Hal-hal sensitif yang sebaiknya tidak diucapkan di hadapan anak laki-laki.
Secara gender, anak lelaki punya ‘standar’ perlakuan yang berbeda dengan anak perempuan. Saat anak tumbuh remaja, kepribadiannya sudah makin terlihat. Cara kita berkomunikasi dengannya juga perlu diperhatikan. Faktor pemilihan bahasa dan kata-kata ini seringkali turut menentukan tingkat kebaperannya. Ada hal-hal yang sebaiknya tak perlu kita ucapkan, demi menghindari pertengkaran dengan si remaja lelaki. Apa sajakah itu?
“Coba kalau ibu punya anak perempuan…!”
Anak perempuan umumnya lebih hands on, bisa diandalkan untuk bantu-bantu memasak, bersih-bersih rumah, dan chores domestik lainnya. Anak lelaki juga bisa, sih. Tapi dengan effort yang harus lebih ekstra dan hasil kerja yang…yah bisa dibilang, dia mau mengerjakan saja sudah syukur. Kalau sedang capek dengan pekerjaan domestik yang tidak habis-habis, kadang tanpa sengaja terlontar kata-kata ini.
“Bukan begitu caranya. Gini, lho!”
Saat kita tidak tahan melihat anak melakukan kesalahan, mengerjakan sesuatu dengan asal-asalan, spontan kalimat ini langsung meluncur. Anak lelaki saya tidak suka cara berbicara yang terkesan menggurui dan micromanaging. Walaupun sebetulnya si bocah tetap perlu arahan mendetail, tetapi dengan gaya bahasa seperti di atas, bisa membuatnya tersinggung. Bisa jadi egonya tersentuh dan ia lebih senang diberi ruang gerak untuk melakukan suatu pekerjaan dengan caranya sendiri.
“Kamu kayak cewek aja!”
Coba diingat-ingat situasi apa yang membuat Anda pernah melontarkan kata-kata ini. Contohnya, bisa karena hobi anak yang dianggap masuk ranah feminin (suka menari, misalnya), jalannya sedikit gemulai, tutur katanya lemah lembut, suka warna pink, atau….teriak-teriak kalau ketemu kecoa! Cukup dalam hati saja komentar ini, tidak perlu diulang-ulang disampaikan di depan anak.
Tonton: 5 Hal yang Wajib Dimiliki Anak Tangguh
“Gitu aja kok mewek!”
Anak laki-laki perlu tahu bahwa sah-sah saja mengekspresikan emosinya, entah itu kemarahan, kesedihan, kekecewaan, kesakitan, atau apa pun, dengan menangis. Biarkan mereka mengungkapkan emosinya sampai tuntas, tanpa perlu kita bungkam dengan mengatakan, “Sudah, sudah, stop nangisnya!” atau misal dengan menyindir mereka, “Gitu aja kok mewek!” Apa yang menurut Anda bukan masalah besar, bisa jadi buat anak lain. Beberapa anak lelaki punya bawaan lebih sensitif dan peka perasaannya dibanding anak lelaki lain. Meski ia sudah anak besar, tetap berikan validasi emosi, agar mereka menangkap bahwa kita memahami emosinya.
“Kayak ayahmu aja!
Hindari mengatakan hal ini untuk perilaku atau sifat-sifat anak yang berkonotasi negatif, yang memiliki kemiripan dengan ayahnya. Anak akan menangkap bahwa kita tidak punya respek pada ayahnya. Perlu dicari ‘bahasa’ lain yang lebih positif.
“Dasar bocah gendut!”
Segala rupa ucapan yang mengarah ke body shaming, sebaiknya dihindari. Entah itu kita mengatakan ke anak kalau dia gendut, kerempeng, jangkung, pendek, dan sebagainya. Di luar sana, dia pasti sudah sering mendengar ledekan semacam itu, tidak perlu diperparah dengan label dari kita, orang tuanya. Justru, kita sebagai orang tua perlu membangun dan mengembalikan rasa percaya diri anak pada tubuhnya.
“Awas ya kalau nggak nurut, nanti…!”
Beri tahu anak alasan di balik aturan Anda. Mendisiplinkan anak dengan membuat mereka takut dan lewat ultimatum, hanya akan menyakiti sisi emosional. Lantas, apabila ancaman itu hanyalah gertakan kosong, anak juga tidak akan belajar untuk patuh.
“Jangan bilang nanti, nanti!”
Hal yang paling bikin kesal salah satunya adalah ketika anak suka menunda-nunda melakukan apa yang diperintahkan. Kata anak saya, “ibu tahu sendiri, kan, aku lagi sibuk, banyak tugas sekolah,” alasannya. Masukan dari anak saya, orang tua harus paham kondisi anak, apakah ia sedang dalam kondisi siap menerima perintah. Kalau anak menunda, tidak selalu karena ia malas, mungkin ia perlu dibantu mengatur skala prioritas, pekerjaan yang mana dulu nih yang harus diselesaikan, alih-alih langsung diomelin karena tidak langsung melakukan apa yang diperintahkan.
“Jangan protes kalau kamu nggak bikin!”
“Tempenya keasinan!” “Pancakenya kurang manis” “Nasinya terlalu lembek” “Ayam gorengnya kok gini” Anak saya paling senang mengkritik. Saking seringnya kritik, saya suka kesal dan sering keluar kalimat ini, “Anak lelaki tahu apa tentang masak, bisanya cuma mengkritik.” Rupanya dia juga tersinggung kalau saya jawab begitu. Jalan tengahnya, saya jadi lebih sering melibatkannya pada urusan dapur. Mulai dari perencanaan, mau masak apa hari ini, sampai dengan proses eksekusi,. Walaupun dalam praktik dia tidak bisa sering-sering bantu karena harus sekolah online, setidaknya kritiknya mulai berkurang.
Baca juga:
Jangan Katakan 11 Kalimat Ini pada Anak Perempuan Kita