harus diselesaikan siswa. Dalam pembelajaran online selama ini, kesannya bukan lagi transfer of knowledge, tapi transfer of tasks, guru hanya melemparkan sekian tugas, sementara anak tidak diarahkan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih bermakna.
BACA JUGA: MENGUBAH CARA PANDANG ORANG TUA MENGENAI MATEMATIKA
Itulah beberapa soft skill yang menurut saya penting dikuasai oleh guru, termasuk para orangtua, sebagai guru di rumah. Adapun kemampuan mengoperasikan platform digital yang digunakan, seperti, Zoom, Google Meet, Microsoft Teams, Google Classroom, atau apa pun itu lebih ke kemampuan teknis, atau kalau perlu delegasikan pada siswa untuk mengoperasikan platform digital yang digunakan. Mereka akan jauh lebih luwes.
Photo by Van Tay Media on Unsplash