Coba evaluasi kebiasaan kita, jangan sampai apa yang kita lakukan mematikan emosi anak. Karena dampaknya, anak berpotensi tidak bisa mengatasi berbagai tantangan hidup!
Ketika anak terjatuh, dan mau menangis, pernah nggak kita mengatakan “Gitu aja, kok, nangis, ayo bangun-bangun!”
Atau,
Si kecil bosan sudah terlalu lama di rumah di masa pandemi ini, terus kita bilang “Kamu, tuh, nggak boleh bosan, harusnya bersyukur anak lain ada lho yang nggak bisa sekolah jarak jauh,” (lho, jadinya malah membandingkan :D)
Nah, menurut mbak Vera Itabiliana, Psikolog Anak dan Remaja, apa yang dikatakan oleh orang tua dalam situasi di atas bisa dikatakan: Mematikan emosi anak.
Baca juga: 10 Tanda Orang tua Tidak Menghargai Anak
“Kita mematikan emosi anak, ketika tidak memberi kesempatan bagi anak untuk mengekspresikan emosi tertentu (yang membuat kita sebagai orangtua tidak nyaman atau menganggap ekspresi emosi sebagai suatu kelemahan). Saat anak menunjukkan emosi tertentu, dia butuh dibantu untuk mengenali lalu kemudian mengendalikannya. Bagaimana dia dapat mengenali dan mengelola emoksi ketika emosinya baru muncul saja sudah “dimatikan.”
Dorongan emosi tidak hilang saat orangtua mematikan emosi anak, yang ada emosi menumpuk sehingga membebani di dalam diri anak.
Selanjutknya Mbak Vera mengingatkan, yang perlu dilakukan adalah membimbing anak mengarungi emosinya.
Baca juga: 6 Teknik Bantu Anak Meredakan Emosinya
Gunakan cara dari Dr. John Gottman seorang psikolog dan peneliti dari Amerika Serikat yang melakukan penelitian selama empat dekade tentang perceraian dan stabilitas perkawinan. Dr. John Gottman menyebutnya, “5 steps of emotion coaching”
1. Waspadai emosi dan selaraskan dengan emosi anak dan Anda sendiri
2. Gunakan momen emosional sebagai kesempatan untuk terhubung dengan anak
3. Dengarkan anak. Hargai perasaan anak dengan meluangkan waktu untuk mendengarkan dengan cermat
4. Sebutkan emosi. Bantulah anak mengidentifikasi dan menyebutkan emosi
5. Temukan solusi dengan jalan diskusi
Mbak Vera menegaskan anak akan menemui berbagai peristiwa atau tantangan yang akan memicu timbulnya berbagai emosi. “Penting bagi anak untuk mengenali dan belajar bagaimana mengelola emosi yang ia alami. Ada orangtua yang menghindarkan anak supaya tidak sedih atau kecewa, sehingga selalu mengabulkan maunya, atau jadi overprotektif. Ini membuat anak tidak punya kesempatan untuk belajar menghadapi emosinya.”
Maka, selalu ingat, penting untuk membantu anak menerima semua bentuk emosi, bahwa itu adalah bagian dari diri (terutama yang negatif). Sangat wajar merasakan sedih, marah, kecewa, dan kesal. Yang terpenting adalah bagaimana cara mengendalikan bukan dikendalikan.
Follow us on Instagram