Sorry, we couldn't find any article matching ''
Dessy Ilsanty: Kesejahteraan Diri Sendiri Perlu Diperhatikan, Bukan Artinya Kita Egois!
Begini keseharian Dessy Ilsanty sebagai ibu, psikolog dan istri dari aktor Adrian Maulana.
Awalnya Dessy Ilsanty (44) lebih dikenal sebagai seorang presenter. Ketika menikah dengan suaminya yang selama ini dikenal sebagai aktor dan praktisi investasi, Adrian Maulana (43), ia melanjutkan sekolah untuk mendalami ilmu psikologi dan kini aktif sebagai seorang psikolog. Berikut cerita keseharian dan tips dari Dessy Ilsanty sebagai seorang yang aktif bekerja dan ibu dari Sharla Martiza (18) dan Sheza Medina (6).
Apa kesibukan Mbak Dessy sekarang ini?
Kesibukan saya saat ini masih seperti dulu, praktek sebagai psikolog, bedanya setelah setahun ini lebih banyak online atau video conference. Saya juga sekarang lebih banyak menjadi nara sumber webinar maupun talkshow, dan tentu jadi ibu rumah tangga.
Me Time andalan kalau diri sendiri sedang merasa penat?
Me time saya nonton film, kalau lagi ada waktu atau, ya, saya yang menyediakan waktu untuk menikmati film, dari komedi, kartun, drama, sampai action, kecuali horor. Nonton film itu bukan hanya cari hiburan tapi saya suka dengan makna kehidupan yang diceritakan dari sebuah film dan mengambil hikmahnya. Selain nonton, saya juga suka baca buku dan ngobrol sama teman.
Dalam rangka bulan kesehatan mental, bolehkah share tips supaya sebagai ibu, kita nggak mudah mengalami burnout?
Seringkali kita merasa harus melakukan segala sesuatu untuk suami dan anak, akibatnya si ibu lupa dirinya sendiri harus diperhatikan. Sementara begitu kita sakit, bagaimana kita bisa merawat anggota keluarga lain? Oleh karena itu, selalu usahakan untuk ingat kondisi kita sendiri. Kalau lagi capek, lagi pingin santai, nggak bisa nyapu, nggak bisa masak, kita harus komunikasikan dengan baik dengan anggota keluarga, jelaskan, “Bunda lagi nggak enak badan, nih, nanti pesan makanan saja ya, Bunda mau tidur dulu.” Tidak perlu merasa bersalah atau menganggap diri sendiri egois. Kita merawat diri sendiri juga bagian dari merawat anggota keluarga lain. Ibarat gadget, perlu di-charge. Kesejahteraan diri sendiri perlu diperhatikan, bukan hal yang egois, kok.
Menurut Mba, bagaimanakah pertengkaran yang sehat antara pasangan suami dan istri?
Konflik adalah wajar dan tidak harus dihindari, justru harus dipertanyakan bila pasangan suami istri tidak pernah mengalami konflik sama sekali. Namun, ketika ada konfilk, jangan langsung mengklaim bahwa “kita nggak cocok”. Pertengkaran sehat adalah ketika terjadi konflik, kita bisa menemukan solusi dari kebutuhan dan harapan yang belum ditemukan antara pasangan. Proses menemukan inilah yang membuat kita mengenal pasangan dan juga diri sendiri lebih baik lagi. Kuncinya, ingat bahwa bertengkar bukanlah saat untuk saling menyakiti, jangan sampai ada kata-kata kita yang menyinggung pasangan. Caranya dengan komunikasi asertif, menyampaikan yang kita inginkan tanpa menuntut maupun menuduh.
Menurut Mba, sebagai ibu dari 2 anak, perlukah spend quality time dengan masing-masing anak? Bagaimana caranya?
Bila memungkinkan, spend time-lah dengan masing-masing anak, karena setiap anak itu berbeda. Anak yang kembar identik pun karakternya berbeda. Termasuk juga dengan pola asuh yang kita terapkan, sebisa mungkin sesuaikan dengan karakter masing-masing anak. Bukan artinya setiap anak selalu harus diperlakukan berbeda, sama pun tidak masalah, asalkan kita bisa menyesuaikannya dengan cara belajar mereka. Dengan begitu kita akan bisa mengakomodir mereka. Quality time dengan masing-masing anak membantu kita melihat keunikan mereka. Hal ini memang tidak mutlak, tetapi sangat baik untuk dilakukan.
Dukungan seperti apa yang Mbak dapatkan selama ini dari suami dan anak-anak, khususnya dalam menjalani peran sebagai working mom?
Dukungan sesimpel mengizinkan saya untuk keluar rumah, berkegiatan dan bekerja. Artinya, ia mendukung upaya saya untuk mengasah potensi diri. Waktu awal menikah, saya masih menjadi presenter. Saya kemudian meminta izin dan ridho suami untuk sekolah lagi, mengambil profesi psikolog. Saat itu suami saya mengizinkan, yang penting tidak mengganggu peran dan tanggung jawab saya sebagai seorang ibu. Dengan kegiatan kuliah dari pagi sampai sore, tugas dan segala macam selama 2 tahun, suami saya full support dalam pembagian tugas mengasuh anak, bahkan sampai sekarang saat saya harus menjalani praktek. Buat saya, di sini saya melakukan sesuatu yang insyaallah bermanfaat buat orang lain. Saya tetap ingat batasannya, tidak semua tawaran pekerjaan harus selalu diambil.
Tips supaya orang yakin untuk mengunjungi psikolog, terutama mereka yang memang membutuhkan bantuan ahli dalam mengatasi masalahnya?
Memang masih menjadi tantangan buat kami, karena masyarakat di sini masih menganggap tabu untuk ke psikolog. Konotasinya kalau ke psikolog tuh gila, orang cenderung malu mengakui bahwa dirinya punya masalah. Padahal manusia tidak lepas dari yang namanya masalah, kalau bisa diselesaikan sendiri dan internal dengan keluarga, memang lebih baik. Tetapi bila dirasa sudah berat dan butuh bantuan orang lain (tenaga ahli dalam hal ini), adalah lumrah. Fisik yang terasa capek itu wajar, psikis pun demikian. Ke psikolog itu nggak ngapa-ngapain kok, cuma ngobrol aja. Obrolin aja apa yang kamu pikirkan. Kalau memang nggak ingin ketahuan orang lain, dari kami juga ada yang namanya kode etik untuk merahasiakan identitas klien. Karena sekadar cerita saja sudah menjadi bagian dari proses healing atau menyayangi diri sendiri.
Baca juga:
Menangis Itu Penting Demi Kesehatan Mental
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS