banner-detik
KIDS

Orang Tua, Stop Katakan 7 Kalimat Ini Ke Anak

author

Sisca Christina18 Jan 2021

Orang Tua, Stop Katakan 7 Kalimat Ini Ke Anak

Tujuh kalimat ini seharusnya dihindari oleh orang tua dan jangan pernah mengatakannya ke anak! Apa saja kalimat yang tidak boleh dikatakan orang tua ke anak? Cek di sini. 

Ucapan adalah doa. Bukan mau nakut-nakutin.. tapi, itu benar adanya. Jika kita sering melontarkan kalimat positif kepada anak, maka anak akan terbentuk menjadi pribadi yang positif. Sebaliknya ketika kita sering menggunakan kalimat negatif dalam berkomunikasi dengan anak, maka, terbentuklah konsep diri yang negatif pada anak.

Psikolog Anak dan Remaja, Mbak Vera Itabiliana, M. Psi, Psikolog menjelaskan bahwa kata-kata yang diucapkan berulang oleh orang tua akan terinternalisasi ke dalam benak anak dan membentuk perilaku anak. Sebab, apa yang dilihat, didengar dan diperhatikan anak setiap hari terserap ke dalam otaknya.

Lebih lanjut, Mbak Vera menemukan beberapa kalimat yang sering dilontarkan orang tua kepada anak, baik sengaja maupun tidak sengaja, yang biasanya didasari atas emosi, dan seharusnya nggak dikatakan. Mommies pasti pernah mendengar beberapa kalimat berikut, atau bahkan mungkin pernah melontarkannya pada anak? Mudah-mudahan enggak, ya!

Beberapa Kalimat yang Orang Tua Harus Stop Katakan Kepada Anak

“Jauh-jauh sana, papa/mama mau sendiri, jangan ganggu,”

Ini mengandung makna “mengusir anak”. Anak akan merasa disisihkan dan merasa dirinya adalah pengganggu. Memang, ada waktunya orang tua butuh sendiri, sesimpel ingin mandi dan rebahan sepulang kerja. Tapi dengan menggunakan kalimat negatif, alih-alih maksud orang tua tersampaikan, malah dalam benak anak terbentuk konsep diri bahwa ia adalah pengganggu, tidak diinginkan oleh ayah dan ibu. Jika orang tua sering berkata seperti ini, dampak paling ekstrem, anak bisa menjadi pribadi yang rendah diri, atau malah menjadi “tukang ganggu” beneran, alias usil.

Mulai sekarang, jika membutuhkan waktu pribadi sejenak, katakan: “Mama tau kamu kangen sama mama, tapi mama mandi sebentar, boleh ya? Setelah ini, kita main.” Kalimat ini lebih panjang, dan lebih butuh waktu dan kesabaran untuk menjelaskannya kepada anak. Tapi percayalah, pilihan kalimat yang lebih baik tentu akan berdampak baik pula pada pembentukan diri anak.

“Capek banget sih mama ngadepin kamu, bikin repot!”

Lagi di mal, anak rewel, sulit ditenangkan, lalu kita geregetan dan tanpa sadar ucapkan kalimat negatif ini kepada anak. Anak bisa memaknainya bahwa ia adalah beban bagi orang tua, sering melakuan kesalahan sehingga bikin repot orang lain. Lagi-lagi anak mendapatkan konsep negatif tentang dirinya.

Sebelum buru-buru kesal, cobalah memahami perilaku anak di balik kerewelannya dengan bertanya: “Kamu capek ya? Sebentar ya, Mama harus membeli beberapa barang dulu, sehabis itu kita pulang, ya, Nak?”

“Aduh kamu tuh cengeng (atau malas, nakal, dst) banget sih,”

 Labelling anak bagaikan menempelkan stiker konsep diri pada anak. Ini nggak berlaku pada labelling dengan kata yang negatif saja. Melabel anak dengan kalimat positif secara berlebihan juga bisa berdampak negatif. Kok bisa? Ini contohnya: “Aduh kamu cantik banget,” “kayak princess,” “ganteng banget,” dst. Anak bisa merasa dirinya lebih baik dari orang lain atau terbiasa diperlakukan istimewa, padahal di luar sana tidak selalu seindah di rumah.

Bahayanya melabel anak dalam jangka panjang akan membuat dia nggak bisa melihat sisi lain dirinya yang baik karena tertutup oleh label-label negatif tadi. Ketika anak sedang berulah, bahaslah perilakunya tanpa melabel, misalnya: “Mama bingung deh, kamu menangis terus, lagi capek ya, atau lapar?” Atau “Mama sedih kamu lupa terus mengerjakan PR, kamu lagi ada masalah, ya?”

Baca juga: 10 Tanda Orang Tua Tidak Menghargai Anak

“Coba deh lihat kakak kamu (atau si Anu), dia rajin, lho. Kamu bisa nggak begitu?”

Dijamin anak langsung drop. Membandingkan anak dengan orang lain itu nggak adil, karena setiap anak unik. Ini menunjukkan seolah-olah orang tua nggak puas dengan keadaan anak. Ia jadi merasa harus seperti “si anu” untuk membuat mama senang, karena saya yang sekarang tidak cukup buat mama. Atau, anak merasa sudah berusaha seperti apapun tetap tidak bisa seperti “si anu”, kemudian merasa nggak mampu. Padahal bisa jadi memang karena anak memiliki jalur minat dan bakat yang berbeda dengan anak lain, disamping karakternya juga sudah tentu berbeda.

Memotivasi anak dengan cara membandingkan nggak menolong anak untuk jadi lebih baik. Tapi, membandingkan anak dengan dirinya sendiri, itu bisa dilakukan. Contoh: “Kemarin kamu bisa, Mama percaya sekarang kamu juga pasti bisa. Coba lagi, ya, Kak.”

“Kalau makannya nggak habis, mama pergi!”

Mengancam dengan “mama pergi” atau “mama tinggal” akan menimbulkan kecemasan dalam diri anak. Jangan jadikan ancaman seperti itu sebagai senjata. Mungkin itu berhasil untuk anak menyelesaikan pekerjaan yang diminta, tapi pada saat yang bersamaan menimbulkan rasa takut pada anak akan kehilangan orang tuanya. Bagi anak, orang tua adalah pelindung dan penolong. Jika orang tua sering mengancam anak dan sewaktu-waktu pergi meninggalkannya, maka anak bisa menjadi insecure. Efeknya, anak malah jadi susah ditinggal dan nggak mau orang tuanya jauh darinya, dan jadi nggak mandiri.

Disamping itu, umumnya ancaman seperti itu ancaman kosong yang nggak direalisasikan orang tua. Maka anak bisa jadi nggak percaya kepada orang tua.

“Kamu selalu…” atau “Kamu tidak pernah…”

Misalnya: “Kamu nggak pernah dengerin mama deh!”, atau “Kamu selalu ngerusakin barang.” Kata selalu dan tidak pernah ini jika sering dikatakan saat anak berbuat salah, akan menjadi perilaku yang melekat dengan diri anak lho, mommies. Intinya, apa yang mommies ucapkan, terjadi beneran pada anak: nggak suka dengerin orang tua dan jadi perusak barang.

Baja juga: Jangan Lakukan 7 Hal Ini Saat Anak Berbuat Salah

“Aduh, gitu aja nggak bisa!”

Ini biasanya dilandasi rasa gemas. Melihat anak belum tuntas mengerjakan, orang tua kerap nggak sabar lalu buru-buru bilang: “salah” atau “gitu aja nggak bisa” lalu mengambil alih “sini deh mama yang ngerjain”.

Dari peristiwa tersebut, anak jadi menangkap bahwa dia nggak bisa apa-apa, selalu salah, kemampuannya tidak terlatih, dan selalu membutuhkan orang lain untuk mengerjakan sesuatu untuk dia. Nantinya, anak jadi mudah menyerah, sering bilang “nggak bisa”, nggak mau mencoba, takut salah, karena ia sering dianggap lambat atau disalahkan.

Untuk melatih anak agar bisa, orang tua perlu menghargai dulu apa yang anak lakukan, apapun hasilnya. Setelah itu, ajak anak berlatih dalam waktu yang cukup. Kalau mommies terlanjur sering melontarkan kalimat-negatif tersebut, Mbak Vera menganjurkan untuk segera meminta maaf pada anak.

Selanjutnya, belajarlah mengendalikan emosi dan stop mengatakan kalimat negatif. Lakukan pembiasaan berkata-kata yang baik ke anak. Ini juga akan membantu orang tua untuk membentuk cara komunikasi yang baik dengan anak.

Ingat, bahwa anak butuh dibantu untuk mengenal dirinya. Salah satu cara adalah dengan memberikan kalimat-kalimat positif tentang diri dan karakternya. Ketika anak sering dibilang: “kamu nakal”, dia akan mempercayai bahwa ia nakal. Tapi kalau anak sering mendengar: “mama bangga, kamu memiliki hati yang mulia”, maka ia akan menjadi anak yang mulia.

Pertanyaannya, apakah kita mau membesarkan “anak nakal” atau “anak mulia”?

Baca juga: 8 Hal yang Perlu Diingat Ayah & Ibu Saat Membesarkan Anak

Share Article

author

Sisca Christina

Ibu dua anak yang berprofesi sebagai digital nomad, yang juga suka menulis. Punya prinsip: antara mengasuh anak, bekerja dan melakukan hobi, harus seimbang.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan